Entri Populer

Senin, 18 April 2011

SEJARAH MAJAPAHIT 6

Majapahit Dalam Sejarah ( 6 )

Dalam hal wujud bangunan candi sendiri, jika diamati secara cermat akan terlihat adanya pembagian tataran manusia dan tataran dewata. Bagian bhurloka yang dipresentasikan di kaki bangunan akan diungkapkan dalam bentuk kaki candi yang umumnya polos tanpa hiasan relief. Apabila terdapat hiasan, maka yang ada adalah susunan perbingkaian saja. Pada beberapa candi memang terdapat relief cerita yang temanya sesuai dengan upaya manusia untuk bertemu dengan dewata. Hal ini akan diperbincangkan dalam pemaparan selanjutnya dalam kajian ini.

Beberapa candi zaman Singhasari - Majapahit yang berkaki candi polos tanpa hiasan relief cerita (kecuali relief hias) dan hanya dilengkapi dengan panil kosong atau susunan perbingkaian saja adalah candi:
1. Sawentara di Blitar
2. Sanggrahan di Tulungagung
3. Kali Cilik di Blitar
4. Bangkal di Blitar
5. Jabung di probolinggo
6. Kesiman Tengah di Mojokerto
7. Candi pan di Sidoarjo
8. Candi Gunung Gansir di Pasuruan
Hal yang menarik terdapat di Candi Singhasari (Malang) yaitu bagian yang terlihat seperti kaki candi dengan deretan panil-panil relief kosong di bagian paling bawah bangunan bangunan ini adalah lapik (alas) dan kaki candi. Lapik tersebut bersama-sama kaki candi melambangkan juga dunia manusia (bhurloka) karena terletak di segmen bawah dari bangunan candi. Adapun candi yang bagian kakinya dihias dengan perbingkaian dan relief cerita antara lain adalah candi:
1. Jawi di Pasuruan
2. Jago di Malang
3. Ngrimbi di wilayah Jombang
4. Miri gambar di Tulungagung
5. Kedaton di pedalaman selatan Probolinggo.
Candi Tegawangi dan candi Surawan yang ada sekarang, hanya menyisakan batur tinggi dan dapat dianggap sebagai bagian kaki candi, namun dapat pula dipandang sebagai tubuh candi. Hal itu terjadi karena batas antara kaki candi dan tubuhnya pada kedua bangunan kuno itu agak sukar untuk diidentifikasikan.

Candi-candi yang bahan tubuhnya terbuat dan bata atau batu akan membentuk bilik candi. pada bagian tubuh candi yang melambangkan dunia bhuwarloka terdapat relung-relung tempat menempatkan arca, selain bilik candinya untuk menyimpan arca, selain bilik candinya untuk menyimpan arca utamanya. namun hampir semua candi masa Singhasari dan Majapahit, arca-arca pengisi relung dan juga arca utamanya telah hilang. Candi Sawentar semua arcanya telah tiada, tetapi di biliknya terdapat alas arca yang bagian sisi depannya dihias dengan pahatan burung Garuda. Di Candi Kidal konon dulu terdapat arca Siwa mahadewa yang tingginya 1,23 m. Arca ini sangat mungkin merupakan perwujudan Anusapati yang sesuai dengan istadewatanya, yaitu sebagai Siwa mahadewa. Arca Siwa dan Candi Kidal sekarang disimpan di Royal Tropical Institute, Amsterdam (Kempers, 1959; 73- 74 plate 216-217).

Di Candi Jawi, semua relung di tubuh bangunan telah kosong, tetapi di biliknya terdapat yoni. Begitupun di Candi Kali Cilik, Bangkal dan Jabung semua relung dan bilik candinya telah kosong tidak berisikan arca apapun. Sementara itu, di puncak Candi Tegawangi, Surawana dan Sanggrahan tidak ditemukan arca lain. Akan tetapi, di puncak Candi Tegawangi hingga sekarang masih terdapat yoni yang ceratnya dibentuk naturalis.

Maka, dapat dikemukakan bahwa tubuh candi yang melambangkan dunia bhuwarloka ditandai dengan wujud arca-arca itu sekarang telah hilang. Arca-arca dewa melambangkan makhluk suci yang sebenarnya telah lepas dari segala nafsu dunia, namun kadang-kadang dapat tampil di hadapan para pemujanya, sifatnya sakala-niskala (antara ada dan tiada). Pada waktu diadakan upacara persembahyangan di candi arca dewa-dewa tersebut dianggap keramat. Dewa-dewa hadir di tubuh arca waktu itu. Jadi sifatnya sakala, tetapi apabila selesai upacara arca-arca itu menjadi hampa. Prana dewa kembali ke alamnya yang niskala.

Bagian swarloka pada bangunan candi dilambangkan pada bentuk atap tunggal batu/bata atau atap dari bahan mudah lapuk yang bentuknya bertingkat-tingkat. Bangunan candi masa Singhasari mempunyai bentuk atap yang meninggi ke puncak, lazim dinamakan dengan atap prasadha (menara). Ada pula candi yang didirikan dalam zaman majapahit yang juga mempunyai atap prasadha. Candi masa Singhasari dengan atap menjulang seperti menara yang masih ada, yaitu Candi Sawetar, Kidal dan Jawi. Adapun candi masa Majapahit yang dulu beratap prasadha adalah Candi Angka Tahun Panataran, Ngetos, kali Cilik dan Bangkal.

Atap berbentuk demikian sebenarnya terdiri dari beberapa tingkatan, namun berangsur-angsur mengecil hingga puncaknya yang dimahkotai dengan bentuk kubus. Simbol-simbol dunia swarloka dapat terlihat pada bentuknya yang menjulang tinggi ke langit, seakan-akan merupakan tangga menuju Suralaya. Selain itu, di bagian langit-langit atap terdapat batu sungkup yang pada sisi bawahnya (bagian yang dapat dilihat dan ruang bilik candi jika seseorang menengadah ke atas) tedapat bentuk lingkaran dengan bentuk garis-garis di sekitarnya, atau lingkaran tersebut merupakan bentuk tengah dan bunga padma mekar yang di sekitarnya terdapat kelopak-kelopak daun bunganya. Pada beberapa candi seperti di candi Sawetar dan Bangkal di tengah lingkaran yang digambarkan bersinar tersebut terdapat relief seorang ksatrya menaiki kuda membawa pedang Hal ini menandakan pastinya simbol konsepsi keagamaan tertentu.

Hal yang sungguh menarik perhatian adalah pada bagian atap tersebut terdapat ruang kosong yang bagian dasamya adalah bath sungkup. Dengan demikian, batu sungkup tersebut menjelma menjadi pembatas antara ruang bilik candi dan ruang di atap candi. Menurut R. Soekmono dalam disertasinya Candi Fungsi dan pengertiannya (1974) dinyatakan “Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa rongga dalam tiap candi itu adalah ruangan yang sengaja disediakan bagi Sang Dewa, yaitu sebgai tern pat bersemayamnya pada saat-saat sebelum ia merasuk menjiwai arca perwujudan yang bertakhta di bawahnya” (1974:31).[WHD No.517 Januari 2010].
(BERSAMBUNG)

SEJARAH MAJAPAHIT 5

Majapahit Dalam Sejarah

Rombongan raja tidak langsung menuju Majapahit, tetapi menyimpang dulu ke selatan melalui beberapa desa dan menuju Singhasari, yaitu bekas kerajaan pendahulu Majapahit di mana para leluhur Rajasanagara pernah berkuasa. Kunjungan tersebut merupakan ziarah untuk mendatangi beberapa candi pen-dharma-an raja-raja Singahasari.

Rombongan raja tidak langsung menuju Majapahit, tetapi menyimpang dulu ke selatan melalui beberapa desa dan menuju Singhasari, yaitu bekas kerajaan pendahulu Majapahit di mana para leluhur Rajasanagara pernah berkuasa. Kunjungan tersebut merupakan ziarah untuk mendatangi beberapa candi pen-dharma-an raja-raja Singahasari. Uraian selanjutnya menyatakan:

“warnnan muwah lari nareswarenjing umareŋ sudarmma ri kidal sampun manãmya ri bhatara lingsir anuluy/dataŋ ri jajaghu, sampun muwah mark i saŋhyang arcca jinawimbha sonten amgil, eñjiŋ maluy/musir i singhasari tan alh marãryyam i burŋ”.

(.... pada pagi berikut ia berkunjung ke dharma di Kidhal, dan setelah memberi sembahan melanjutkan perjalanan ke Jajaghu, menghadap kepada arca Budha, kemudian bermalam di sana. Pada pagi hari ia kembali ke Singhãsãri, tetapi terlebih dahulu berhenti di Buréng”) (Sidomulyo, 2007:80).

Uraian perjalanan tersebut diperinci lagi oleh Mpu Prapanca dalam Nagarakrtagamanya. Banyak desa dan kota (nagara) yang dikunjungi dan dilalui oleh Hayam Wuruk beserta rombongannya. Selain itu, banyak pula bangunan suci, candi pendarmmaan dan pertapaan yang didatangi oleh Rajasanagara. Seluruh rakyat Majapahit mengelu-elukan sepanjang jalan yang dilalui oleh rombongan. Kegiatan lain yang juga dilakukan oleh Rajasanagara dan kaum kerabatnya adalah berburu. Uraian tentang perburuan terdapat dalam Nagarakrtagama pupuh 50-55. Disebutkan bahwa binatang-binatang pun rela untuk dibunuh oleh sang raja karena ia adalah titisan Siwa. Jadi, mati di tangan raja lebih mulia daripada terjun ke telaga, demikian ungkap Nagarakrtagama.

Demikianlah banyak hal yang membuat Majapahit menjadi jaya dalam masa pemerintahan Hayam Wuruk. Beberapa hal penting yang dapat diamati melalui kajian sumber-sumber sejarah dan bukti arkeologis dan masa itu adalah sebagai berikut:
1. Adanya sistem pemerintahan yang efektif.
2. Adanya keajegaii (kestabilan) pemerintahan.
3. Berlangsungnya kehidupan keagamaan yang baik.
4. Terselenggaranya upacara kemegahan di istana.
5. Tumbuh kembangnya berbagai bentuk kesenian.
6. Hidupnya perniagaan Nusantara dengan Jawa (Majapahit).
7. Pelaksanaan politik Majapahit terhadap Nusantara.
8. Adanya pengakuan internasional dan negara-negara lain di Asia Tenggara.

Apabila digambarkan dalarn bagan, maka kedelapan butir pendukung kejayaan Majapahit tersebut tergambar sebagai berikut:

Image


Kedelapan butir pendukung berada di sudut-sudut kaki limas segi delapan. Semua butir itu memproyeksikan dirinya ke puncak linias menjadi Kejayaan Majapahit Raya. Tepat di tengah di bagian dasar limas adalah tokoh Rajasanagara yang menjaga semua butir pendukung kejayaan.Akan tetapi, ada satu tokoh. yang tidak mungkin dilupakan, yaitu Gajah Mada. Tokoh ini pertama kali tampil di Majapahit dalam masa pcmerintahan Jayanagara sebagai bhayangkara (pasukan pengawal raja). Ia menjadi patih Daha mendampingi Hayam Wuruk muda dalam zaman Ratu Tribhuwanottunggadewi. Selanjutnya, dia menjadi mahapatih arnangkubhumi Majapahit menggantikan Aryâ Tadah. Dalam pengabdian kepada ibunda Hayam Wuruk itulah ia mengucapkn Sumpah Palapanya yang terkenal. Ia tetap menjadi mahapatih amangkubhumi Mjapahit dalam masa pemerintahan Hayam Wuruk. Ia meñyaksikan kejayaan Majapahit dan upaya mempersatukan Nusantara yang ditekadkannya telah menjadi kenyataan. Path akhirnya, sebagaimana asal-usulnya yang samar-samar, maka akhir riwayat Gajah Mada pun tetap samar-samar belum ada kepastian karena berbagai. sumber sejarah menyebutkan masa akhir kehidupan Gajah Mada berbeda-beda.

Apabila berita Nagarakrtagama dapat diterima, kemungkinan Gajah Mada meninggal secara wajar karena sakit. Hal itu diuraikan oleh Mpu Prapanca dalam pupuh 70:3 yang menyatakan bahwa Hayam Wuruk segera pulang dan Simping menuju istananya setelah mendengar bahwa sang mantryadimantra Gajahmada sakit. Ia sangat berjasa dalam menyejahterakan dan memajukan Jawa. Ia dihormati dan dikenal karena telah berhasil dengan baik membinasakan musuh-musuh, baik di Bali ataupun di Sadeng. Gajah Masa mangkat dalam tahun 1364 M. Nagarakrtagama berhasil diselesaikan oleh Mpu Prapanca setahun kemudian.

Peranan dan sepak terjang Gajah Mada untuk memajukan Majapahit memang séngaja tidak ungkapkan dalam kajian ini. Hal ini memang diperlukan telaah khusus untuk mengungkapkan dan memahami lebth dalarn tampilnya tokoh tersebut dalam sejarah Majapahit. Pada kenyataannya Gajah Mada lebih banyak dikenal dan dikenang oleh masyarakat di berbagai wilayah Nusantara daripada Rajasanagara. Hal itu rnenunjukkan bahwa peranan Gajah Mada dalam masa kejayaan Majapahit tidak perlu diragukan lagi. Sementara itu, Hayam Wuruk masih belum banyak dibahas dan diperbincangkan perihal aktivitas dan peranannya sebagai raja besar di Majapahit.

1.2 Pertemuan Antara Dunia Manusia Dan Alam Kedewátaan : Bangunan Suci, Arca dan Relief Candi Masa Singhasari-Majapahit

Kerajaan Majapahit yang berkembang antara abad ke-14-awal ke-16 M merupakan penerus Kerajaan Singhasari yang berkembang dalam masa sebelumnya (abad ke-13 M). Raja-raja Singhasari dan Majapahit berpangkal pada tokoh Ken Angrok yang nama penobatannya ialah Sri Ranggah Rajasa Bhattara sang Amurwwabhumi. Oleh karena itu, tokoh Ken Angrok dapat dinyatakan sebagai vamsakrta (pendiri dinasti). Dinasti yang dikembangkannya adalah wangsa Rajasa (Rajasavamsa). Penamaan dinasti Rajasa tersebut diungkapkan dalam uraian prasasti raja-raja Majapahit yang merupakan anak keturunan Ken Angrok.

