Entri Populer

Minggu, 07 November 2010

SABDA PALON NAYA GENGGONG

RAMALAN SABDA PALON NAYA GENGGONG
Terjemahan bebas bahasa Indonesia

1. Ingatlah kepada kisah lama yang ditulis di dalam buku babad tentang negara Mojopahit. Waktu itu Sang Prabu Brawijaya mengadakan pertemuan dengan Sunan Kalijaga didampingi oleh Punakawannya yang bernama Sabda Palon Naya Genggong.

2. Prabu Brawijaya berkata lemah lembut kepada punakawannya: "Sabda-Palon sekarang saya sudah menjadi Islam. Bagaimanakah kamu? Lebih baik ikut Islam sekali, sebuah agama suci dan baik."

3. Sabda Palon menjawab kasar: "Hamba tak mau masuk Islam Sang Prabu, sebab saya ini raja serta pembesar Dah Hyang se tanah Jawa. Saya ini yang membantu anak cucu serta para raja di tanah jawa. Sudah di garis kita harus berpisah.

4. Berpisah dengan Sang Prabu kembali ke asal mula saya. Namun Sang Prabu kami mohon dicatat. Kelak setelah 500 tahun saya akan mengganti agama Buda lagi, saya sebar seluruh tanah Jawa.

5. Bila ada yang tidak mau memakai, akan saya hancurkan. Menjadi makanan jin setan dan lain-lainnya. Belum legalah hati saya bila belu saya hancur leburkan. Saya akan membuat tanda akan datangnya kata-kata saya ini. Bila kelak Gunung Merapi meletus dan memuntahkan laharnya.

6. Lahar tersebut mengalir ke barat daya. Baunya tidak sedap. Itulah pertanda kalau saya datang. Sudah mulai menyebarkan agama Buda. Kelak Merapi akan bergelegar. Itu sudah menjadi takdir Hyang Widi bahwa segalanya harus bergantian. Tidak dapat bila diubah lagi.

7. Kelak waktunya paling sengsara di tanah Jawa ini pada tahun: Lawon Sapta Ngesthi Aji. Umpama seorang menyeberang sungai sudah datang di tengah-tengah. Tiba-tiba sungainya banjir besar, dalamnya menghanyutkan manusia sehingga banyak yang meninggal dunia.

8. Bahaya yang mendatangi tersebar seluruh tanah Jawa. Itu sudah kehendak Tuhan tidak mungkin disingkiri lagi. Sebab dunia ini ada ditanganNya. Hal tersebut sebagai bukti bahwa sebenarnya dunia ini ada yang membuatnya.

9. Bermacam-macam bahaya yang membuat tanah Jawa rusak. Orang yang bekerja hasilnya tidak mencukupi. Para priyayi banyak yang susah hatinya. Saudagar selalu menderita rugi. Orang bekerja hasilnya tidak seberapa. Orang tanipun demikian juga. Penghasilannya banyak yang hilang di hutan.

10. Bumi sudah berkurang hasilnya. Banyak hama yang menyerang. Kayupun banyak yang hilang dicuri. Timbullah kerusakan hebat sebab orang berebutan. Benar-benar rusak moral manusia. Bila hujan gerimis banyak maling tapi siang hari banyak begal.

11. Manusia bingung dengan sendirinya sebab rebutan mencari makan. Mereka tidak mengingat aturan negara sebab tidak tahan menahan keroncongannya perut. Hal tersebut berjalan disusul datangnya musibah pagebluk yang luar biasa. Penyakit tersebar merata di tanah Jawa. Bagaikan pagi sakit sorenya telah meninggal dunia.

12. Bahaya penyakit luar biasa. Di sana-sini banyak orang mati. Hujan tidak tepat waktunya. Angin besar menerjang sehingga pohon-pohon roboh semuanya. Sungai meluap banjir sehingga bila dilihat persis lautan pasang.

13. Seperti lautan meluap airnya naik ke daratan. Merusakkan kanan kiri. Kayu-kayu banyak yang hanyut. Yang hidup di pinggir sungai terbawa sampai ke laut. Batu-batu besarpun terhanyut dengan gemuruh suaranya.

14. Gunung-gunung besar bergelegar menakutkan. Lahar meluap ke kanan serta ke kiri sehingga menghancurkan desa dan hutan. Manusia banyak yang meninggal sedangkan kerbau dan sapi habis sama sekali. Hancur lebur tidak ada yang tertinggal sedikitpun.

15. Gempa bumi tujuh kali sehari, sehingga membuat susahnya manusia. Tanahpun menganga. Muncullah brekasakan yang menyeret manusia ke dalam tanah. Manusia-manusia mengaduh di sana-sini, banyak yang sakit. Penyakitpun rupa-rupa. Banyak yang tidak dapat sembuh. Kebanyakan mereka meninggal dunia.