Selain itu, dalam hal kebudayaan pun sangat mungkin telah terjadi kesinambungan pencapaian kebudayaan yang telah dikembangkan dalam era Singhasari dan terus dilanjutkan pada masa Majapahit. Namun, tidak tertutup kemungkinan juga bahwa dalam zaman Majapahit terdapat pencapaian-pencapaian baru yang bukan bersifat meneruskan tradisi Singhasari, tetapi bersifat melengkapinya. Salah satu unsur kebudayaan penting yang sebenarnya mendasari perkembangan unsur-unsur kebudayaan lainnya adalah religi. Kehidupan religi pada masa Singhasari mulai muncul gejala baru yang terus dikenal dalam periode Majapahit, yaitu konsep dewaraja. Hakikat konsep tersebut sebenarnya mengajarkan bahwa raja yang telah meninggal dianggap bersatu dengan dewa pribadi sesembahannya (ista-dewata). Raja sebenarnya adalah dewa itu sendiri yang menjelma pada diri seorang manusia yang berkedudukan sebagai raja. Maka, ajaran ini mengenal adanya pertemuan antara (dunia) manusia dan (dunia) dewa-dewa. Kedua dunia itu menyatu dalam diri seorang raja yang sedang berkuasa, atau dalam diri seseorang tokoh kerabat raja yang dekat dengan dunia istana.

Sejauh data yang dapat dipelajari hingga kini, konsep pemujaan dewaraja baru berkembang dalam zaman Kerajaan Singhasari yang dikaitkan dengan keberadaan Dinasti Rajasa. Dalam masa sebelumnya, yaitu periode pemerintahan Kerajaan Kediri (abad ke—12 M) atau lebih mundur lagi dalam masa pemerintahan Dharmmawangsa Airlangga (1019 – 1041 M) dan Dharmmawangsa Teguh (991 M - 1016 M), ritus pemujaan dewaraja tersebut belum meninggalkan bukti secara nyata. Apabila lebih mundur lagi dalm masa perkembangan kerajaarl di w.ilayah Jawa bagian tengah (Klasik Tua) antara abad ke-8 → 10 M, bukti-bukti kehadiran konsep dewaraja sukar untuk dilacak kembali, mungkin sudah ada atau mungkin belum dikenal. Maka, kemungkinan kedualah yang terjadi dalam masa Klasik Tua. Hal ini terlihat dan kegiatan keagamaan yang langsung memuja dewa masih terlihat nyata pada peningkatan arkeologisnya. Candi-candi dibangun dengan tujuan untuk memuja dewa, baik yang bersifat saiva ataupun bauddha Candi-candi tidak diasosiasikan dengan tokoh tertentu, tetapi masih ditujukan bagi peribadatan kepada dewa-dewa.

Sejalan dengan berkembangnya konsep pemujaan dewaraja, maka diperlukan pula peralatan ritus yang juga berbeda dengan masa sebelumnya. Peralatan tersébut tentirnya ditujukan untuk mendukung ajaran dewaraja yang sedang dikembangkan. Dalam kajian ini peralatan ritus yang dimaksud adalah bangunan suci, arca-arca serta penggambaran relief yang dipahatkan di dinding candi-candi atau bangunan suci lainnya. Selain itu, artefak-artefak masih mungkin untuk dijadikan data karena masih bertahan hingga sekarang. Tentunya di masa lalu banyak artefak lain yang berupa benda bergerak (maveable artifact) dalam rangkaian ritus pemujaan dewaraja. Namun, artefak-artefak sangat mungkin terbuat dan logam yang sukar ditemukan, jumlahnya sangat terbatas, rusak dan tidak diketahui lagi keberadaannya.

Selanjutnya, telaah yang dilakukan berupa untuk mengungkapkan berbagai bukti artefaktual yang berkaitan dengan pertemuan antara dunia manusia dengan dunia kedewataan, dan era Singhasani dan Majapahit. Sudah barang tentu kajian ini hanya bersandarkar pada data yang dapat diketahui dan dapat diacu saja, akibatnya mungkin dalam melakukan interpretasipun hanya dilakukan sejauh data yang ada. Interpretasi tidak mungkin dapat dilakukan tanpa dukungan data, apabila dilakukan juga maka sifatnya hanya dalam bentuk asumsi awal yang mudah untuk digantikan dengan kesimpulan baru dalam penelitian lain di masa mendatang.

Konsep pertemuan antara dunia manusia dan kedewataan yang paling penting sebenarnya tercermin pada bentuk bangunan suci dalam masa Singhasari-Majapahit itu sendiri. Bangunan suci yang berbentuk candi dapat dianggap melambangkan tiga lapisan dunia kehidupan (triloka). Pertama, bagian dasar (lapik dan kaki candi) melambangkan dunia manusia yang masih terikat pada hawa nafsu keduniawian, tempatnya salah dan dosa-dosa terjadi, dinamakan dunia bhurloka. Kedua, bagian tubuh candi melambangkan dunia manusia yang telah lepas dari nafsu dan keterikatannya pada duniawi disebut bhuwarloka. Ketiga, atap bangunan melambangkan dunia kedewataan yang dinamakan dengan lapisan swarloka. Pembagian tersebut agaknya setara dengan konsep tridhatu yang dikenal pada bangunan suci bauddha, yaitu kamadhatu dilambangkan pada kaki candi, rupadhatu dilambangkan pada tubuh, dan arupadhatu dilambangkan atap pada bangunan candi Budha. Dengan demikian, dalam bangunan candi terdapat symbol-simbol yang mengacu kepada kehidupan manusia pada umumnya dan alam kehidupan para pendeta yang telah menarik diri dari dunia ramai serta lingkungan kehidupan para dewa.

Pada waktu diadakan upacara keagamaan, tentunya masyarakat datang berbondong-bondong melakukan ritus. Candi dan lingkungannya dipandang sakral karena saat itu dewa-dewa dianggap sedang bersemayam di bangunan suci tersebut. Arca-arca dewa dipandang telah “diisi” oleh prana dewa-dewa dan tentu saja menjadi sangat keramat. Hal sepenti itu mempunyai kesejajaran yang cukup nyata pada waktu persembahyangan hari raya odalan di pura Bali. pada hari itu dewa utama pura dianggap hadir dalam pratima yang merupakan representasi wujud kasarnya. Umát Hindu-Bali mengadakan upacara pemujaan terhadap-Nya setelah upacara usai dewa kembali ke persemayamannya dan pratima disimpan dalam pura yang kembali sunyi.

Sebagaimana yang terjadi dalam upacara odalan di pura, maka dapat ditafsirkan bahwa masyarakat Jawa kuno yang melakukan pemujaan di candi-candi masa lalu, sebenarnya juga melakukan interaksi langsung dengan dewata. Mereka dapat mengungkapkan segala keinginannya, kepada dewata yang pada hari istimewa tersebut hadir di tengah-tengah mereka melalui sarana bangunan candi atau pura. Dengan demikian, candi dapat dianggap sebagai monumen keagamaan yang mempertemukan dunia manusia dan dunia dewa-dewa. Dalam hal ini pagar keliling candi atau pura (penyengker) dan area sakral (dalam lingkungan pagar).
BERSAMBUNG

SEJARAH MAJAPAHIT 4

Majapahit Dalam Sejarah

Pasal-pasal dalam kitab Kutaramanawa tersebut tidak bernapaskan kebudayaan luar (India), melainkan khas Jawa Kuno. Uraian yang terdapat dalam kitab itu ada yang berkenaan dengan hewan-hewan yang biasa dijumpai di Pulau Jawa, misalnya disebutkan adanya hutang piutang kerbau, sapi dan kuda; pencurian ayam, kambing, domba, kerbau, sapi, anjing dan babi; ganti rugi terhadap hewan yang terbunuh karena tidak sengaja dan juga yang banyak mendapat sorotan adalah perihal hutang piutang padi. Walaupun di beberapa bagiannya terdapat konsepkonsep dasar dan kebudayaan India (Hindu-Budha), namun penerapannya lebih ditujukan untuk masyarakat Jawa kuno. Jadi, konsep-konsep tersebut hanya memperkuat uraian saja.

Kitabhukum tersebut sudah pasti disusun dan dihasilkan dalam kondisi masyarakàt yang stabil dan aman. Oleh karena itu, para ahli hukum dapat deñgan tenang berembuk menyusun kitab yang isinya begiturinci dan hampir menjangkau aspek hukurn yang dikenal dalam masanya. Kiranya dapat diasumsikan bahwa kitab hukum Kutaramanawa itu diciptakan dan diundangkan dalam masa pemerintahan Rajasanagara, yaitu suatu kurun waktu dalam sejarah Majapahit yang aman dan sejahtera.

Karya Sastra yang digubah oleh para pujangga agamawan pun berkembang dengan semarak. Beberapa karya sastera penting yang disusun dalam zaman itu adalah Nagarakrtagama, Arjunawijaya dan Sutasoma. Selain itu, terdapat pula karya sastera yang digubah dalam zaman selanjutnya, tetapi masih mengacu kepada kemegahan Majapahit, misalnya Pararaton. Berdasarkan pengamatan terhadap uraian isi serta penggambaran detail yang termaktub di dalamnya, dapat disimpulkan gambaran “dunia” dan “lingkungan” tempat para penggubah karya sastera itu berada. Kesimpulan ini hanya secara garis besar saja, namun mungkin dapat dijadikan pijakan bagi kajian selanjutnya. Secara ringkas “dunia” yang tergambarkan dalam karya sastera yang digubah. dalam zaman kejayaan Majapahit hingga periode menjelang keruntuhannya adalah sebagai berikut:

Image

Maka, dapat dinyatakan bahwa sebagian besar para penggubah karya sastera Jawa Kuno berasal dan lingkungan kaum agamawan. Hal ini disebabkan oleh kemahiran tulis menulis, pengetahuan tentang kaidah susastera, ajaran keagaman telah menjadi bagian kehidupan mereka, bahkan meiajadi ciri keprofesionalan mereka yang eksklusif. Dalam masa Jawa kuno terdapat istilah khusus untuk mereka yang bertugas dalam bidang keagamaan, yaitu wiku. Mereka ada yang mempunyai hubungan akrab dengan istana, bahkan dalam menggubah kakawinnya, raja yang bersemayam di istana itu justru menjadi penaja yang melindungi serta merestui pekerjaan para wik’u yang bertindak sebagai kawi (penggubah kakawin). Dalam hal ini misalnya yang terjadi antara Mpu Prapanca dngan Rajasanagara (Hayam Wuruk) ketika sang mpu menggubah Nagarakrtagama dan juga antara Mpu Tanakung yang menggubah Siwaratri-kalpa dengan Raja Sri Adi Surprabhawa atau Sri Singhawikramawarddhana Dyah Suraprabhawa atau Bhre Pandan Salas yang memerintah di Majapahit antara tahun 1466 - 1474 M.

Berdasarkan data yang ada dapat pula diketahui bahwa terdapat para pujangga yang mandiri, tinggal di luar keraton dan tidak ada hubungan dengañ raja dan kehidupan keraton. Mereka juga menghasilkan sejumlah karya sastera. Isi karyanya mengungkapkan dunia berbeda dengan para pujangga yang akrab dengan kehidupan istana. Dalam hal ini dunia yang terungkap lewat karya sasteranya adalah kehidupan keagamaan di lingkungan mandala (pendidikan agama). Karya sastera yang mungkin dihasilkan di lingkungan mandala adalah Tantu Pagelaran, Korawasrama dan Bhimaswarga. Selain itu, terdapat pula kehidupan pertapaan individu di pedesaan yang jauh dan keramaian. Para pertapa individual tersebut dapat dihubungkan dengan karya sastera jenis tertentu, misalnya Bhubhuksah-Gagangaking dan Nirarthaprakerta.

Kajian karya sastera masa Majapahit pun sebenarya dapat dibantu dengan penyelidikan terhadap penggambaran relief di candi-candi. Beberapa karya sastera Jawa Kuno ada yang dipahatkan dalam bentuk relief di dinding candi. Tujuan pemahatan karya sastera dalam bentuk relief tersebut antara lain adalah:

1. Untuk memperindah bangunan candi karena dihias dengan ornamen relief yang menggambarkan cerita dengan berbagai bentuk ornamen yang rinci dan indah.
2. Lebih memudahkan memahami suatu cerita. Para pengunjung candi/bangunan suci di masa silam akan lebih menikmati adegan dalam gambar-gambar pahatan relief.
3. Menyebarluaskan dan mempopulerkan cerita-cerita yang mengandung ajaran tertentu. Cerita dalam bentuk naskah sudah tentu sangat terbatas bahkan mungkin hanya satu sehingga tidak dapat dibaca secara leluasa oleh masyarakat. Hal yang perlu diingat pula adalah orang yang mampu membaca aksara pada masa itu mungkin hanya terbatas di kalangan kaum agamawan dan sedikit elite penguasa saja. Dengan dipahatkannya suatu relief cerita yang mengacu kepada karya sastera tertentu, diharapkan akan banyak pula orang yang kemudian mengenal cenita yang dimaksudkan.

Beberapa candi masa Majapahit yang dihias dengan karya sastera misalnya:

1. Candi induk Penataran dihias fragmen relief cerita Krsnayana dan Ramayana.
2. Pendopo teras II di percandian Panataran dihias dengan rèlif cerita Bhubuksah-Gagang Aking, Sang Satyawan dan sälah satu versi kisah Panji yang belum dapat dikenali.
3. Candi Jago dihias dengan fragmen relief cerita Tantri Kamandaka, Kunjarakarna, Parthayajna, Arjünawiwaha dan Krsnayana.
4. Candi Surawanadihias dengan relief cerita Arjunauliwaha, Bhubuksah Gagangaking, Sri Tanjung, Panji dan adegan keseharian yang mungkin rnengandung kisah tertentu, tetapi belum dapat diidentifikasikan.
5. Candi Tegawangi dihias dengan relief cerita Sudhamala.

Selain itu, terdapat pula adegan relief yang belum dapat diketahui acuan ceritanya, misalnyanya yang dipahatkan di kaki Candi Jawi, di kaki Candi Ngrimbi, Candi Miri Gambar, Candi Gajah (Kepurbakalaan XXII) dan Candi Kendalisasa (Kepurbakalaan LXV) di lereng barat Gunung Penanggungan. Maka, untuk dapat mengungkapkan acuan cerita apa yang dipahatkan di candi-candi tersebut, sudah tentu kajian terhadap karya sastera sezaman perlu diperluas lagi.

Epilog: Hayam Wuruk Tokoh Utama di Pentas Kerajaan

1. Untuk memperindah bangunan candi karena dihias dengan ornamen relief yang menggambarkan cerita dengan berbagai bentuk ornamen yang rinci dan indah.
2. Lebih memudahkan memahami suatu cerita. Para pengunjung candi/bangunan suci di masa silam akan lebih menikmati adegan dalam gambar-gambar pahatan relief.
3. Menyebarluaskan dan mempopulerkan cerita-cerita yang mengandung ajaran tertentu. Cerita dalam bentuk naskah sudah tentu sangat terbatas bahkan mungkin hanya satu sehingga tidak dapat dibaca secara leluasa oleh masyarakat. Hal yang perlu diingat pula adalah orang yang mampu membaca aksara pada masa itu mungkin hanya terbatas di kalangan kaum agamawan dan sedikit elite penguasa saja. Dengan dipahatkannya suatu relief cerita yang mengacu kepada karya sastera tertentu, diharapkan akan banyak pula orang yang kemudian mengenal cenita yang dimaksudkan.