16. Demikianlah kata-kata Sabda Palon yang segea menghilang sebentar tidak tampak lagi diriya. Kembali ke alamnya. Prabu Brawijaya tertegun sejenak. Sama sekali tidak dapat berbicara. Hatinya kecewa sekali dan merasa salah. Namun bagaimana lagi, segala itu sudah menjadi kodrat yang tidak mungkin diubahnya lagi.

Jumat, 29 Oktober 2010

Candi Cetho

Tempat Pemujaan Raja Brawijaya V )
Raja terakhir Majapahit


Candi Cetho terletak di Desa Seto, Kelurahan Gumeng, Kecamatan Jenawi, Karanganyar, Jawa tengah ini diperkirakan didirikan pada tahun 1400-an, pada akhir jaman Majapahit. Merupakan salah satu peninggalan dari Raja Brawijaya, raja terakhir Majapahit. Lokasi candi seluas 215 X 30 meter persegi dan dikelilingi oleh hutan pinus yang rindang dengan ketinggian 1500 meter. Candi ini merupakan peninggalan umat Hindu terakhir di Jawa
Menurut ceritanya candi ini merupakan tempat pesanggrahan Brawijaya sebelum beliau moksa di puncak Lawu. Sebenarnya candi ini belum terselesaikan seluruhnya, karena saat itu Brawijaya tengah dalam pelarian dikejar-kejar oleh pasukan Raden Patah dari Demak. Kala itu, dari Desa Seto Brawijaya lalu lari ke Desa Sukuh dan mendirikan pula sebuah candi di sana.

Namun, sebelum pindah ke Desa Sukuh, pada puncak Candi Ceto ini Brawijaya sempat mendirikan arca dirinya yang dinamakan Nala Genggong. Melihat gapura Candi Seto mengingatkan kita akan bentuk-bentuk gapura di Pulau Bali. Tak salah memang, karena Candi Seto merupakan peninggalan Kerajaan Majapahit yang merupakan kerajaan Hindu di tanah air. Candi berundak yang menghadap ke barat, menjadi simbol berakhirnya Kerajaan Majapahit. Sebelum memasuki gerbang yang berupa gapura ini, terlebih dahulu mendaki tangga yang terbuat dari batu yang tertata rapi. Memasuki gerbang, sampailah kita di pelataran pertama di mana pada sebelah kiri gerbang terdapat pos penjagaan.

Candi Cetho (cetho = jelas, jernih tanpa halangan) merupakan sebuah candi peninggalan budaya Hindu dari abad ke-14 pada masa akhir pemerintahan Majapahit. Fungsi candi ini tidaklah berbeda dengan candi Hindu yang lain yakni sebagai tempat pemujaan. Sampai saat inipun Candi Cetho tetap digunakan oleh penduduk sekitar yang memang merupakan penganut agama Hindu.
Di beberapa teras terdapat pendapa dan bangunan kayu tempat arca Brawijaya V dan pengawalnya serta sebuah arca lingga.

Di sebelah timur kompleks candi terdapat sebuah meru yang di dalamnya menyimpan sebuah lingga sebagai simbol jenis kelamin laki-laki dan yoni sebagai simbol kelamin perempuan. Perlu untuk diketahui, di atas candi Cetho ada candi lagi yaitu candi Kethek. Di timur candi, terdapat Puri Taman Saraswati. Taman ini merupakan tempat sembahyang bagi umat Hindu kepada Sang Hyang Aji Saraswati. Patung Dewi Saraswati adalah pemberian dari bupati Gianyar A.A Gde Agung Barata untuk bupati Karanganyar Rina Iriani sebagai bentuk kerjasama dan ikatan persaudaraan antara masyarakat Hindu Bali dan Hindu jawa. Di kawasan taman, setiap peringatan Hari Saraswati yang diadakan setiap 210 hari selalu digelar kesenian tradisional Jawa dan Bali.

Candi Cetho terdiri dari sembilan trap (tingkat) berbentuk memanjang kebelakang dengan trap terakhir sebagai trap utama pemujaaan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa (seperti bentuk-bentuk tempat pemujaan pada masa purba yaitu punden berundak).
Trap pertama setelah gapura masuk merupakan halaman candi. Trap kedua masih berupa halaman namun ditrap ini terdapat petilasan Ki Ageng Krincingwesi yang merupakan leluhur masyarakat Cetho. Pada trap ketiga terdapat sebuah soubment memanjang di atas tanah yang menggambarkan nafsu badaniah manusia (nafsu hewani) berbentuk phallus (alat kelamin laki-laki) sepanjang lebih dari 2 m, dengan diapit dua buah lambang kerajaan Majapahit menunjukkan masa pembuatan candi.
Pada trap keempat dapat ditemui relief pendek yang merupakan cuplikan kisah Sudhamala, (seperti yang terdapat pula di Cabdi Sukuh) yaitu kisah tentang usaha manusia untuk melepaskan diri dari malapetaka. Pada trap kelima dan keenam terdapat terdapat pendapa-pendapa yang mengapit jalan masuk candi. Sampai saat ini pendapa-pendapa tersebut masih sering digunakan sebagai tempat pelangsungan upacara-upacara besar keagamaan. Trap ketujuh dapat ditemui dua buah arca di samping kanan kiri yang merupakan arca Sabdapalon dan nayagenggong, dua orang abdhi kinasih dari Sang Prabu Brawijaya yang juga merupakan penasehat spiritual dari beliau. Hal ini melambangkan kedekatan jiwa beliau dengan rakyatnya yang diwakili kedua tokoh tersebut.


Pada trap kedelapan terdapat arca Phallus (kuntobimo) di samping kiri dan arca Sang Prabu Brawijaya yang digambarkan sebagai “mahadewa”. Arca phallus m elambangkan ucapan syukur atas kesuburan yang melimpah atas bumi cetho dan sebuah pengharapan kepada Tuhan yang Maha Esa agar kesuburan yang dilimpahkan itu tak kan terputus selamanya. Arca Sang Prabu Brawijaya menunjukkan penauladanan masyarakat terhadap kepemimpinan beliau, sebagai raja yang bèrbudi bawa leksana, ambeg adil paramarta yang diyakini pula sebagai utusan Tuhan di muka bumi. Trap terakhir (trap kesembilan) adalah trap utama yang merupakan tempat pemanjatan doa kepada Penguasa Semesta. Trap terakhir ini berbentuk kubus berukuran 1,50 m2.

Candi Cetho menghadap ke arah timur hal ini berbeda dengan candi-candi yang ada di Jawa Tengah karena Candi Cetho begitu pula Candi Sukuh dibangun pada masa Majapahit sehingga dengan sendirinya pembangunan candi terpengaruh oleh apa yang terbiasa ada di candi-candi Jawa Timur. Di sebelah atas bangunan Candi Cetho terdapat sebuah bangunan yang pada masa lalu digunakan sebagai tempat membersihkan diri sebelum melaksanakan upacara ritual peribadahan (patirtan).

Pada undakan kedua akan didapati (terhampar di tanah) sebuah Arca Bulus (Kura-kura) yang merupakan simbol suci, dan bersambung dengan Lingga (alat kelamin laki-laki) yang rebah. Candi ini memang didominasi oleh arca-arca berbentuk lingga. Menurut juru kunci, perempuan yang tengah mendapat haid dilarang melintas di atas Arca Bulus tersebut. Bila itu dilanggar konon yang bersangkutan akan mendapat kesialan. Selain arca yang berbentuk lingga, di candi ini juga terdapat 12 arca lainnya. Namun demikian, amat disayangkan candi ini telah kehilangan beberapa arcanya akibat ulah orang-orang yang tak bertanggungjawab. Padahal, candi ini merupakan salah satu bagian dari wisata sejarah. Di mana pengunjung bisa berkeliling candi sambil membayangkan masa-masa lalu bangsa ini. Bangsa yang memiliki kekayaan budaya yang tinggi.

Melihat ruang-ruang candi khayalan kita bisa menjelajah ke masa silam. Membayangkan Raja Brawijaya tengah istirah sambil mengolah rasa, atau tengah bercengkrama dengan para permaisurinya. Penat berkeliling candi kita bisa istirahat di bawah rindangnya pepohonan pinus yang mengelilingi lokasi candi. Udara sejuk akan menyergap, ditambah kabut tipis yang melayang-layang turun di pucuk candi dan terus membungkus tubuh kita. Semua terasa sejuk dan menyenangkan. Membuat pikiran kita akan segar kembali. Terbebas dari rutinitas kerja sehari-hari.

Pada malam Jumat Kliwon, misalkan, orang beramai-ramai ke lokasi ini guna menghaturkan sesaji sekaligus menjalankan ritual tapa brata. Begitu pula di saat hari Nyepi, warga Hindu di Karanganyar sebagian besar memilih melakukan tapa brata penyepian di areal candi. Keesokan harinya, saat ngembak geni , mereka pulang. “Itu pun setelah dilaksanakan acara saling memaafkan,” babar Sri Walgini.

Begitu penting arti kehadiran Candi Ceto beserta Gunung Lawu bagi warga Hindu di Karanganyar, bahkan Hindu di Nusantara. Ini bisa dipahami mengingat bangunan candi di wilayah pegunungan tua ini, merupakan candi Hindu peninggalan sisa-sisa kerajaan Majapahit. Di Candi Ceto juga banyak tersimpan arca bercerita tentang Samuderamanthana dan Garudeya, satu kisah yang diambil dari mitos Hindu. Ada pula patung Saraswati, dewi simbol kebijaksanaan yang berhiaskan peralatan sembahyang.