Beberapa candi masa Majapahit yang dihIas dengan karya sastera misalnya:

1. Candi Induk Penataran dihias fragmen relief cerita Krsnayana dan Ramayana.
2. Pendopo teras II di percandian Panataran dihias dengan rèlif cerita Bhubuksah-Gagang Aking, Sang Satyawan dan sälah satu versi kisah Panji yang belum dapat dikenali.
3. Candi Jago dihias dengan fragmen relief cerita Tantri Kamandaka, Kunjarakarna, Parthayajna, Arjünawiwaha dan Krsnayana.
4. Candi Surawanadihias dengan relief cerita Arjunauliwaha, Bhubuksah Gagangaking, Sri Tanjung, Panji dan adegan keseharian yang mungkin rnengandung kisah tertentu, tetapi belum dapat diidentifikasikan.
5. Candi Tegawangi dihias dengan relief cerita Sudhamala.

Selain itu, terdapat pula adegan relief yang belum dapat diketahui acuan ceritanya, misalnyanya yang dipahatkan di kaki Candi Jawi, di kaki Candi Ngrimbi, Candi Miri Gambar, Candi Gajah (Kepurbakalaan XXII) dan Candi Kendalisasa (Kepurbakalaan LXV) di lereng barat Gunung Penanggungan. Maka, untuk dapat mengungkapkan acuan cerita apa yang dipahatkan di candi-candi tersebut, sudah tentu kajian terhadap karya sastera sezaman perlu diperluas lagi.

Epilog: Hayam Wuruk Tôkoh Utama di Pentas Kerajaan
Kejayaan Majapahit sebenamya tidak terlepas dan penguasa yang sedang memerintah tuasa itu, yaitu Hayam Wuruk atau Rajasanagara. Sebenamya Hayam Wuruk menikmati hasil jerih payah para penguasa pendahulunya yang diawali dengan pemerintahan pendiri Majapahit, yaitu Krtarajasa Jayawarddhana, disusul oleh Jayanagara atau Uri Wiralandagopala Sri Wiralandagopala Sri Sundarapandyadewadiswara atau disebut pula Sri Sundarapandyadewanama Maharaja-bhiseka Sri Wisnuwangsa dan Ratu Tribhuwanottunggadewi Jayawisnuwardhhani, ibunda Hayam Wuruk, Hayam Wuruk tinggal meneruskan tapak-tapak awal pendakian menuju kejayaan Majapahit sehingga berhasil berada di puncak kemegahan kerajaan tersebut.

Hayam Wuruk tidak akan berhasiljika tidak mampu memerintah dan menjadikan dirinya sebagai raja yang menjadi pusat perhatian dan tumpuan pemujaan seluruh rakyat Majapahit. Hayam Wuruk adalah seorang raja yang piawai dalam pemerintahan. Hal ini terlihat saat Gajah Mada tidak lagi menduduki jabatannya, ia segera mengundang Pithom Nàrendra untuk merundingkan siapa pengganti mahapatih Majapahit tersebut. Meskipun kedudukan Gajah Mada tidak dapat tergantikan oleh seorang tokoh, tugasnya kemudian dibagi-bagikan pada beberapa pejabat. Majapahit dengan Hayam Wuruk masih tetap berdiri hingga tahun 1389 M.

Menurut uraian Nagarakrtagama pupuh 85-91, setiap tahun di istana diadakan: acara pertemuan besar (paseban). Pada waktu itu, seluruh pembesar kerajaan hadir, begitupun para pemimpin negara daerah di Jawa mempersembahkan upeti. Pasar penuh sesak dengan para pengunjung, aneka barang, penganan, kain dan hasil bumi dijajakan. Keraton dihias indah, begitupun bale panangkilan dan witana di wanguntur dihias dengan semarak. Gamelan dimainkan tiada putus-putusnya berbunyi mengiringi upacara di bangunan-bangunan suci dekat istana. Para pendeta Siwa Budha dan kaum Rsi rnembacakan kitab-kitab suci dan mantra untuk keselamatan baginda.

Acara berikutnya adalah arak-arakan mengelilingi kota. Hayam Wuruk tampil dalam kereta indah yang ditarik lembu berhias dan berbusana warna keemasan dengan mahkota kencana. Para pejabat tinggi kerajaan dan para pendeta yang membacakan sloka berjalan mengikutinya. Rombongan para penguasa negara daerah menyusul beserta permaisurinya dari Pajang, Lasem, Paguhan dan lain-lain. Mereka menaiki kereta diiringi para pejabat dan pengiringnya yang berbeda-beda pekaiannya.

Acara paseban agung dilaksanakan di istana. Acara itu dihadiri oleh para pembesar, mantri, ksatrya, aryya, kepala desa, tamu-tamu dan Nusantara serta para pendeta dan brahmana, pertemuan membicarakan upaya mengenyahkan kemiskinan, kebodohan, kejahatan serta meningkatkan kesejahteraan dan keagungan negara. Selain itu, kitab-kitab peraturan agama dan pemerintahan juga dibacakan.

Dua hari kemudian diadakan perayaan besar di tanah lapang Bubat. Raja berkunjung pula dengan tandu yang dihias disudut-sudutnya dengan bentuk singa diarak dan diiringi para pembesar yang dikagurni rakyat kerajaan. Raja bersemayam di tepi timur lapangan dalarn bangunan besar beratap tumpang menjulang tinggi, di dekatnya terdapat wesma mirip istana yang tiang-tiangnya diukir relief cerita parwa-parwa. Di tepian lainnya, Bubat didirikan panggung-panggung berbeda ukurannya bagi para pembesar yang mau menonton berbagai pertunjukan dan pertandingan. Para pemenangnya akan dijamu oleh baginda raja. Acara setiap hari ditutup dengan menyantap hidangan bersama sambil menyaksikan pertunjukan kesenian.

Perjalanan-perjalanan Rajasanagara ke berbagai daerah juga membawa dampak positif pada din raja. Ia dapat mengetahui keadaan wilayah kekuasaannya di Jawa bagian timur hingga ke pedalamannya. selain itu, rakyat di pedalaman dapat mengetahui kemegahan rombongan raja, pasukan pengiring raja dan wajah rajanya sendiri yang bagaikan dewata menjelma ke dunia. Perhatikan urajan Nagarakrtagama tentang salah situ episode perjalanan Hayam Wuruk ketika pulang dan keliling wilayah Lumajang dalam tahun 1359 M.

Naragakrtagama menyatakan:
“tuhun i dhatong nire pasuruhan manimpang angidul ri kapanangan, anuluy atut dhamargga madulur tikang ratha dhateng ring andoh wawang, muwah i kedhu peluk lawan i hambal antya nikang pradesenitung, jhathiti ri sanghasaripura rajadharma dinunung narendramgil” (Nag. 3: 1).

(Sampai di Pasuruhan, ia membelok ke selatan menuju Kapanyangan, kemudian mengikuti jalanraya, rombogan bersama-sama tiba di Andoh Wawang, serta Kedhung Peluk dan Hambal, desa terakhir yang dicatat, raja langsung menuju tempat tinggalnya di Istana Singhasari) (Sidomulyo, 2007:75). (BERSAMBUNG)

SEJARAH MAJAPAHIT 3

Majapahit Dalam Sejarah ( 3 )

Bangunan suci darmma haji berjumlah 27. Bangunan ini bertujuan untuk memuliakan para kerabat raja yang telah meninggal. Selain itu, leluhur raja dipuja dan dimuliakan setara dewata di bangunan-bangunan tersebut. Salah satu tempat pen-dharma-an dibangun dalam masa Rajasanagara adalah Prajnaparamita-pun yang dihabiskan untuk memuliakan tokoh Rajapatni, nenek Hayam Wuruk. Nagarakrtagama menguraikan sebagai berikut:

1. prajaparimitapuri ywa panlahnin rat/ri sanghyang sudarmma, prajnaparamitakriyenu lahaken/sri jnanawidyapratistasotan/pandita wrdda tantragata labdawesa sarwwagamajna, saksat/hyang mpu bharada mawak I sirande trpti ki twas narendra.
2. mwang taiki ri bhayalango ngganira sang sri rajapatning dinarmma, rahyang jnanawidinutus/muwah amuja bhumi sudda pratistaetunyan mangaran/wisesapura kharam-bhanya pinrih ginong twasmantrya-gong winkas/wruherika dmung bhoja nwam utsaha wijna.
3. lumra sthananiran pinuja winangunlcaityadi ring sarwwadesa, jawat/waisapuri pakuwwana kebhaktyan/sri maharajapatni, angken. bhadra siran pinujaniñg amatya brahma sakwehnya bhakti, mukti swarg-ganiran)mapotraka wisesang yawabhumyekhanatha.


Terjemahannya:

1. Bangunan suci Prajnaparamita merupakan permata dunia, adalah suatu kesempurnaan dharmma yang keramat, upacara bagi pentahbisan arca Prajnaparamita diselenggarakan (oleh pendeta) agung Jnanawidya, merupakan pendeta sepuh (aliran) Tantragata yang telah menerima ilham dan memahami berbagai ilmu agama, sunguh bagaikan Mpu Barada yang menjelma pada dirinya, membawa kebahagiaan bagi Narendra (Raja Hayam Wuruk).
2. Kemudian lagi sekarang di Bhayalango tempat bagi Sri Rajapatni didarmakan (dimuliakan), tokoh suci Jnanawidhi dititahkan untuk (mengadakan), tokoh suci Jnana widhi dititahkan untuk (mengadakan upacara) pengkudusan lahan (dan) pengeramatan arca, sebab itulah diseru (dengan) nama Wisesapura, dipelihara secara baik sehingga menjadi tempat mulia, banyak menteri (pejabat tinggi) bersegera mengunjunginya, (termasuk) Demung, Bhoja, remaja dan kaum cendikia.
3. tempat (itu) sangat terkenal sebagai pemujaan, dibangun pula caitya (sumbangan) dan berbagai daerah, (di sekitar) banyak perumahan kaum Waisya, (mereka ji-iga melakukan) kebaktian bagi Sri Rajapatni, tiap bulan Bhadra (Agustus-September) dia (Rajapatni) dipuja oleh para pengiring raja dengan mantra suci, mengadakan sembah bakti, pembebasan (untuk) masuk surga baginya, (dan) dia (Rajapatni) beranak cucu raja-raja terkenal di tanah Jawa”.



Bangunan candi pen-dharma-an lainnya yang diuraikan dalam Nagarakrtagama adalah Simping atau reruntuhan Candi Sumberjati yang terletak di wilayah Blitar dekat dengan aliran Sungai Brantas. Candi tersebut merupakan bangunan suci untuk memuliakan kakek Rajasanagara, yaitu Krtarajasa Jayawarddhana atau Raden Wijaya. Dalam Nagarakrtagama pupuh 47 disebutkan bahwa Simping adalah salah satu bangunan pen-dharma-an Krtarajasa (Raden Wijaya).

Adapun pen-dharma-an lainnya terletak di bagian dalam istana Majapahit,
“rin saka matryawuna linaniran narendra, drak pinratista jinawimbha siren puri jro, antahpura ywa panlah rikanan sudarmma, saiwapratista sira teki muwah ri simping” (Nag. 47:3).

(“Pada tahun 1231 Saka, wafatlah sang raja (Krtarajasa Jayawarddhana), lalu dirinya diarcakan dalam wujud Jina di istana bagian dalam, Antahpura demikian tempat penngatan (baginya) di sana. (merupakan) pen-dharma-an yang indah, (adapun) arca Saiwa baginya di tempatkan di Simping).

Apabila Krtarajasa wafat pada tahun 1231 S (1309 M),bangunan suci di Simping diperkirakan didirikan setelah 12 tahun kematiannya, yaitu tahun 1321 M. Upacara sraddha diadakan dalam tahun itu, yaitu untuk mengantar arwah si mati memasuki alam kedewataan. Upacara itu diakhiri dengan pembangunan candi yang bertujuan untuk memuliakan tokoh yang meninggal. Sementara itu, pupuh 70 kakawin Nagarakrtagama menyatakan:
1. irikang anilastanah saka nrpeswara warnnanen, mahasahas i simping saŋhyaŋ darmma rakwa sirãlihěn, saha widiwiwidänasiŋ lwir/niŋ saji krama tan kuraŋ, prakhasita sang adyaksãmujaryya rãjaparãkrama.
2. rasika nipuneŋ widya tatwopadesa siwãgami sira ta manadistãne saŋ sri nŗpa krtarajasa duwég inulahaken taŋ prasada gopura mekala prakasita sang aryyanama kruŋ prayatna wineh wruha.

Terjemahannya kurang lebih seperti ini:
1. “uraian [tentang kegiatan] raja pada tahun Saka 1285 (1363 M), berkunjung ke Simping [tempat] bangunan suci pen-dharrna-an yang dipindahkan, bermacam persembahan (widi-widana) [dan] berbagai persajian lengkap, tidak ada yang kurang, sang adyaksa yang terkemuka [bernama] Rajapapara— krama [mengadakan] upacära pemujaan yang agung.
2. pemujaan itu mengacu kepada pengetahuan Tatwopadesa dan Siwagama, dialah yang “menyemayamkan” di adistana, sang pangeran Krtarajasa, dengan baik ia membangun prasada (atap yang menjulang tinggi), gapura dan pagar keliling, terkenallah ia dengan nama Aryya Krung, [orang yang] giat, gigih, bersemangat dan serba tahu”.

Pada 1363 M, kemungkinan bangunan pen-dharma-an bagi Raden Wijaya di Simping telah mulai rusak karena telah lama didirikan sejak tahun 1321 M sebelum Rajasanagara naik tahta. Maka, upacara keagamaan yang cukup besar diadakan pada masa pemerintahan Hayam Wuruk. Hal mi dilakukan untuk perbaikan dan pemindahan bangunan suci Simping ke lokasinya yang baru. Upacara ini dihadiri sendiri oleh Hayam Wuruk.

Demikianlah dua bangunan pen-dharma-an yang didirikan dalam masa pemerintahan Hayam Wuruk menurut Nagarakrtagarna. Kedua bangunan itu adalah Prajnaparamitapuri yang sekarang dinamakan Candi Bayalango dan Simping atau Candi Sumberjati sekarang. Rajasanagara sengaja mendedikasikan bangunan-bangunan itu kepada kakek-neneknya yang telah berjasa mendirikan Wilwatika. Raja bahkan datang sendiri ke lokasi di Blitar pada waktu penyempumaan bangunan Simping.

Penduduk Majapahit yang tertib dan sejahtera masa itu tentunya berkat adanya norma dan penegakkan aturan secara baik dan ditaati oleh seluruh rakyat. Hal mi disebabkan telah dikenal adanya kitab hukum dan perundang-undangan yang sangat dihormati dalam masa kejayaan Majapahit. Prasasti Bendasari yang dikeluarkan dalam masa pemerintahan Rajasanagara dan juga prasasti Trowu1an yang berangka tahun 1358 M, artinya dalam masa Rajasanagara juga, disebutkan adanya kitab hukum yang dinamakan Kutaramanawa atau lengkapnya Kutaraman awadharmasastra. Isi kitab tersebut ada yang berkenaan dengan hukum pidana dan perdata.