Bahkan sesuai cerita yang berkembang di Karanganyar dan sekitarnya, Raja Majapahit, Prabhu Brawijaya V, sebelum moksa terlebih dahulu meruwat diri di Candi Sukuh yang berada di deretan bawah Candi Ceto. Usai menyucikan diri secara alam niskala, barulah sang raja mengakhiri hidupnya dengan jalan moksa di Candi Ceto. Ini memang kisah lawas yang hingga kini tetap diyakini kebenarannya oleh warga Karanganyar dan sekitarnya. Lebih-lebih lagi di areal candi, terutama pada halaman XIII, ada ditemukan arca Sabda Palon, tokoh penting dalam babak akhir Kerajaan Majapahit.

Tiap enam bulan, pada hari Selasa Kliwon, di halaman punden digelar satu ritus suci upacara Madasiya. Ritual yang sesajiannya bersaranakan nasi tumpeng, buah, bunga, air, dan dupa tersebut memiliki makna warga Desa Ceto dan sekitarnya menyampaikan rasa terima kasih sekaligus memohon agar Krincing Wesi tetap menjaga keselamatan mereka.

Teras enam tak ada peninggalan arkeologi. Memasuki teras ketujuh, pada bagian selatan gapura terdapat tulisan :

“...... peling pedamel irikang bu, ku tirta sunya hawaki, ray a hilang, saka kalanya wiku, goh anahut iku 1397

Artinya: “ ... peringatan pembuatan buku tirta sunya badannya hilang tahun 1397 Saka ....”bila berpijak pada angka tahun yang tertera pada teras keenam tersebut, berarti pada tahun Isaka 1397 (tahun 1475 Masehi) atau pada abad XV, Candi Ceto telah berdiri kukuh.

Selasa Kliwon, wuku Medangsia, 17 Juli 2007 lalu, satu ritus langka dilangsungkan di Candi Ceto. Namanya: Karya Agung Nusantara Ngenteg Linggih Tawur Agung Labuh Gentuh Candi Narmada, Panca Wali Krama . yaitu upacara bhuta yajnya (korban) besar yang berlangsung setiap 10 tahun sekali. Bahkan untuk di Candi Ceto, upacara setingkat ini adalah kali pertama dilaksanakan.

Karya besar yang dihadiri ribuan warga Hindu dari berbagai daerah di Tanah Air ini, cermat Ketua Panitia Upacara Panca Walikrama Candi Ceto, Mangku Paramartha Kesuma, merupakan upaya mengharmoniskan alam semesta, buwana agung, dengan diri manusia, buwana alit, sekaligus untuk memohon keselamatan dan kerahajengan negeri ini.

Ritual ini dilangsungkan bersamaan dengan upacara Modosiyo , satu jenis ritual yang dilaksanakan tiap enam bulan di Candi Ceto oleh warga Hindu Karangayar dan sekitarnya, sebagai ungkapan rasa syukur atas rahmat yang selama ini diberikan kepada warga sekitar Gunung Lawu. Upacara Panca Wali Krama telah di mulai 16 Mei 2007 dengan nanceb sanggar tawang, munggah sunari , dan negtegang daging . Upacara ini dipuput Ida Padanda Putera Gede Lusuh dari Geria Lusuh, Kecamatan Selat, Kabupaten Karangasem.

Sarana upacara dan upakara yang dipersembahkan itu tiada beda dengan upacara Panca Wali Krama di Bali. Di antaranya kerbau berjumlah 14 dan 14 ekor kambing.