Isinya antara lain tentang ketentuan denda, delapan macam pembunuhan (astadusta), perihal hamba (kawula), delapan macam pencurian (astacorah), pemaksaan (sahasa), jual beli (adol-atuku), gadai (sanda), utang-piutang (ahutang-apihutang), perkawinan (kawarangan), perbuatan asusila (paradara), warisan (drewe kaliliran), caci-maki (wakparusya), perkelahian (atukaran), masalah tanah (bhumi) dan fitnah (duwilatek). Demikianlah keadaan kitab hukum yang relatif memadai untuk masyarakat Majapahit dalam zaman keemasannya di era Rajasanagara. Nampaknya kitab Kutaramanawa tersebut tidak lagi diikuti secara baik dalam masa pemerintahan raja-raja sesudah Hayam Wuruk karena terdapat intrik keluarga raja-raja hingga keruntuhan Majapahit.

Kitab perundang-undangan tersebut tentunya bertujuan untuk mengatur dengan baik tata masyarakat sehingga dalam masa kejayaan Majapahit tercipta keadaan yang aman dan tentram bagi seluruh rakyatnya. Contoh isi kitab Agama (Kutaramanawadharmasastra) adalah sebagai berikut:

Pasal 87 : “Barang siapa sengaja merampas kerbau atau sapi orang lain dikenakan denda dua laksa. Barang-siapa merampas hamba orang, dendanya dua laksa. Denda itu dipersembahkan kepada raja yang berkuasa. Pendapatan dari kerbau, sapi dan segala apa yang dirampas terutama hamba dikembalikan kepada pemiliknya dua kali lipat”.

Pasal 92 : “Barangsiapa menebang pohon orang lain tanpa seizin perniliknya, dikenakan denda empat kali oleh raja yang berkuasa. Jika hal itu terjadi pada waktu malam, dikenàkan pidana mati oleh raja; pohon yang ditebang dikembalikan dua kali lipat”.

Perlindungan terhadap kaum perempuan juga diatur dengan tegas dalam beberapa bab di kitab tersebut, antara lain:

Pasal 108: “Jika seorang isteri enggan kepada suaminya, karena ia tidak suka kepadanya, uang tukon (mahar) harus dikembalikan dua kali lipat. Perbuatan itu disebut amadal sanggama (menolak bercampur). “Seorang wanita boleh kawin dengan laki-laki lain, jika suaminya hilang, jika suaminya meninggal dalam perjalanan; jika terdengar bahwa suaminya ingin menjadi pendeta; jika suaminya “tidak mampu” dalam percampuran, terutama jika ia menderita penyakit budug. Jika demikian keadaan suaminya, wanita itu boleh kawin dengan orang lain”.

Pasal 207: “Barangsiapa memegang seorang gadis, kemudian gadis itu berteriak menangis, sedangkan banyak orang yang mengetahuinya, buatlah orang-orang itu saksi sebagai tanda bukti. Orang yang memegang itu dikenakanlah pidana mati oleh raja yang berkuasa”.WHD No. 510 Juni 2009.
(BERSAMBUNG)

SEJARAH MAJAPAHIT 2

Majapahit Dalam Sejarah ( 2 )

Pencapaian peradaban dalam masa Majapahit terjadi pula dalam. bidang seni arca yang mempunyai bentuk dan gaya tersendiri. Jumlah arca yang dihasilkan dalam era Majapahit cukup banyak. Arca-arca tersebut ada yang berasal dari periode awal, kejayaan, kemunduran dan keruntuhan Majapahit. Ciri khas bentuk arca Majapahit telah ditelaah oleh para ahli. Salah satu cirinya yang kuat adalah terdapatnya garis-garis di sekitar tubuh arca. Garis ini sebagai garis sinar yang lazim disebut dengan “sinar Majapahit”. Adapun bentuk relief lingkaran yang dilengkapi dengan garis-garis sinar seringkali didapatkan di beberapa bagian candi yang disebut dengan “Surya Majapahit”.

N.J. Krom pernah mengemukakan dalam artikelnya yang berjudul “De beliden van Tjandi Rimbi’ (1912) tentang ciri-ciri arca masa Majapahit sebagai berikut:
1. Pada kedua sisi arca dihias dengan padma yang ke luar dari pot/vas bunga.
2. Hiasan kepala (mahkota) berbentuk kerucut (kirita makuta) dan terdapat pula ikat kepala di dahi (jamang).
3. Perhiasan telinga berbentuk memanjang.
4. Gerai rambut dihias dengan makara atau perhiasan lain yang sesuai.
5. Tubuh bagian atas terbuka (tidak. memakai pakaian) kecuali perhiasan tali dada atau tali kasta (upawita).
6. Terdapat ikat pinggang di bawah dada (anteng).
7. Digambarkan mengenakan kain sarung berlapis-lapis.
8. Ikat pinggang setinggi perut, di bawahnya terdapat lipatan kain yang terlihat. Selain itu, dibawah lipatan terdapat ujung tali yang menggantung di bahu kiri.
9. Pada kedua kaki menjunfai tali-tali dari ikat pinggang setinggi perut dan di ujung tali terdapat hiasan.
10. Wiru dan kain pada kedua sisi ‘tubuh dan di antara dua kaki, ujungnya terbelah berbentuk ekor burung layang-layang.
11. Memakai gelang tangan, kelat bahu dan gelang kaki yang lebar.

Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa tidak semua ciri arca tersebut dapat secara lengkap dijumpai pada setiap arca masa Majapahit. Ciri-ciri tersebut hanya hadir pada beberapa arca penting saja, seperti arca Hari-Hara dari Candi Sumberjati, arca Parwati dari Candi Ngrimbi, arca perwujudan sepasang tokoh dan arca “Ratu Suhita” Arca-arca era Majapahit lainnya mungkin hanya memiliki sebagian ciri saja. Walaupun demikian, cukup untuk diidentifikasikan sebagai arca gaya seni Majapahit. Justru ciri yang kerapkali didapatkan pada arca-arca Majapahit, oleh Krom malah dilupakan, yaitu adanya “Sinar Majapahit” yang keluar disekeliling tubuh arca. Mungkin saja pada masa Krom menyusun karyanya, temuan arca-arca Majapahit dengan “Sinar Majapahit” belum banyak ditemukan sehingga ciri penting tersebut belum dimasukkan oleh Krom sebagai salah satu ciri arca masa Majapahit.

Pendapat Krom itu lalu mendapat “penjelasan” lebih lanjut dari W.F. Stutterheim dalam karyanya “De dateering van eenige Oost-Javaansche beeldengroepen“. Pendapat Krom antara lain menyatakan bahwa ciri arca Majapahit yang penting adalah terdapatnya bunga teratai yang keluar dari pos/vas di kanan-kiri arca, sedangkan ciri seni arca Singhasari adalah terdapat bentuk bunga teratai yang langsung keluar dari akarnya (bonggolnya) disisi kanan-kiri tubuh arca. Stutterheim menyatakan bahwa ciri teratai yang keluar dari pot sebenarnya tidak menandai zaman/periode gaya seni Singhasari ataupun Majapahit. Ciri tersebut sebenarnya menandai dinasti atau keluarga raja.

Selanjutnya, Stutterheim mengemukakan bahwa arca-arca yang diapit oleh teratai yang keluar langsung dari bonggol (akarnya) sebenarnya dapat dihubungkan dengan penggambaran raja-raja Singhasari dan keluarganya. Apabila ada keluarga Raja Singhasari mangkat dan kemudian diarcakan dalam bentuk arca perwujudan, maka arca-arca itu digambarkan dengan diapit teratai yang keluar dari akarnya, sedangkan raja-raja Majapahit dan keluarganya jika diwujudkan dalam bentuk arca, penggambarannya diapit oleh teratai yang keluar dari dalam wadah (vas, periuk, pot atau lainnya lagi).

Pendapat Stuterheim tersebut agaknya benar. Hal ini terbukti dengan arca perwujudan Rajapatni Gayatri yang berupa Prajnaparamita di Candi Bayalango. Penggambarannya diapit oleh sepasang teratai yang keluar dari bonggolnya. Menurut Nagarakrtagama, Gayatri wafat tahun 1272 S/1350 M. Ia kemudian di-dharma-kan di Bayalan. Arcanya berwujuci Prajnaparamita. Gayatri meninggal dalam masa pemerintahan Hayam Wuruk. Jika mengikuti pendapat Krom, seharusnya arca Prajnaparamita tersebut diapit teratai yang ke luar dari suatu wadah karena dibuat dalam masa Majapahit. Apabila mengikuti pendapat Stuttetheim, maka, arca tersebut menggambarkan Gayatri yang sebenarnya putri Raja Singhasari Krtanagara, raja terakhir Singhasari. Oleh karena itu, arca perwujudannya diapit oleh teratai yang keluar langsung dari bonggol akar-akarnya. Selain iu, arca Amoghapasa yang sekarang kepalanya hilang dan masih terdapat di halaman Candi Jago juga diapit oleh teratai yang keluar dari bonggolnya, artinya menggambarkan keluarga Raja Singhasari. Hal itu dapat dipahami karena arca tersebut menurut uraian kitab Pararaton menggambarkan Sri Rangga Wuni (Wisnuwarddhana) - ayahanda Krtanagara yang telah meninggal di-dharma-kan di Jajaghu atau Candi Jago sekarang.

Arca-arca dari masa Majapahit penggarapannya cukup halus sehingga dapat dianggap karya seni arca yang bermutu tinggi karena keindahannya, misalnya arca Hari-Hara (tinggi 2 m) dari Simping (Candi Sumberjati) di Blitar dan arca Dewi Parwati (tinggi 2 m) dari Candi Ngrimbi di Jombang. Kedua arca tersebut disimpan di Museum Nasional Jakarta. Arca Parwati diapit oleh teratai yang ke luar dari vas, menurut Stutterheim termasuk contoh gaya seni arca keluarga Majapahit. Arca Parwati itu sangat mungkin menggambarkan Ratu Tribhuwanottunggadewi Jayawisnuwarddhani, ibu Hayam Wuruk. Sebagaimana diketahui bahwa sang ratu adalah putri dari Raja Majapahit pertama, yaitu Krtarajasa Jawawarddhana.

Menurut Nagarakrtagama terdapat bermacarn bangunan suci yang dikenal dan dijaga oleh masyarakat dalam zaman kejayaan Wilwatikta. Bangunan-bangunan suci tersebut dibawah pengawasan dua orang dharmmadyaksa (pejabat tinggi keagamaan), yaitu dharmmadyaksa ring kasaiwan yang mengurus bangunan-bangunan suci yang bernafaskan agama Hindu-saiva dan dharmmadyaksa ring kasogatan yang menjaga bangunan-bangunan suci agama Budha Mahayana. Pejabat tinggi lainnya disebut dengan mantri her haji yang mengurusi tempat-tempat keagamaan kaum Rsi, seperti tempat pertapaan, pemukiman kaum agamawan (krsyan) dan juga pusat-pusat pendidikan agama (mandala dan kadewaguruan).

Bangunan-bangunan yang berada di bawah pengawasan dua dharmmadyaksa pada masa Majapahit disebutkan dalam Nagarakrtagama pupuh 76-77. Dharmmadyaksa ring kasaiwan mengawasi empat kelompok bangunan suci, yaitu;
1. Kuti Balay merupakan tempat pemujaan yang dilengkapi dengan bangunan pendopo (mandapa) tanpa dinding serta dilengkapi pula Bangunan tempat tinggal untuk para pendetanya (asrama).
2. Parhyangan merupakan tempat-tempat suci untuk memuja leluhur/nenek moyang (hyang).
3. Prasadha haji merupakan candi-candi kerajaan serta tempat pen-dharma-an kerabat raja.
4. Sphatika i hyang merupakan tempat-tempat peringatan (?) bagi leluhur.

Adapun dharmadyaksa ring kasogatan mengawasi tanah-tanah perdikan (sima) bagi kegiatan agama Budha yang terdiri atas dua kelompok, yaitu:
1. Kawinuya merupakan bangunan suci Budha yang secara umum bukan diperuntukkan bagi suatu sekte.
2. Kabajradharan merupakan bangunan suci sekte bajradara-tantrayana.

Mantri her haji/air haji pada masa Majapahit termasuk kelompok mangilala drbya haji, artinya para pejabat kerajaan yang “menikmati kekayaan raja” (digaji oleh kerajaan). Maka, mereka dilarang memungut biaya apapun dalam lingkungan daerah-daerah perdikan (sima). Menurut Nagarakrtagama pupuh 75:2 dan pupuh 78:1, tugas mantri air haji adalah mengawasi sejumlah krsyan yang terdiri atas Sampud, Rupit, Pilan, Pucangan, Pawitra, Jagaddita, Butun, arca-arca lingga, saluran-saluran air (pranala) dan pancuran (jaladwara) yang dikeramatkan terdapat di tempat-tempat itu.

Kata er, air dan her dalam bahasa Jawa Kuna berarti “air”. Jika kata itu digabungkan dengan haji, seperti erhaji, air haji atau her haji secara harafiah berarti “air raja”. Pengertian itu agaknya menunjukkan bahwa pejabat er haji sebenarnya mengurusi “air suci milik raja. Maka, “air suci” itu tidak lain adalah tempat petirthaan (patirthan) yang merupakan sumber air suci. Air ini dipercaya dapat menghilangkan bermacam klesa dan kotoran setara dengan air amerta. Pada umumnya patirthan terdapat di tempat yang jauh dari keramaian, seperti di lereng gunung, di pegunungan yang berhutan lebat (contohnya Jalatunda, Belahan, Kasurangganan dan Simbatan Wetan). Para pertapa (rsi) dan kaum agamawan lainnya bermukim di tempat-tempat itu. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa pejabat yang berjuluk mantri her haji mengurusi tempat-tempat bagi para pertapa dan kaum agamawan dalam perkampungan mereka (mandala).

Adapun mengenai bangunan pen-dharma-an dalam masa pemerintahan Hayam Wuruk didirikan bagi kerabat raja yang telah mangkat. Hal ini juga diuraikan dalam Nagarakrtagama.
(BERSAMBUNG)

SEJARAH MAJAPAHIT 1

Majapahit Dalam Sejarah ( 1 )

Kejayaan Majapahit : Rajasanagara Di
Puncak Peradaban Majapahit (1350-1389 M)
Sang Sri Natha ri Wilwatikta haji
Rajasanagara wisesa bhupati.