CANDI CETHO
( Tempat Pemujaan Raja Brawijaya V )
Raja terakhir Majapahit

Candi Cetho terletak di Desa Seto, Kelurahan Gumeng, Kecamatan Jenawi, Karanganyar, Jawa tengah ini diperkirakan didirikan pada tahun 1400-an, pada akhir jaman Majapahit. Merupakan salah satu peninggalan dari Raja Brawijaya, raja terakhir Majapahit. Lokasi candi seluas 215 X 30 meter persegi dan dikelilingi oleh hutan pinus yang rindang dengan ketinggian 1500 meter. Candi ini merupakan peninggalan umat Hindu terakhir di Jawa
Candi Cetho
Menurut ceritanya candi ini merupakan tempat pesanggrahan Brawijaya sebelum beliau moksa di puncak Lawu. Sebenarnya candi ini belum terselesaikan seluruhnya, karena saat itu Brawijaya tengah dalam pelarian dikejar-kejar oleh pasukan Raden Patah dari Demak. Kala itu, dari Desa Seto Brawijaya lalu lari ke Desa Sukuh dan mendirikan pula sebuah candi di sana. Namun, sebelum pindah ke Desa Sukuh, pada puncak Candi Ceto ini Brawijaya sempat mendirikan arca dirinya yang dinamakan Nala Genggong. Melihat gapura Candi Seto mengingatkan kita akan bentuk-bentuk gapura di Pulau Bali. Tak salah memang, karena Candi Seto merupakan peninggalan Kerajaan Majapahit yang merupakan kerajaan Hindu di tanah air. Candi berundak yang menghadap ke barat, menjadi simbol berakhirnya Kerajaan Majapahit. Sebelum memasuki gerbang yang berupa gapura ini, terlebih dahulu mendaki tangga yang terbuat dari batu yang tertata rapi. Memasuki gerbang, sampailah kita di pelataran pertama di mana pada sebelah kiri gerbang terdapat pos penjagaan.
Candi Cetho (cetho = jelas, jernih tanpa halangan) merupakan sebuah candi peninggalan budaya Hindu dari abad ke-14 pada masa akhir pemerintahan Majapahit. Fungsi candi ini tidaklah berbeda dengan candi Hindu yang lain yakni sebagai tempat pemujaan. Sampai saat inipun Candi Cetho tetap digunakan oleh penduduk sekitar yang memang merupakan penganut agama Hindu.
Di beberapa teras terdapat pendapa dan bangunan kayu tempat arca Brawijaya V dan pengawalnya serta sebuah arca lingga.

Gapura Candi Cetho
Di sebelah timur kompleks candi terdapat sebuah meru yang di dalamnya menyimpan sebuah lingga sebagai simbol jenis kelamin laki-laki dan yoni sebagai simbol kelamin perempuan. Perlu untuk diketahui, di atas candi Cetho ada candi lagi yaitu candi Kethek. Di timur candi, terdapat Puri Taman Saraswati. Taman ini merupakan tempat sembahyang bagi umat Hindu kepada Sang Hyang Aji Saraswati. Patung Dewi Saraswati adalah pemberian dari bupati Gianyar A.A Gde Agung Barata untuk bupati Karanganyar Rina Iriani sebagai bentuk kerjasama dan ikatan persaudaraan antara masyarakat Hindu Bali dan Hindu jawa. Di kawasan taman, setiap peringatan Hari Saraswati yang diadakan setiap 210 hari selalu digelar kesenian tradisional Jawa dan Bali.
Candi Cetho terdiri dari sembilan trap (tingkat) berbentuk memanjang kebelakang dengan trap terakhir sebagai trap utama pemujaaan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa (seperti bentuk-bentuk tempat pemujaan pada masa purba yaitu punden berundak).
Trap pertama setelah gapura masuk merupakan halaman candi. Trap kedua masih berupa halaman namun ditrap ini terdapat petilasan Ki Ageng Krincingwesi yang merupakan leluhur masyarakat Cetho. Pada trap ketiga terdapat sebuah soubment memanjang di atas tanah yang menggambarkan nafsu badaniah manusia (nafsu hewani) berbentuk phallus (alat kelamin laki-laki) sepanjang lebih dari 2 m, dengan diapit dua buah lambang kerajaan Majapahit menunjukkan masa pembuatan candi. Pada trap keempat dapat ditemui relief pendek yang merupakan cuplikan kisah Sudhamala, (seperti yang terdapat pula di Cabdi Sukuh) yaitu kisah tentang usaha manusia untuk melepaskan diri dari malapetaka. Pada trap kelima dan keenam terdapat terdapat pendapa-pendapa yang mengapit jalan masuk candi. Sampai saat ini pendapa-pendapa tersebut masih sering digunakan sebagai tempat pelangsungan upacara-upacara besar keagamaan. Trap ketujuh dapat ditemui dua buah arca di samping kanan kiri yang merupakan arca Sabdapalon dan nayagenggong, dua orang abdhi kinasih dari Sang Prabu Brawijaya yang juga merupakan penasehat spiritual dari beliau. Hal ini melambangkan kedekatan jiwa beliau dengan rakyatnya yang diwakili kedua tokoh tersebut.
Candi Cetho
Pada trap kedelapan terdapat arca Phallus (kuntobimo) di samping kiri dan arca Sang Prabu Brawijaya yang digambarkan sebagai “mahadewa”. Arca phallus m elambangkan ucapan syukur atas kesuburan yang melimpah atas bumi cetho dan sebuah pengharapan kepada Tuhan yang Maha Esa agar kesuburan yang dilimpahkan itu tak kan terputus selamanya. Arca Sang Prabu Brawijaya menunjukkan penauladanan masyarakat terhadap kepemimpinan beliau, sebagai raja yang bèrbudi bawa leksana, ambeg adil paramarta yang diyakini pula sebagai utusan Tuhan di muka bumi. Trap terakhir (trap kesembilan) adalah trap utama yang merupakan tempat pemanjatan doa kepada Penguasa Semesta. Trap terakhir ini berbentuk kubus berukuran 1,50 m2.
Candi Cetho menghadap ke arah timur hal ini berbeda dengan candi-candi yang ada di Jawa Tengah karena Candi Cetho begitu pula Candi Sukuh dibangun pada masa Majapahit sehingga dengan sendirinya pembangunan candi terpengaruh oleh apa yang terbiasa ada di candi-candi Jawa Timur. Di sebelah atas bangunan Candi Cetho terdapat sebuah bangunan yang pada masa lalu digunakan sebagai tempat membersihkan diri sebelum melaksanakan upacara ritual peribadahan (patirtan).
Pada undakan kedua akan didapati (terhampar di tanah) sebuah Arca Bulus (Kura-kura) yang merupakan simbol suci, dan bersambung dengan Lingga (alat kelamin laki-laki) yang rebah. Candi ini memang didominasi oleh arca-arca berbentuk lingga. Menurut juru kunci, perempuan yang tengah mendapat haid dilarang melintas di atas Arca Bulus tersebut. Bila itu dilanggar konon yang bersangkutan akan mendapat kesialan. Selain arca yang berbentuk lingga, di candi ini juga terdapat 12 arca lainnya. Namun demikian, amat disayangkan candi ini telah kehilangan beberapa arcanya akibat ulah orang-orang yang tak bertanggungjawab. Padahal, candi ini merupakan salah satu bagian dari wisata sejarah. Di mana pengunjung bisa berkeliling candi sambil membayangkan masa-masa lalu bangsa ini. Bangsa yang memiliki kekayaan budaya yang tinggi.
Melihat ruang-ruang candi khayalan kita bisa menjelajah ke masa silam. Membayangkan Raja Brawijaya tengah istirah sambil mengolah rasa, atau tengah bercengkrama dengan para permaisurinya. Penat berkeliling candi kita bisa istirahat di bawah rindangnya pepohonan pinus yang mengelilingi lokasi candi. Udara sejuk akan menyergap, ditambah kabut tipis yang melayang-layang turun di pucuk candi dan terus membungkus tubuh kita. Semua terasa sejuk dan menyenangkan. Membuat pikiran kita akan segar kembali. Terbebas dari rutinitas kerja sehari-hari.