Masa kejayaan Majapahit berlangsung dalam era pemerintahan Hayam Wuruk. Masa sebelumnya, kejayaan Majapahit baru mulai mendaki ke arah puncaknya. Pada masa pemerintahan Ratu Tribhuwanottunggadewi (1328-1350 M), ibunda Hayam Wuruk, Majapatih mulai melebarkan pengaruhnya ke luar Jawa, antara lain ke Bali. Penyerangan ke Bali dipimpin oleh Mahapatih Gajah Mada dan saudara sang ratu dari daerah Minangkabau, yaitu Aryya Wangsadhiraja Adityawarman. Pada waktu itu, Bali diperintah oleh Sri Asta Asura Ratna Bhumi Banten. Dia menurut uraian Nagarakrtagama bertingkah laku jahat dan nista sehingga perlu dihancurkan (Nag. 49 : 4). Menurut Pararaton, Gajah Mada mengucapkan sumpahnya yang terkenal pada masa pemerintahan Tribhuwanottunggadewi. Sumpah tersebut mampu dibuktikan dalam masa pemerintahan Hayam Wuruk yang berada di puncak kemegahan Wilwatikta.

Pada 1350 M, Dyah Hayam Wuruk naik tahta Majapahit menggantikan ibunya, yaitu Ratu Tribuwanottunggadewi Jayawisnuwarddhani. Sebelumnya, Hayam Wuruk berkedudukan sebagai rajakumara (raja muda) di Jiwana (Kahuripan). Kitab pararaton menyebut tokoh ini setelah meninggal dengan sebutan Bhra Hyang Welcasing Sukha, sedangkan nama Hayam Wuruk waktu kecil menurut Pararaton ialah Raden Tetep.

Masa pemerintahan Hayam Wuruk dianggap masa kejayaan Majapahit karena tidak ada konflik internal ataupun eksternal dengan daerah-daerah lainnya, kecuali peristiwa Pasundan-Bubat di tahun 1357 M. Daerah-daerah di luar Pulau Jawa (Nusantara) banyak yang mengakui kebesaran Majapahit. Hal ini terlihat dengan dikirimkannya utusan setiap tahun ke istana Hayam Wuruk. Pengiriman utusan atau upeti ke Majapahit bukan akibat penyerangan atas daerah-daerah tersebut, melainkan karena perjanalan muhibah armada dagang Majapahit yang megah ke daerah-daerah. Mereka lalu mengagumi kebesaran Majapahit sehingga daerah-daerah rela mengirimkan upetinya.

Menurut uraian Nagarakrtagama, pada masa pemerintahan Hayam Wuruk terdapat tahun-tahun penting yang berkenaan dengan kegiatan perjalanannya ke beberapa daerah di tlatah Jawa bagian timur tahun 1353 M mengadakan perjalanan ke Pajang, tahun 1354 M, perjalanan ke Pantai Lasem dan tahun 1357 M ke pantai selatan. Pada saat mengadakan peqalanan ke pantai selatan inilah terjadi peristiwa Pasundan-Bubat. Pada tahun itu juga, Laksmana Mpu Nala memimpin kunjungan muhibah armada Majapahit ke daerah Dompo.

Rute perjalanan yang paling panjang adalah ke Lumajang tahun 1359 M, Tarib dan Sampur tahun 1360 M. Pada 1361 M, Hayam Wuruk melakukan perjalanan ke Rabut Palah (kompleks Candi Penataran) yang merupakan candi Kerajaan Majapahit. Dia memenuhi titah ibunya untuk mengadakan upacara sraddha bagi neneknya Rajapatni Gayatri di tahun 1362 M. Upacara ini berlangsung meriah dan diakhiri dengan meletakkan arca Prajnaparamita di Candi Prajnaparamitapuri di Bhayanglango. Pada 1363 M, Hayam Wuruk meng4dakan perjalanan ke Simping (Sumberjati) untuk meresmikan bangunan candi yang konon baru dipindahkan ke lokasi barn. Candi tersebut dibangun untuk memuliakan eyang Hayam Wuruk, yaitu Raden Wijaya (Krtarajasa Jayawarddhana).

Pararaton menyatakan bahwa Gajah Mada mengundurkan din dan jabatannya setelah peristiwa Bubat, disebutkan “... samangka sira gajah mada mukti palapa. Mukti palapa dalam situasi ini bukanlah sumpah Amukti Palapa yang terkenal itu karena sumpah itu sudah lama diucapkannya dalam zaman pemerintahan ibunda Hayam Wuruk, Ratu Tribhuwanotunggadewi Jayawisnuwarddhani. Adapun mukti palapa dalam hal ini dapat diartikan sebagai “menikmati masa istirahat”.

Oleh karena itu, Hayam Wuruk menganugerahi Gajah Mada wilayah sima (daerah perdikan) untuk keperluan istirahatnya. Nagarakrtagama menyebutkan nama daerah itu sebagai Madakaripura. Tempat itu merupakan wilayah sunyi di pedalaman Jawa Timur sehingga cocok untuk Gajah Mada yang menarik diri dari dunia ramai. Selain itu, tempat itu juga disebut sebagai pesanggrahan bagi Gajah Mada. Hayam Wuruk pernah singgah di Madakaripura dalam perjalannnya ke Lumajang di tahun 1359 M. Sepeninggal Gajah Mada, Hayam Wuruk memanggil Pahom Narendra, yaitu dewan pertimbangan agung kerajaan yang beranggotakan:

1. Sri Kertawarddhana, ayahanda raja
2. Tribhuwananottunggadewi, ibunda raja
3. Rajadewi Maharajasa (bibi raja)
4. Wijayarajasa (suami Rajadewi Maharajasa)
5. Rajasaduhiteswari (adik pertama raja)
6. Singhawarddhana (suami Rajasaduhiteswari)
7. Rajasaduhitendudewi (adik ke-2 raja).
8. Raden Lanang/Bhre Matahun (suami Rajasaduhitendudewi).

Mereka berembuk untuk mencari siapa yang pantas menggantikan kedudukan Gajah Mada sebagai mahapatih Majapahit dengan tugas-tugas beratnya. Berdasarkan pertimbangan Pahom Narendra disimpulkan bahwa tidak ada seorang tokoh pun yang dapat menggantikan kedudukan Gajah Mada. Oleh karena itu, diangkatlah tiga tokoh yang melaksanakan tugas-tugas Gajah Mada, yaitu:

1. Aryyatmaja Pu Tanding sebagai wrddhamantri (menteri urusan dalam kerajaan).
2. Sang Arya Wira Mandalika Pu Nala menjadi menteri niancanagara
3. Patih Dami diangkat menjadi yawamantri.

Masa pemerintahan Hayan Wuruk tanpa patih amangkubumi hanya berlangsung tiga tahun. Dalam Pararaton disebutkan bahwa setelah tiga tahun terdapat kekosongan jabatan patih. Gajah Enggon kemudian diangkat menjadi patih amangkubumi Majapahit (1371-1398 M). Pada 1389 M Rajasanagara rneninggal, tetapi tempat suci untuk memuliakannya (pen-dharrna-an) belum diketahui secara pasti. Pen-dharma-an Hayam Wuruk diduga adalah Paramasukhapura di daerah Tanjung. Hal ini berdasarkan berita Pararaton karena disebutkan bahwa yang di-dharma-kan di tempat itu adalah Bhattara Hyang Wekasing Sukha, nama anumerta Hayam Wuruk.

Susunan Pemerintahan
Pada masa pemerintahan Rajasan agara, susunan pejabat pemerintahan kerajaan jauh lebih banyak daripada sebelumnya. Hal itu dapat diketahui dari uraian beberapa prasasti yang dikeluarkan oleh raja. Salah satu prasasti itu dinamakan prasasti Trowulan yang dikeluarkan tahun 1358 M. Prasasti itu antara lain menyebutkan bahwa nama resmi Hayam Wuruk setelah menjadi raja ialah Sri Tiktawilwa Nagareswara Sri Rajasanagara Namarajabhiseka. Pahom Narendra terdapat di bawah raja yang anggota-anggotanya telah diuraikan di bagian terdahulu. Raja dibantu oleh pejabat tinggi utama dalam melaksanakan pemerintahan, yaitu patih amangkubhumi. Pada saat itu adalah Gajah Mada atau Pu Mada.

Para pejabat tinggi kerajaan yang disebut tanda berada dibawah patih. Mereka terdiri atas beberapa peringkat. Pertama adalah mahamantri katrini yang terdiri dan mahaniantri i hino, i halu dan i sirikan. Kedua adalah pasangguhan atau hulubalang. Ketiga adalah rakryan mantri dwipantara, yaitu pejabat urusan daerah-daerah Nusantara. Keempat adalah sang panca Wilwatikta yang terdiri dan patih, kanuruhan, rangga dan tumenggung. Kelima adalah para pejabat juru pangalasan, yaitu pembesar daerah dan pembesar di negara bagian yang dilengkapi dengan para patih di daerah tersebut. Kelompok lairinya adalah para aryya, yaitu pejabat yang lebih rendah dan rakryan mantri. Para aryya dapat naik jabatannya apabila dianggap berjasa. Mereka dapat menjadi wrddhamantri (mentri senior). Selain para pejabat pemerintahan tersebut, ada juga para pejabat tinggi yang menangahi urusan keagamaan, yaitu Dharmadyaksa ring Kasaiwan yang mengurusi perihal agama Hindu-saiva, Dharmmadyaksa ring Kasogatan pejabat yang mengurusi agama Budha Mahayana dan mantri er haji (mantri her haji) pejabat yang mengurusi perihal kaum pertapa.

Dalam uraian kakawin Nagarakrtagama karya Mpu Prapanca - yang selesai digubah tahun 1365 - terdapat penyebutan wilayah-wilayah di luar Jawa yang mengakui kejayaan Majapahit. Prapanca menguraikannya dalam dua pupuh, yaitu pupuh 13 dan 14. Wilayah-wilayah itu terdapat di Sumatera, Semenanjung Melayu, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara dan daerah pantai Papua Barat. Adapun dalam baris satu pupuh 15 disebut adanya negara-negara sahabat Majapahit (mitra satata), seperti Syangka (Siam), Ayodhyapura (Ayuthia, pedalaman Thailand), Darmanagari (Dharmarajanagara/Ligor), Marutma (Martaban, selatan Thailand), Rajapura (Rajjpuri, daerah selatan Thailand), Singhaagari (daerah di tepi Sungai Menam), Campa, Kamboja dan Yawana (Annam, Vietnam). Hal yang menarik adalah bahwa Cina sebagai negara besar di Asia waktu itu tidak disebutkan oleh Prapanca sebagai salah satu mitra satata Majapahit. Namun demikian, cukup banyak peninggalan yang menunjukkan pengaruh budaya Cina ditemukan di situs Tnowulan bekas Kota Majapahit yang terletak di Mojokerto sekarang.

Sisi-sisi Peradaban Masyarakat Majapahit
Berdasarkan catatan musafir Cina bernama Ma Huan dapat diketahui bahwa kehidupan masyarakat dan perekonomian Majapahit masa itu relatif maju. Dia berkunjung ke Majapahit dalam masa akhir pemerintahan Hayam Wuruk. Catatan Ma Huan menguraikan antara lain sebagai berikut:

“Di Majapahit udaranya terus menerus panas, seperti musim panas di kita (Cina), panen padi 2 kali setahun, padinya kecilkecil, berasnya berwarna putih. Di sana juga ada buah jarak dan karapodang (kuning), tetapi tidak ada tanaman gandum. Kerajaan itu menghasilkan kayu sepang, kayu cendana, intan, besi, buah pala, cabe merah panjang, tempurung penyu baik yang masih mentah ataupun yang sudah dimasak. Burungnya anehaneh, ada nun sebesar ayam dengan aneka wama merah, hijau dan sebagainya. Bea yang semuanya dapat diajari berbicara seperti orang, kakaktua, merak dan lainnya lagi. Hewan yang mengagumkan adalah kijang dan kera putih, ternaknya adalah babi, kambing, sapi, kuda, ayam, itik, keledai dan angsa. Buah-buahannya adalah bermacam-macam pisang, kelapa, tebu, delima, manggis, langsap, semangka dan sebagainya. Bunga penting adalah teratai”.

Penduduk di pantai utara di kotakota pelabuhan, seperti Cresik, Tuban, Surabaya, dan Canggu kebanyakan menjadi pedagang. Kota-kota pelabuhan tersebut banyak dikunjungi oleh pedagang asing yang berasal dari Arab, India, Asia Tenggara dan Cina. Ma Huan memberitakan bahwa di kota-kota pelabuhan tersebut banyak orang Cina dan Arab menetap dan berdagang di kota-kotá tersebut.

Selanjutnya, laporan Ma Huan menyatakan bahwa ibukota Majapahit berpenduduk sekitar 200-300 keluarga. Suatu angka cukup besar untuk zaman itu. Penduduk telab memakai kain dan baju. Kaum lelaki berambut panjang yang diuraikan, sedangkan perempuannya bersanggul. Setiap laki-laki, mulai dari yang berumur tiga tahun ke atas, baik orang berada atau orang kebanyakan, mengenakan keris dengan pegangannya yang diukir indah-indah dan terbuat dan emas, cula badak, atau gading. Apabila bertengkar, mereka dengan cepat menyiapkan kerisnya. Pantangan bagi penduduk Jawa adalah memegang kepala orang lain karena merupakan penghinaan yang akan menimbulkan perkelahian berdarah.

Mereka duduk di rumahnya tdak menggunakan bangku, tidur tanpa ranjang dan makan tanpa memakai sumpit. Baik laki-laki atau pun perempuan senang memakan sirih sepanjang hari. Jadi, kalau ada tamu yang datang disuguhkan bukannya teh, melainkan sinih dan pinang. Atas titah raja, orang Majapahit juga senang mengadakan pertandingan dengan menggunakan tombak barnbu. Tetapi, apabila ada yang meninggal karena tertusuk tombak bambu itu, si pemenang wajib memberikan uang kepada keluar korban. Namun, kalau bulan terang terutama purnama, mereka senang bermain bersama dengan disertai nyanyian bergiliran antara kelompok-kelompok laki-laki dan perempuan. Kesenian yang populer adalah bentuk cerita Wayang Beber, yaitu kisah wayang yang dilukiskan pada kai1i yang direntangkan (beber) oleh sang dalang dan menceritakan adegan-adegan yang digambarkan tersebut.

Para pedagang pribumi umumnya sangat kaya. Mereka suka membeli bathbatu perhiasan yang bermutu, seperti barang pecah belah dan porselin Cina dengan gambar bunga-bunga berwarna hijau. Mereka juga membeli minyak wangi, kain sutra dan kain yang berkualitas baik dengan motif hiasan ataupun yang polos. Pembayaran dilakukan dengan uang tembaga Cina dan dinasti apapun laku di Kerajaan Majapahit.
(BERSAMBUNG)

AIR KENCING SEBAGAI OBAT

MUTRA (Air Seni)

MUTRA (Air Seni)
Oleh: Ngurah Nala, Universitas Hindu Indonesia

Mempergunakan air kencing, air seni, air kemih, urine atau mutra, akhir-akhir ini mulai popular lagi. Ada yang pro dan ada pula yang kontra. Bagi mereka yang mengidap suatu penyakit menahun, kanker atau penyakit apa saja yang sulit disembuhkan, atau belum diketemukan obatnya, akan berusaha mencoba mempergunakan segala cara serta bahan obat apa saja, akan dijalaninya. Tujuannya agar penyakit yang dideritanya sembuh.

Cara pengobatan mempergunakan air kencing ini telah ada dalam kitab Ayurveda yang ditulis ribuan tahun yang lalu. Air kencing dari binatang dan juga manusia menurut Ayurveda sering juga dipergunakan sebagai obat. Dasar pemikirannya adalah air seni tersebut memiliki tiksna guna (menyengat, tajam), ruksa guna (kenyal, kurang jernih), usna guna (panas), kasaya rasa (sepet) dalam anurasa, serta katu rasa (pedas). Oleh karena mengandung guna dan rasa seperti ini maka air seni wajar dapat dipergunakan sebagai bahan untuk obat.

Meminum air kencing sebagai obat telah lama dilakukan oleh umat manusia, tidak hanya di India saja tetapi hampir di seluruh belahan bumi ini. Menurul Ayurveda, air seni ini dapat meningkatkan unsur pitta, menyembuhkan penyakit krmi (cacingan, parasit), sopha (oedema), udara (sumbatan pada perut, termasuk asites), anaha (perut kembung, flatulen), sula (sakit menusuk-nusuk, kolik di perut), arusi (anoreksia, tak ada nafsu makan), visa (keracunan), svitra (bercak putih pada kulit, lekodermis) dan kustha (gangguan pada kulit, termasuk kusta).

Menurut Ayurveda air kemih atau mutra yang dapat dipergunakan sebagai obat adalah air kencing yang berasal dari sapi (go mutra), kambing (chaga mutra), biri-biri (urabhra mutra), gajah (hasti mutra), kerbau (mahisa mutra), kuda (ekasapha mutra), unta (ustra mutra) dan Keledai (rasabha mutra). Air kencing dari manusia pun (manusi mutra) dapat dipergunakan sebagai obat.

Mutra dari binatang betina, seperti sapi, kambing, biri-biri dan kerbau lebih baik khasiatnya sebagai obat dibandingkan air kemih dari yang jantan sebaliknya pada binatang keledai, unta dan gajah, malahan air kencing dari yang jantan khasiatnya lebih baik dari yang betina, Demikian pula pada manusia. Air seni laki-laki lebih berkhasiat sebagai obat dibandingkan dengan kemih wanita. Air kencing sapi, kambing, kerbau, kuda dan manusia sering dimanfaatkan untuk mengobati berbagai penyakit karena mengandung rasa dan guna tertentu.

1) Go Mutra (Air Kencing Sapi) Mutra dari sapi memiliki sifat laghu guna (ringan) , tiksna guna (tajam, menyengat), usna guna (panas) dan lavana rasa (asin). Oleh sebab itu go mutra ini tidak dapat dipergunakan untuk meningkatkan unsur vatta, tetapi dapat menaikkan unsure pitta dan menurunkan unsur kapha.

2) Chaga Mutra (Air Kencing Kambing) Air kemih kambing atau chaga
mutra mengandung sifat ruksa guna (kenyal), usna guna (panas) dan katu rasa (pedas). Air kencing binatang ini sering dipergunakan untuk mengobati penyakit kasa (bronchitis), svasa (sesak nafas, asma), sopha (oedema, busung), kamala (sakit kuning), visa (keracunan) dan pandu (anemia, kurang darah).

3) Mahisa Mutra (Air kencing Kerbau) Air seni kerbau atau mahisa mutra
tidak dijelaskan apa jenis guna dan rasa yang dikandungnya. Tetapi air kencing binatang ini amat berkhasiat untuk mengobati penyakit durnama (arsa, ambeien, wasir), udara (sumbatan pada perut, termasuk ascites) dan sula (sakit menusuk-nusuk di daerah perut, kolik).

4) Ekasapha Mutra (Air Kencing Kuda) Air kencing kuda atau ekasapha
mutra mengandung sifat tiksna guna (tajam, menyengat), usna guna (panas) dan katu rasa (pedas). Oleh karena itu air seni ini dapat dipergunakan sebagai dipana, untuk merangsang pencernaan, menurunkan unsur vatta serta meningkatkan unsur kapha.

5) Manusha Mutra (Air Kencing Manusia) Air kemih manusia atau manusha mutra mempunyai sifat tiksna guna (tajam, menyengat) dan lavana rasa (asin). Berdasarkan atas kandungan ini maka air kemih manusia dipergunakan untuk mengobati visa (orang keracunan), sebagai rasayana (obat agar awet muda) dan obat pama (gatal). Air seni manusia yang paling banyak dipergunakan sebagai obat dibandingkan dengan air kencing binatang. Dan cara inipun sampai sekarang masih ada yang memanfaatkannya untuk pengobatan dan pencegahan berbagai penyakit.

Air Kencing menurut Kedokteran Modern
Masalah air kencing ini sebagai obat, ternyata pada dunia kedokteran modernpun menjadi perhatian para dokter, ahli pengobatan dan ilmuwan lainnya. Mereka tidak menganggap jijik apalagi tahyul untuk meminum air seni demi menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan mereka. Pada World Conference on Auto-urine Theraphy di India pada tanggal 23-25 Februari 1996 terungkap betapa menakjubkannya pengaruh penggunaan mutra, urine atau air kencing ini terhadap penyembuhan beberapa penyakit, antara lain penyakit kencing manis, influenca, hepatitis B, sinusitis (radang pada rongga hidung bagian dalam), jerawat dan bahkan penyakit kanker. Air kencing atau urine menurut ilmu kedokteran modern mengandung hormon, enzim dan mineral yang dapat membantu penyembuhan beberapa penyakit.

Menurut Dr. Ming Chen Liau, wakil general manager Long Life Biomedical Co. Ltd. Hefel Barat, Cina, dalam makalahnya yang disampaikan pada konferensi tersebut, berpendapat bahwa air kencing memiliki kemampuan menyembuhkan beberapa penyakit, diantaranya penyakit kanker. Kebanyakan dari sekitar 600 delegasi dari 17 negara yang menghadirii konferensi tersebut meminum air kencingnya sendiri (manushi mutra) sebagai pencegahan penyakit. Dr. Shigeyuri Arai, manajer Fujisaki Institute, Okayama, Jepang mengatakan berkumur menggunakan sedikit air kencing bisa menyembuhkan penyakit kencing manis, hepatitis B dan influenca, bahkan penyakit kanker. Dr. Arai meneliti sebanyak 1.752 orang yang mempraktekkan terapi air kencing dan berhasil melawan penyakit mulai dari diabetes atau kencing manis sampai kanker. Sebanyak 60% dari mereka mengaku gejala penyakit yang mereka derita hilang selama melakukan terapi tersebut. Dikatakan bahwa sekitar 200 ribu orang Jepang berkumur atau minum air kencingnya sendiri setiap hari, sedangkan di Jerman hampir sebanyak 2 juta orang termasuk pengikut terapi ini.

Berdasarkan penelitian di laboratorium, diperoleh data bahwa air kencing manusia mengandung sebanyak 95% air, 2,5 % mineral dan 2,5 % urea (menyebabkan air seni berbau pesing), serta memiliki substansi yang dapat merangsang sistem kekebalan tubuh dan memerangi infeksi, membunuh bibit penyakit. Seorang Jepang yang berkumur air kencingnya sendiri selama 30 detik setiap pagi mengatakan bahwa sistem kekebalan tubuhnya meningkat. Walaupun beberapa bukti di lapangan menunjukkan demikian ajaib peranan air kencing ini dalam pengobatan berbagai penyakit, para delegasi peserta konferensi sepakat bahwa masalah penggunaan sebagai terapi air kencing ini memerlukan penelitian lebih lanjut selain air kemih manusia (manusha mutra), air seni binatang (Jangama mutra) rupanya belum mendapat perhatian dari para ahli ini. Padahal menurut Ayurveda air seni binatang pun banyak manfaatnya untuk menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan manusia.

Masalah pemanfaatan air kencing untuk pengobatan berbagai macam penyakit yang telah ditulis dalam Ayurveda ribuan tahun yang lalu, sampai sekarang di mana dunia kedokteran modern telah sedemikian majunya masih terus mendapat perhatian dan berusaha untuk menemukan manfaatnya yang maksimal demi meningkatkan derajat kesehatan manusia. Beberapa buku telah diterbitkan, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, dan melalui internet kita dapat mengetahui khasiat serta perkembangan pengobatan dengan mempergunakan air seni atau mutra ini untuk berbagai penyakit. WHD No. 444 Pebruari 2004.

Rabu, 13 April 2011

RUNTUHNYA MAJAPAHIT

Mendekati detik-detik pemberontakan

Demak Bintara berkembang pesat. Tempat ini dirasa strategis untuk pengembangan militansi Islam karena letaknya agak jauh dari pusat kekuasaan. Di Demak Bintara, para ulama-ulama Putihan sering mengadakan pertemuan. Jadilah Demak Bintara dikenal sebagai Kota Seribu Wali.

Ditambah pada tahun 1475 Masehi, seorang ulama berdarah Mesir-Sunda datang dari Mesir. Dia adalah Syarif Hidayatullah. Dia datang bersama ibunya Syarifah Muda’im. Syarifah Muda’im adalah putri Pajajaran. Putri dari Prabhu Silihwangi penguasa Kerajaan Pejajaran. (Hanya Kerajaan ini yang tidak masuk wilayah Majapahit. Walau kecil, Pajajaran terkenal kuat. Anda bisa membayangkan adanya Timor Leste sekarang. Seperti itulah keadaan Majapahit dan Pajajaran. : Damar Shashangka).

Nama asli Syarifah Muda’im adalah Dewi Rara Santang. Dia bersama kakaknya Pangeran Walangsungsang, tertarik mempelajari Islam. Ketika berada di Makkah, Dewi Rara Santang dipinang oleh bangsawan Mesir, Syarif Abdullah. Menikahlah Dewi Rara Santang dengan bangsawan ini. Dan namanya berganti Syarifah Muda’im. Dari pernikahan ini, lahirlah Syarif Hidayatullah.

Pangeran Walang Sungsang, mendirikan daerah hunian baru di pesisir utara Jawa barat. Dikenal kemudian dengan nama Tegal Alang-Alang. Lantas berubah menjadi Caruban. Berubah lagi menjadi Caruban Larang. Pada akhirnya, dikenal dengan nama Cirebon sampai sekarang.

Pangeran Walang Sungsang, dikenal kemudian dengan nama Pangeran Cakrabhuwana. Oleh ayahandanya, Prabhu Silihwangi diberikan gelar kehormatan Shri Manggana.

Syarif Hidayatullah, keponakan Pangeran Cakrabhuwana lantas dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati.

Awal tahun 1478, Sunan Ampel wafat. Sunan Giri terpilih sebagai penggantinya. Pusat Majelis Ulama Jawa kini berpindah ke Giri Kedhaton. Dan, pada waktu inilah tragedi Syeh Siti Jenar terjadi. Syeh Siti Jenar dipanggil ke Giri Kedhaton dan disidang oleh Dewan Wali Sangha dibawah pimpinan Sunan Giri. Walau tidak mengakui keberadaan Majelis Ulama Jawa, beliau tetap hadir. Beliau dituduh telah menyebarkan aliran sesat. Adapula yang menuduh sebagai antek-antek Syi’ah. Ada juga yang mengatakan beliau ahli sihir, dan lain sebagainya. ( Akan saya buat catatan tersendiri tentang beliau : Damar Shashangka).

Pada sidang pertama para ulama yang tergabung dalam Dewan Wali Sangha tidak bisa menemukan kesalahan Syeh Siti Jenar. Sehingga, beliau lantas dibebaskan dari segala tuduhan. Namun bagaimanapun juga, Syeh Siti Jenar adalah duri didalam daging bagi mereka. Maka sejak saat itu, kesalahan-kesalahan beliau senantiasa dicari-cari.

Konsentrasi Dewan Wali Sangha terpecah pada rencana perebutan kekuasaan. Melalui serangkaian musyawarah yang pelik, maka disimpulkan, kekuatan militansi Islam sudah cukup siap untuk mengadakan perebutan kekuasaan. Raden Patah, Adipati Demak Bintara, terpilih secara mutlak sebagai pemimpin gerakan.

Kubu Abangan, tidak menghadiri musyawarah ini. Apalagi semenjak Dewan Wali Sangha atau Majelis Ulama Jawa dipegang Sunan Giri, hubungan kubu Putihan dan kubu Abangan kian meruncing.

Sunan Kalijaga dan para pengikutnya hanya mau membantu Dewan Wali Sangha merampungkan pembangunan Masjid Demak. Selebihnya, mereka tidak ikut campur.

Persiapan sudah matang. Tinggal memilih hari yang ditentukan. Pasukan Telik Sandhibaya ( Intelejen ) Majapahit mengendus rencana ini. Prabhu Brawijaya mendapat laporan para pasukan Intelejen yang ada disekitar Demak Bintara. Sayangnya, beliau tidak begitu mempercayainya. Beliau berkeyakinan, tidak mungkin Raden Patah, putra kandungnya sendiri akan nekad berbuat seperti itu. Prabhu Brawijaya tidak memahami betapa militant-nya orang yang sudah terdoktrin!

Dan manakala pergerakan pasukan besar-besaran terdengar, yaitu pasukan orang-orang Islam Putihan, gabungan dari seluruh lasykar yang ada di wilayah pesisir utara Jawa timur sampai Jawa barat mulai bergerak. Keadaan menjadi gempar! Para Pejabat daerah kalang kabut. Mereka tidak menyangka orang-orang Islam sedemikian banyaknya.

Setiap daerah yang dilalui pasukan ini, tidak ada yang bisa membendung. Kekuatan mereka cukup besar. Persiapan mereka cukup tertata. Sedangkan daerah-daerah yang dilalui, tidak mempunyai persiapan sama sekali. Daerah perdaerah yang dilewati, harus melawan sendiri-sendiri. Tidak ada penyatuan pasukan dari daerah satu dengan daerah lain. Semua serba mendadak. Dan tak ada pilihan lain kecuali melawan atau mundur teratur.

Gerakan pasukan ini cukup kuat. Para Adipati yang berhasil mundur segera melarikan diri ke ibu kota Negara. Mereka melaporkan agresi mendadak pasukan pesisir yang terdiri dari orang-orang Islam itu.

Dan dari mereka, Prabhu Brawijaya mendapat laporan yang mencengangkan, yaitu telah terjadi pergerakan pasukan dari Demak Bintara. Pasukan berpakaian putih-putih. Berbendera tulisan asing! Berteriak-teriak dengan bahasa yang tidak dimengerti! Pasukan ini dapat dipastikan adalah pasukan orang-orang Islam. Dan kini, tengah bergerak menuju ibu kota Negara Majapahit.

Percaya tidak percaya Prabhu Brawijaya mendengarnya. Laporan pasukan Telik Sandhibaya selama ini telah menjadi kenyataan.. Namun, Prabhu Brawijaya tetap tidak bisa mengerti, mana mungkin Raden Patah berbuat seperti itu. Mana mungkin orang-orang Islam berani dan tega mengadalan pemberontakan. Selama ini, Majapahit telah memberikan bantuan material yang tidak sedikit bagi mereka. Sesak! Dada Prabhu Brawijaya seketika serasa sesak bagai dihantam palu! Bergemuruh mendidih! Beliau menyebut Nama Mahadeva berkali-kali.