Arca di Candi cetho
Pada malam Jumat Kliwon, misalkan, orang beramai-ramai ke lokasi ini guna menghaturkan sesaji sekaligus menjalankan ritual tapa brata. Begitu pula di saat hari Nyepi, warga Hindu di Karanganyar sebagian besar memilih melakukan tapa brata penyepian di areal candi. Keesokan harinya, saat ngembak geni , mereka pulang. “Itu pun setelah dilaksanakan acara saling memaafkan,” babar Sri Walgini.
Begitu penting arti kehadiran Candi Ceto beserta Gunung Lawu bagi warga Hindu di Karanganyar, bahkan Hindu di Nusantara. Ini bisa dipahami mengingat bangunan candi di wilayah pegunungan tua ini, merupakan candi Hindu peninggalan sisa-sisa kerajaan Majapahit. Di Candi Ceto juga banyak tersimpan arca bercerita tentang Samuderamanthana dan Garudeya, satu kisah yang diambil dari mitos Hindu. Ada pula patung Saraswati, dewi simbol kebijaksanaan yang berhiaskan peralatan sembahyang.

Bahkan sesuai cerita yang berkembang di Karanganyar dan sekitarnya, Raja Majapahit, Prabhu Brawijaya V, sebelum moksa terlebih dahulu meruwat diri di Candi Sukuh yang berada di deretan bawah Candi Ceto. Usai menyucikan diri secara alam niskala, barulah sang raja mengakhiri hidupnya dengan jalan moksa di Candi Ceto. Ini memang kisah lawas yang hingga kini tetap diyakini kebenarannya oleh warga Karanganyar dan sekitarnya. Lebih-lebih lagi di areal candi, terutama pada halaman XIII, ada ditemukan arca Sabda Palon, tokoh penting dalam babak akhir Kerajaan Majapahit.

Tiap enam bulan, pada hari Selasa Kliwon, di halaman punden digelar satu ritus suci upacara Madasiya. Ritual yang sesajiannya bersaranakan nasi tumpeng, buah, bunga, air, dan dupa tersebut memiliki makna warga Desa Ceto dan sekitarnya menyampaikan rasa terima kasih sekaligus memohon agar Krincing Wesi tetap menjaga keselamatan mereka.