Seluruh pembesar Majapahit tegang. Mereka menantikan komando Sang Prabhu. Waktu berjalan cepat. Sang Prabhu masih belum mengeluarkan titah apapun. Pergerakan pasukan sudah memasuki Madiun, sebentar lagi mencapai wilayah Kadhiri, sudah teramat dekat dengan ibu kota Negara. Pertempuran-pertempuran penghadangan telah terjadi secara otomatis. Dan semua telah masuk menjadi laporan bagi Sang Prabhu.

Bahkan ada laporan yang menyatakan, beberapa daerah yang terpengaruh Islam, malah ikut bergabung dengan pasukan ini.

Adipati Kertosono ( wilayah Kediri sekarang ) mengirinkan utusan khusus kepada Sang Prabhu untuk segera mengeluarkan perintah perang!

Sang Prabhu masih termangu-mangu. Dan manakala terdengar Adipati Kertosono melakukan perlawanan mati-matian tanpa menunggu komando beliau, barulah Sang Prabhu tersadar! Segera beliau memerintahkan seluruh pasukan Majapahit untuk mempersiapkan sebuah perang besar!

Para Panglima yang telah menanti-nantikan perintah ini menyambut dengan suka cita! Inilah yang mereka nanti-nantikan! Tanpa menunggu waktu lama, seluruh kekuatan Majapahit segera dipersiapkan.

Pasukan Majapahit telah siap sedia menyambut kedatangan pasukan Demak Bintara. Dan sekali lagi, mereka tinggal menunggu perintah untuk MENYERANG!

Dan komando terakhir inipun tidak segera keluar. Pasukan Majapahit resah. Para Panglima cemas. Para kepala pasukan tempur digaris depan terus mendesak kepada Para Panglima masing-masing agar segera mengeluarkan perintah penyerangan!

Para Panglima juga mendesak Sang Senopati Agung, meminta kepada Prabhu Brawijaya untuk segera memberikan komando terakhir. Perlu dicatat, salah satu panglima yang memperkuat barisan Majapahit adalah Adipati Terung, adik tiri Raden Patah.

Dalam hatinya bertanya-tanya, ada apakah dengan kakak tirinya sehingga mengadakan gerakan makar sedemikian rupa? Selama ini, dia tidak melihat ada yang salah dengan pemerintahan Prabhu Brawijaya. Tidak ada diskriminasi dalam hal keagamaan. Dirinya yang muslim-pun, bisa bebas menjalankan ibadah agamanya. Bahkan, bisa dipercaya menjabat sebagai seorang Adipati, yang notabene bukan jabatan main-main.

Adipati Terung tidak bisa memahami pola pikir kakak tirinya.

Dan perintah penyerangan tidak juga segera turun. Seluruh pasukan yang sudah bersiap sedia dibarak masing-masing, dilanda ketegangan yang luar biasa!

Di Istana, Para Mantri resah. Melihat situasi ini, Sabdo Palon dan Naya Genggong meminta Sang Prabhu untuk segera mengeluarkan perintah. Namun apa jawaban Sang Prabhu? Beliau masih tidak yakin pasukan Demak akan tega menyerang ibu kota Negara Majapahit. Sabdo Palon dan Naga Genggong menandaskan, cara berfikir Raden Patah dan para pasukan ini sudah lain. Sang Prabhu tidak akan bisa memahaminya. Jalan satu-satunya sekarang adalah, menghadapi mereka secara frontal. Pada saat ini, tidak ada cara lain.

Dan manakala kabar terdengar pasukan Demak telah merangsak maju dan memasuki pinggiran ibu kota Majapahit, dan disana mereka mengadakan perusakan hebat. Dengan sangat terpaksa, Sang Prabhu mengeluarkan perintah penyerangan! Tapi, perintah itu sebenarnya telah terlambat!

Begitu keluar perintah penyerangan, ada hal yang tidak terduga, pasukan Ponorogo dan beberapa daerah yang lain membelot! Diketahui kemudian ternyata mereka adalah pasukan dari daerah-daerah yang sudah muslim.

Dan, peperangan pecah sudah!

Peperangan yang besar. Darah tertumpah lagi! Senopati Demak dipimpin oleh Sunan Ngundung. Dan dipihak Majapahit, Senopati dipegang oleh Arya Lembu Pangarsa. Prajurid Majapahit mengamuk dimedan laga. Para prajurid yang sudah berpengalaman tempur ini dan disegani diseluruh Nusantara, sekarang tidak main-main lagi! Adipati Sengguruh, Raden Bondhan Kejawen yang masih belia, Adipati Terung, Adipati Singosari dan yang lain ikut mengamuk dimedan laga!

Sayang, banyak kesatuan-kesatuan Majapahit yang berasal dari daerah muslim, membelot. Namun, pada hari pertama, pasukan Demak Bintara terpukul mundur!

Pada hari kedua, pasukan Demak terpukul lebih telak. Senopati Demak, Sunan Ngundung tewas! ( Makamnya masih ada di Trowulan, Mojokerto sampai sekarang.) Pasukan Demak mengundurkan diri. Pasukan cadangan masuk dipimpin oleh putra Sunan Ngundung, Sunan Kudus. Pertempuran kembali pecah!

Namun bagaimanapun juga, pasukan Demak harus mengakui kekuatan pasukan Majapahit. Mereka terpukul mundur keluar dari ibu kota Negara. Kehebatan pasukan Majapahit yang terkenal itu, ternyata terbukti!

Pasukan Demak bertahan. Beberapa minggu kemudian, datang pasukan dari Palembang bergabung dengan pasukan Majapahit. Pasukan Majapahit seolah mendapat suntikan darah segar. Namun ternyata, bergabungnya pasukan Palembang ini hanyalah bagian dari siasat dari orang-orang Demak.

Pasukan Palembang, diam-diam memusnahkan seluruh persediaan bahan makanan tentara Majapahit. Lumbung-lumbung besar dibakar! Semua persediaan bahan pangan ludes! ( Inilah simbolisasi dari didatangkannya peti ajaib milik Adipati Arya Damar dari Palembang yang apabila dibuka, mampu mengeluarkan beribu-ribu tikus dan memakan seluruh beras dan bahan pangan tentara Majapahit. : Damar Shashangka).

Majapahit kebobolan luar dalam. Majapahit benar-benar tidak pernah menyangka akan hal itu. Begitu persediaan bahan pangan menipis, dari hari kehari, pelan namun pasti, pasukan Majapahit terpukul mundur!

Mendengar pasukan Majapahit terdesak, Kepala Pasukan Bhayangkara, yaitu Pasukan Khusus Pengawal Raja, segera mengamankan Prabhu Brawijaya. Keadaan sudah sedemikian genting dan Sang Prabhu, mau tidak mau, harus segera meloloskan diri. Ini harus dilakukan secepatnya, karena untuk menyatukan kembali kekuatan tentara Majapahit kelak, sosok Prabhu Brawijaya, masih dibutuhkan!

Dengan dikawal Pasukan Bhayangkara, Prabhu Brawijaya segera keluar dari Istana. Pasukan Bhayangkara memutuskan agar Sang Prabhu menyelamatkan diri ke Pulau Bali. Pulau yang kondusif untuk saat ini.

Ditengah kekacauan itu, Dewi Anarawati, diam-diam dibawa oleh pasukan Islam ke Gresik. Putra bungsu Dewi Anarawati, Raden Gugur yang masih kecil, diselamatkan oleh pasukan Ponorogo dan dibawa ke Kadipaten Ponorogo.

Dan pada akhirnya, Majapahit bisa dijebol. Seluruh Istana dirusak dan dibakar!. Perusakan terjadi dimana-mana. ( Maka jangan heran, sampai sekarang bekas Istana Majapahit yang terkenal di Nusantara itu, musnah tak berbekas. : Damar Shashangka )

Dan pada akhirnya, terjadilah tragedi kemanusiaan yang sampai sekarang ‘ditutupi’. Perang yang semula melibatkan dua kekuatan militer Majapahit dan Demak, kini merembet menjadi perang sipil. Mereka yang merasa diatas angin, kini menjadi sosok malaikat maut. Pertumpahan darah terjadi. Masyarakat Majapahit yang masih memegang keyakinan lama, berhadapan secara frontal dengan mereka yang telah berpindah keyakinan.

Dimana-mana, situasi anarkhis terjadi. Dimana-mana dua kubu ini bentrok. Dimana-mana kekacauan merajalela. Jawa dalam situasi chaos! Ibu pertiwi menangis. Ibu pertiwi terluka. Putra-putranya kini tengah saling menumpahkan darah hanya karena disalah satu pihak tengah dilanda ‘ketidak sadaran’.

Akibat tragedi yang mencerabut segala sendi-sendi masyarakat Majapahit ini, bangunan-bangunan indah dari Kerajaan Agung Majapahit, musnah tak berbekas! Majapahit yang terkenal sebagai Macan Asia, ludes dibabat habis. Di Jawa Timur, Majapahit seolah-olah hanya sebuah mitos belaka, karena banyak peninggalan dari jaman keemasan Nusantara ini, hancur karena kepicikan.

Hanya sedikit yang tersisa. Dan yang sedikit itulah yang masih bisa kita saksikan hingga sekarang.

Eksodus besar-besaran terjadi. Para Agamawan, Para Bangsawan dan rakyat yang tetap memegang teguh keyakinannya, menyingkir ketempat-tempat yang dirasa aman. Kebanyakan menyeberang ke Bali, Kalimantan dan Lombok.

Ada seorang putri selir Prabhu Brawijaya yang melarikan diri bersama sisa-sisa prajurid Majapahit dan beberapa penduduk. Dia bernama Dewi Rara Anteng. Bersama suaminya Raden Jaka Seger, dia menyingkir ke pegunungan Bromo. Sampai sekarang keturunan mereka masih ada disana, dikenal dengan nama suku Tengger. Diambil dari nama Dewi Rara An-TENG dan Raden Jaka Se-GER. Diwilayah pegunungan Bromo, pasukan Demak memang tidak bisa menjangkau. Medannya cukup sulit dan terisolir. ( Suku Tengger baru membuka diri pada jaman pemerintahan Presiden Soekarno. Ketika disensus dan ditanyakan apa agama mereka, mereka menyatakan beragama Budo. Padahal ritual yang mereka jalankan lebih dekat ke agama Hindhu dari pada agama Buddha. Para petugas sensus tidak tahu, istilah Hindhu memang tidak dikenal pada jaman Majapahit. Yang terkenal adalah agomo Siwo Budo atau hanya disebut wong Budo saja. : Damar Shashangka).

Dengan dikawal oleh Pasukan Bhayangkara dan beberapa kesatuan pasukan yang tersisa, Prabhu Brawijaya menyingkir ke arah timur. Dan untuk sementara, beliau tinggal di Blambangan. Adipati Blambangan, memperkuat barisan pasukan ini. Dan tak hanya itu, para penduduk Blambangan-pun dengan suka rela ikut menggabungkan diri. Mereka benar-benar melindungi Prabhu Brawijaya ekstra ketat. Mereka siap tempur di Blambangan. Keadaan darurat diberlakukan.

Selama ada di Blambangan, Prabhu Brawijaya terus terusik batinnya. Raden Patah, yang biasa beliau banggil dengan nama Patah itu, ternyata telah tega melakukan ini semua. Kebaikan beliau selama ini dibalas dengan racun. Sabdo Palon dan Naya Genggong menabahkan hati Sang Prabhu. Nasi sudah menjadi bubur. Tidak patut disesali lagi.

Kini, saatnya untuk menata kembali yang tersisa. Dan untuk tujuan itu, Prabhu Brawijaya harus menyeberang ke Pulau Bali.