Teras enam tak ada peninggalan arkeologi. Memasuki teras ketujuh, pada bagian selatan gapura terdapat tulisan :

“...... peling pedamel irikang bu, ku tirta sunya hawaki, ray a hilang, saka kalanya wiku, goh anahut iku 1397

Artinya: “ ... peringatan pembuatan buku tirta sunya badannya hilang tahun 1397 Saka ....”bila berpijak pada angka tahun yang tertera pada teras keenam tersebut, berarti pada tahun Isaka 1397 (tahun 1475 Masehi) atau pada abad XV, Candi Ceto telah berdiri kukuh.
Tarian adat setemat Panca Wali Karama
Panca Wali Krama
Selasa Kliwon, wuku Medangsia, 17 Juli 2007 lalu, satu ritus langka dilangsungkan di Candi Ceto. Namanya: Karya Agung Nusantara Ngenteg Linggih Tawur Agung Labuh Gentuh Candi Narmada, Panca Wali Krama . yaitu upacara bhuta yajnya (korban) besar yang berlangsung setiap 10 tahun sekali. Bahkan untuk di Candi Ceto, upacara setingkat ini adalah kali pertama dilaksanakan.

Candi Cetho
Karya besar yang dihadiri ribuan warga Hindu dari berbagai daerah di Tanah Air ini, cermat Ketua Panitia Upacara Panca Walikrama Candi Ceto, Mangku Paramartha Kesuma, merupakan upaya mengharmoniskan alam semesta, buwana agung, dengan diri manusia, buwana alit, sekaligus untuk memohon keselamatan dan kerahajengan negeri ini.





Ritual ini dilangsungkan bersamaan dengan upacara Modosiyo , satu jenis ritual yang dilaksanakan tiap enam bulan di Candi Ceto oleh warga Hindu Karangayar dan sekitarnya, sebagai ungkapan rasa syukur atas rahmat yang selama ini diberikan kepada warga sekitar Gunung Lawu. Upacara Panca Wali Krama telah di mulai 16 Mei 2007 dengan nanceb sanggar tawang, munggah sunari , dan negtegang daging . Upacara ini dipuput Ida Padanda Putera Gede Lusuh dari Geria Lusuh, Kecamatan Selat, Kabupaten Karangasem.

Sarana upacara dan upakara yang dipersembahkan itu tiada beda dengan upacara Panca Wali Krama di Bali. Di antaranya kerbau berjumlah 14 dan 14 ekor kambing.



Dwarapala Penjaga Candi Cetho








CANDI CETHO
( Tempat Pemujaan Raja Brawijaya V )
Raja terakhir Majapahit

Candi Cetho terletak di Desa Seto, Kelurahan Gumeng, Kecamatan Jenawi, Karanganyar, Jawa tengah ini diperkirakan didirikan pada tahun 1400-an, pada akhir jaman Majapahit. Merupakan salah satu peninggalan dari Raja Brawijaya, raja terakhir Majapahit. Lokasi candi seluas 215 X 30 meter persegi dan dikelilingi oleh hutan pinus yang rindang dengan ketinggian 1500 meter. Candi ini merupakan peninggalan umat Hindu terakhir di Jawa
Candi Cetho
Menurut ceritanya candi ini merupakan tempat pesanggrahan Brawijaya sebelum beliau moksa di puncak Lawu. Sebenarnya candi ini belum terselesaikan seluruhnya, karena saat itu Brawijaya tengah dalam pelarian dikejar-kejar oleh pasukan Raden Patah dari Demak. Kala itu, dari Desa Seto Brawijaya lalu lari ke Desa Sukuh dan mendirikan pula sebuah candi di sana. Namun, sebelum pindah ke Desa Sukuh, pada puncak Candi Ceto ini Brawijaya sempat mendirikan arca dirinya yang dinamakan Nala Genggong. Melihat gapura Candi Seto mengingatkan kita akan bentuk-bentuk gapura di Pulau Bali. Tak salah memang, karena Candi Seto merupakan peninggalan Kerajaan Majapahit yang merupakan kerajaan Hindu di tanah air. Candi berundak yang menghadap ke barat, menjadi simbol berakhirnya Kerajaan Majapahit. Sebelum memasuki gerbang yang berupa gapura ini, terlebih dahulu mendaki tangga yang terbuat dari batu yang tertata rapi. Memasuki gerbang, sampailah kita di pelataran pertama di mana pada sebelah kiri gerbang terdapat pos penjagaan.
Candi Cetho (cetho = jelas, jernih tanpa halangan) merupakan sebuah candi peninggalan budaya Hindu dari abad ke-14 pada masa akhir pemerintahan Majapahit. Fungsi candi ini tidaklah berbeda dengan candi Hindu yang lain yakni sebagai tempat pemujaan. Sampai saat inipun Candi Cetho tetap digunakan oleh penduduk sekitar yang memang merupakan penganut agama Hindu.
Di beberapa teras terdapat pendapa dan bangunan kayu tempat arca Brawijaya V dan pengawalnya serta sebuah arca lingga.