KEMBALINYA MADJAPAHIT
Mahkota peninggalan Kerajaan Majapahit yang sudah ratusan tahun menjadi milik kolektor di mancanegara di kembalikan pada Hyang Bathara Agung Wilatikta Brahmaraja XI Raja Majapahit masa kini.
Berdasarkan pawisik para Spiritualis seuruh Dunia bahwa Mahkota Raja Majapahit harus di serahkan kepada Sri Wilatikta Brahmaraja XI yang memang " Pas " di kepalanya, sebelumnya Mahkota telah di cobakan beberapa tokoh tapi tidak pas, beberapa orang barat yang rata-rata kepalanya besar setelah di cobakan lodok / longgar / kebesaran. Di pakaikan Raja Bali Mula " Dewa Agung Putranata Wijaya Kusuma "adik dari kandung Maha guru Wijaya Kusuma penyungsung tapakan Dewi Tangan Seribu (yang pernah di ramalkan usia 32 tahun ketemu Dewi Tangan Seribu / Ibu Siwa Parwati / Ibu Majapahit Sri Paduka Rajapatni Biksuni Sakti Pelindung Jagadraya dan akhirnya ramalan itu terbukti dan selanjutnya menjadi pengagum Majapahit sekaligus mengundang Dewi Tangan Seribu ke Pura Kahyangan Jagad Tuluk Biyu untuk memberikan restu dan do`a kesejahteraan untuk seluruh masyarakat).
Dewa Agung Putaranata ini orangnya kecil rata-rata seperti orang Indonesia pada umumnya malah kekecilan. Aneh memang di masa yang sudah modern dan ilmiah ada Mahkota mencari kepala yang pas, bagi yang tidak di kehendaki bisa di jepit kepalanya. Nah, Akhirnya ada wahyu atau pewisik bahwa " Kepala yang Pas " adalah Hyang Bathara Agung Suryo Wilatikta atau Abhiseka Raja Majapahit dengan gelar SRI WILATIKTA BRAHMARAJA XI di Puri Surya Majapahit Jimbaran-Bali " Keraton Ibu Kerajaan Majapahit Pusat / Pura Ibu Kawitan Pusat Kerajaan Majapahit " terletak di kawasan Banjar Buana Gubug Puri Gading Jimbaran. Dan Puri Gading sekarang menjadi incaran tokoh-tokoh Budaya dan Spiritualis dari berbagai lintas agama dan kepercayaan.
Akhirnya para utusan Negara yang menginginkan Dunia Adil makmur Sejahtera meminta Brahmaraja XI mencoba walaupun beberapa kali ditolak oleh Raja Majapahit tersebut dengan alasan mungkin masih ada yang lain yang berhak menerimanya.
Tapi dengan keyakinan yang tidak di ragukan, para utusan Negara ini mencoba memakaikan kepada Raja Majapahit ternyata pas dan ketika Way Cing Lee putri dari Raja Tumasik (Singapura sekarang) mengenakannya tiba-tiba terjadi keanehan muncul Sinar Mas turu dari langit disertai angin gemruh serta kilat menyambar-nyambar, selendang Way Cing Lee yang berwarna Jingga seperti leluhur Majapahit bernama Dara Jingga titisan Dewi Kwan Im Tangan Seribu yang bergelar SRI PADUKA RAJAPATNI BIKSUNI SAKTI PELINDUNG JAGADRAYA terlepas dan menyambar seakan-akan ingin memeluk Brahmaraja untuk mengungkapkan kata, Leluhur bangga menyaksikan keturunannya yang ke sebelas mengenakan Mahkota karena leleuhur sudah " meraga sukma " dan tidak mungkin " Roh " mengenakan barang nyata yang pasti akan jatuh mahkota tersebut, tapi melalui keturunannya leluhur Majapahit gembira karena Majapahit masih ada.
Terdengar pula nyanyian surgawi hingga suaranya terdengar dari seluruh penjuru arah serta terekam semua dokumentasi Wartawan seluruh dunia yang hadir pada malam yang sakral dan keberuntungan menyertai mereka. Akhirnya Mahkota di serahkan kepada Brahmaraja XI melalui Putri Pendiri Republik Indonesia Dyah Ayu Sukmawati Soekarnoputri yang tanpa di duga ikut hadir bersama rombongan ke Pura Ibu Majapahit Jimbaran-Bali. Seperti di kehendaki, Bung Karno yang pendiri R.I memeinjam Sukma / Roh untuk menyaksikannya, kebetulan juga Sukmawati adalah Sukma / Roh Bung Karno yang asli Putra Majapahit. Penyerahan di sertai do`a bersama Pendukung Majapahit seluruh Dunia. Dalam menebus Mahkota Bangkok, Siam, Thailand, Singapura, China, Australia mengulkan urunan uang untuk menebus harga mahkota supaya semua merasa memiliki Majapahit.
Dalam sambutannya pihak Singapura yang di wakili Miss.Way Cing Lee menyatakan gembira dan puas bisa menyerahkan kembali Mahkota dan dengan demikian Dunia akan tentram kembali. Pihak Australia menyatakan semoga di dunia aman dan damai serta Gemah Ripah Loh Jinawi dan Bathara Wisnu menitis kepada Hyang Brahmaraja XI yang telah terbukti menyatukan etnis, suku, Agama, Kepercayaan dan lain-lain di Puri Surya Majapahit.
Dalam sambutannya juga Brahmaraja XI menyatakan," Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar tetapi berjalannya waktu Bangsa ini menjadi Bangsa "pengimport" termasuk import Agama, jadi semua agama yang di anut di Indonesia semuanya import, kita sudah tidak bangga lagi dengan Tanah Air yang subur makmur." kata Brahmaraja. " Satu-satunya yang eksport adalah TKI dan TKW yang pulang kebanyakan dengan kesengsaraan bahkan mati", imbuhnya.
Brahmaraja juga mengungkapkan kegalauan hatinya tentang rakyat yang di tinggalkan oleh para Leluhur Majapahit yang pernah menyatukan Nusantara dan menjadi kebanggaan seluruh negeri. Brahmaraja menambahkan ketakutan para Dajjal yang sekarang meraja-lela dengan bangkitnya Majapahit. Musibah-musibah ini akan kembali tentram jikalau tiga permata yang hilang dari mahkota sudah kembali. Kitab Negara Kerthagama menyebutkan dalam sastra Raja Pandawa yang di sadur ke bahasa indonesia" Sepeninggalnya jaman kali (Kali Yuga), Dunia murka, timbul huru hara, hanya Bathara Raja yang faham dalam nam guna, dapat menjaga jagad.
Itulah sebabnya Sri Paduka teguh bakti menyembah kaki Sakyamuni, teguh tawakkal memegang Pancasila, laku yang utama, upacara suci gelaran jinabrata yang temahsyur ialah Sri jnanabadreswara, menghormati Ibu, lulus dalam filsafat, ilmu bahasa dan lain pengetahuan Agama. Berlomba-lomba Beliau menghirup sari segala ilmu kebatinan, pertama-tama Tantra Subuti di selami, intinya masuk ke hati, melakukan puja, yoga, semadi demi keselamatan seluru Praja, menghindarkan tenung. mengindahkan anugerah kepada rakyat murba.Di antara Raja yang lampau tidak ada yang setara dengan Beliau.
Faham akan nam guna, sastra, tatwapadesa, itulah sebabnya Beliau menjadi Raja Pelindung yang bersemayam di alam Siwa Buda". Kejadian di luar dugaan, di era globalisasi masih ada kejadian aneh sebuah mahkota peninggalan Majapahit bisa memilih kepala yang pas untuk di kenakan.
Sebuah bukti ilmiah yang sulit di terima akal sehat tapi benar-benar terjadi dan di saksikan banyak orang seluruh dunia. Setelah menerima Mahkota, Hyang Mulia Hyang Bathara Agung Wilatikta Brahmaraja XI di minta MERUWAT JAGADRAYA / DUNIA pada tanggal 7-September-2008 di Pura Jagadnatha Denpasar Bali oleh Hindu Dunia (WHYO). Dan untuk pertama kalinya Pura Jagadnatha di penuhi semua umat beragama dan lintas bangsa seluruh dunia bahkan Barongsay untuk pertama kalinya di tampilkan. Malam sebelumnya terjadi suatu keanehan seluruh Bali di guyur Hujan hingga di sekitar Pura Jagadnatha di dalam pura tidak hujan sama sekali (penulis saksinya dengan pemangku pura).
Besoknya banyak sepiritualis dunia dan dari lintas Agama mengalami kesurupan, bahkan Kuda dokar yang di tumpangi Brahmaraja ikut kesurupan. Sebelumnya Hyang Bathara Agung Brahmaraja XI menerima pucuk Tumpeng Agung HUT.Paduka Yang Mulia KGPAA Mangkoenagoro IX, di teruskan menerima piagam Bintang DARMA BUDAYA dari peladen Bangsa Kanjeng Pangeran Wa Arya Sontodipuro.
Inilah yang membikin Brahmaraja tertantang bukan bangga ongkang-ongkang kaki mendapat penghargaan, tapi terus berjuang untuk kebangkitan Majapahit yang Gemah Ripah Loh Jinawi yang sesuai dengan permintaan dari dunia berdasarkan Ramalan Leluhurnya hingga membuat para Dajjal di Bumi Nusantara ketakutan terusir dari tanah yang subur kembali ke tanah arab yang tandus. (Salam semoga dipahami yang sudah terjadi)

BENDESA TANGKAS KORI AGUNG PUSAT GERIH

BENDESA GERIH
Warga Bendesa Tangkas Kori Agung Pusat Gerih.

Ki Gusti Gede Bendesa Gerih Menerima Mandat Dari Ida Batari Dewi Danu Beratan.
Oleh : gustibendesa


Tersebutlah sebuah Danau yang sangat indah.Danau diapit dua buah bukit.Bukit Macan dan Bukit Puncak Mangu terletak di daerah pariwisata Bedugul,Bali. Disamping indah,juga menyimpan banyak legenda sejarah Bali Purba. Sore itu seorang Wong Samar (makluk halus) sedang meniknati panorama Danau Beratan. Dari pakaiannya orang dapat menerka beliau adalah Ki Jagul Tua,raja diraja Wong Samar penguasa Sungai Ayung.Kedatangannya ke Danau Beratan,adalah melepaskan lelah dari perjalanan jauh.
Ketika Ki Jagul Tua istirahat di tepi danau, Ida Batari Dewi Danumelihatnya.Ida Batari Dewi Danu menghampiri Ki Jagul Tua,seraya bersabda, “ Ih Paman Ki Jagul Tua,mengapa ada disini?” Apakah Paman menghadap saya?” Lalu Ida Batari Dewi Danu bersabdanya,”..kebetulan Paman datang menghadap,ada yang ingin saya titipkan kepada Paman. “Maafkan hamba Ratu,kebetulan mampir disini. Apa yang Paduka titipkan,segera katakan”.”Ini Paman.Tolong sampaikan Manik Sekecap ini kepada Ki Gusti Gede Bendesa di Gerih”. Manik Sekecap semacam “jimat”untuk para pemimpin dikala itu. Manik artinya “inti”,sekecap artinya “mumpuni dalam ucapan” . “Paman ini ‘ kulit kepala ikan gabus’berikan kepada Ki Gusti Gede Bendesa di Gerih,agar dapat segera membangun Pura Kayangan dan membangun wilayahnya”. Ki Jagul Tua segera menyembah,”Ya Nyi Ratu, hamba segera laksanakan, ijinkan hamba mohon panit”. “Silahkan Paman”,sahut Ida Batari Dewi.
Ki Jagul Tua,bergegas menuju Puri Cungkub Manik di tepi Sungai Ayung,dekat Song Naung. Tiada berapa lama,sampailah Ki Jagul Tua di Purinya. Ditimangnya “manik sekecap”itu,dan berguman, Kulit Hulu Kepala Gabus ini, tak akan aku sampaikan kepada Ki Gusti Bendesa Gerih.Biarlah aku mengambilnya agar aku kaya raya.Kalau diberikan kepada Ki Gusti Gede Bendesa Gerih,pastilah ia kaya raya. Biarlah aku mengambilnya.Dicobanya keampuhan manik sekecap itu,dengan meninta agar Purinya bertahtakan mutumanikam. Dan berhasil.Puri Cungkub Manik, Puri termegah di dunia “Wong Samar”
Tersebutlah Ki Bendesa Gerih,setelah bekerja membangun desa bersama krama,ia selalu meluangkan waktunya mengail di tepian Sungai Ayung. Memancing adalah kegemarannya.Berangkatlah Ki Bendesa menuju Tibu Beneng.Dan melepaskan pancingnya ke sungai.Tiada berapa lama,umpannya dimakan ikan Julit besar.Tapi sayang pancingnya terputus oleh ikan itu.Dicobanya dengan pancing lain, putus lagi. Betapa malang nasibku,gumannya,dan haripun menjelang malam. Akhirnya ia pulang .Di tengah jalan ia bertemu orang tua. Jero Bendesa ,ganti pancingmu dengan bahan gigi cangkul. Dan orang itupun ngeloyor pergi. Sampai di rumah dikerjakannya apa yang disampaikan orang tua tadi. Dan pancing yang ke 108 buah itupun jadi.
Sore itu cuaca taram temaram.Dilemparnya mata kailnya di Tibu Beneng kembali.Tak berapa lama pancingnya ditarik oleh ikan julit besar. Ditariknya dengan cermat,dan ikan itupun dapat ditangkapnya.Ditaruhnya ikan itu di atas batu pipih yang besar. Ketika akan mengambil pisau kekil untuk menusuk leher ikan itu,tiba-tiba terdengarlah suara orang . “Mohon apun Jero Bendesa,kasihanilah hamba,hamba jangan dibunuh”. Ternyata suara itu berasal dari ikan Julit yang ditangkapnya itu. Dan…segera ikan itu dilepaskan dari mata kail yang menancap dikerongkongannya .Atas budi baik Ki Bendesa,seluruh warga Makluk Halus di tepi Sungai Ayung ini,akan menjadi pengikut yang setia. Dan diberikannya bulu ayam putih kepada Ki Bendesa Gerih,agar datang ke rumahnya,lemparkan bulu ayam i ke pusaran Tibu Beneng.Apabila berputar-putar berceburlah ke dalamnya.
Singkat cerita Ki Gusti Gede Bendesa Gerih pulang,minta ijin pada anak dan istrinya,bahwa beliau akan bepergian selama tiga hari. Bertepatan Tilem Kepitu,berangkatlah Ki Bendesa Gerih menuju tepi Tibu Beneng. Bulu ayam dilempar dan bulu itu berputar-putar ke pusaran air.Ia terjun ke dalam air.Tiba-tiba alam berubah menjadi perkampungan indah,dengan rumah-rumah yang megah.Ia menuju dagang nasi dan bertanya,”Jero dimana rumahnya Ki Jagul Tua ?” Dagang nasi mengantar Ki Bendesa Gerih menuju Puri yang sangat megah. Dalam perjalanan Nyi Dagang Nasi berpesan,”Jero Bendesa Gerih,apabila diberi oleh-oleh mas,selaka,perak jangan mau,mintalah Kulit Kepala Gabus .Itu saja jangan yang lain. Dagang Nasi minta diri.Dan Ki Bendesa Gerih langsung disapa oleh Ki Jagul Tua. Ki Bendesa Gerih tercengang melihat banyak orang sakit kena pancing.Dan Ki Jagul Tua minta tolong untuk mengobatinya. Setelah diberi air maka semua sehat kembali. Setelah berbincang-bincang,akhirnya Ki Bendesa Gerih mohon pamit. “Ki Bendesa,apa yang Anda minta pada hamba sebagai balas budi ,mintalah, disini banyak emas,dan yang lainnya”,sapa Ki Jagul Tua. Akhirnya ki Bendesa Gerih hanya minta Kulit Kepala Gabus saja. Dengan berat hati akhirnya diberikan oleh Ki Jagul Tua,karena itu memang miliknya titipan dari Ida Batari Dewi Danu.
Sampai di rumah .Dicobanya manik sekecap itu,dengan memohon rumahnya agar menjadi Puri yang megah.Minta harta berana. Minta agar perompak yang mengacau wilayahnya tidak berani lagi,dan banyak lagi. Semuanya tercipta dengan menakjubkan.
Alkisah Ki Gusti Bendesa Gerih menjadi pemimpin yang mumpuni.Banyak Pura Kayangan didirikan,dan beliu akhirnya menjadi regen di Tegal Lumbung,dengan banyak kisah kesaktiannya yang sangat menakjubkan dan melegenda di masyarakat luas.
Kekayaan dan kejayaan Ki Gusti Gede Bendesa Gerih,didengar oleh Ki Gusti Ngurah Mambal. Beliau heran darimana kekayaanya itu. Lalu dicarinya informasi melalui Ni Gusti Ayu Rukmini,salah seorang putri Ki Bendesa Gerih. Dan disampaikannya bahwa ayahandanya memiliki Manik Sekecap.
Dari informasi itu, Ki Gusti Ngurah Mambal, bermaksud meminang Ni Gusti Ayu Rukmini.Melalui putrinya itu,memungkinkan Manik Sekecap itu berpindah ketangannya melalui cucunya kelak. Berdasarkan daya upayanya,maka Ni Gusti Ayu Rukmini putri Ki Bendesa Gerih dipinang. Dan disepakati antara kedua belah pihak,maka suatu hari bersiaplah Ki Gusti Ngurah Mambal bersama kerabatnya ke Puri Ki Bendesa Gerih.
Ketika itu hujan sangat lebat,sungai Ayung meluap kebanjiran.Ki Ngurah Mambal tak dapat menyeberangi sungai.Maka oleh Ki Bendesa Gerih,Kulit Kepala Gabus itu di celupkan ke dalam air,dan airpun berbalik kehulu sungai. Upacara pinanganpun berhasil. Singkat cerita,kelak Kepala Ikan Gabus itu diberikan kepada cucunya. Dan Manik Sekecak itu diambil kembali oleh Ida Batari Dewi Danu,ketika I Gusti Ngurah Mambal Dimade cucunya ketika mencuri air Danau Beratan