Gapura Candi Cetho
Di sebelah timur kompleks candi terdapat sebuah meru yang di dalamnya menyimpan sebuah lingga sebagai simbol jenis kelamin laki-laki dan yoni sebagai simbol kelamin perempuan. Perlu untuk diketahui, di atas candi Cetho ada candi lagi yaitu candi Kethek. Di timur candi, terdapat Puri Taman Saraswati. Taman ini merupakan tempat sembahyang bagi umat Hindu kepada Sang Hyang Aji Saraswati. Patung Dewi Saraswati adalah pemberian dari bupati Gianyar A.A Gde Agung Barata untuk bupati Karanganyar Rina Iriani sebagai bentuk kerjasama dan ikatan persaudaraan antara masyarakat Hindu Bali dan Hindu jawa. Di kawasan taman, setiap peringatan Hari Saraswati yang diadakan setiap 210 hari selalu digelar kesenian tradisional Jawa dan Bali.
Candi Cetho terdiri dari sembilan trap (tingkat) berbentuk memanjang kebelakang dengan trap terakhir sebagai trap utama pemujaaan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa (seperti bentuk-bentuk tempat pemujaan pada masa purba yaitu punden berundak).
Trap pertama setelah gapura masuk merupakan halaman candi. Trap kedua masih berupa halaman namun ditrap ini terdapat petilasan Ki Ageng Krincingwesi yang merupakan leluhur masyarakat Cetho. Pada trap ketiga terdapat sebuah soubment memanjang di atas tanah yang menggambarkan nafsu badaniah manusia (nafsu hewani) berbentuk phallus (alat kelamin laki-laki) sepanjang lebih dari 2 m, dengan diapit dua buah lambang kerajaan Majapahit menunjukkan masa pembuatan candi. Pada trap keempat dapat ditemui relief pendek yang merupakan cuplikan kisah Sudhamala, (seperti yang terdapat pula di Cabdi Sukuh) yaitu kisah tentang usaha manusia untuk melepaskan diri dari malapetaka. Pada trap kelima dan keenam terdapat terdapat pendapa-pendapa yang mengapit jalan masuk candi. Sampai saat ini pendapa-pendapa tersebut masih sering digunakan sebagai tempat pelangsungan upacara-upacara besar keagamaan. Trap ketujuh dapat ditemui dua buah arca di samping kanan kiri yang merupakan arca Sabdapalon dan nayagenggong, dua orang abdhi kinasih dari Sang Prabu Brawijaya yang juga merupakan penasehat spiritual dari beliau. Hal ini melambangkan kedekatan jiwa beliau dengan rakyatnya yang diwakili kedua tokoh tersebut.
Candi Cetho
Pada trap kedelapan terdapat arca Phallus (kuntobimo) di samping kiri dan arca Sang Prabu Brawijaya yang digambarkan sebagai “mahadewa”. Arca phallus m elambangkan ucapan syukur atas kesuburan yang melimpah atas bumi cetho dan sebuah pengharapan kepada Tuhan yang Maha Esa agar kesuburan yang dilimpahkan itu tak kan terputus selamanya. Arca Sang Prabu Brawijaya menunjukkan penauladanan masyarakat terhadap kepemimpinan beliau, sebagai raja yang bèrbudi bawa leksana, ambeg adil paramarta yang diyakini pula sebagai utusan Tuhan di muka bumi. Trap terakhir (trap kesembilan) adalah trap utama yang merupakan tempat pemanjatan doa kepada Penguasa Semesta. Trap terakhir ini berbentuk kubus berukuran 1,50 m2.
Candi Cetho menghadap ke arah timur hal ini berbeda dengan candi-candi yang ada di Jawa Tengah karena Candi Cetho begitu pula Candi Sukuh dibangun pada masa Majapahit sehingga dengan sendirinya pembangunan candi terpengaruh oleh apa yang terbiasa ada di candi-candi Jawa Timur. Di sebelah atas bangunan Candi Cetho terdapat sebuah bangunan yang pada masa lalu digunakan sebagai tempat membersihkan diri sebelum melaksanakan upacara ritual peribadahan (patirtan).
Pada undakan kedua akan didapati (terhampar di tanah) sebuah Arca Bulus (Kura-kura) yang merupakan simbol suci, dan bersambung dengan Lingga (alat kelamin laki-laki) yang rebah. Candi ini memang didominasi oleh arca-arca berbentuk lingga. Menurut juru kunci, perempuan yang tengah mendapat haid dilarang melintas di atas Arca Bulus tersebut. Bila itu dilanggar konon yang bersangkutan akan mendapat kesialan. Selain arca yang berbentuk lingga, di candi ini juga terdapat 12 arca lainnya. Namun demikian, amat disayangkan candi ini telah kehilangan beberapa arcanya akibat ulah orang-orang yang tak bertanggungjawab. Padahal, candi ini merupakan salah satu bagian dari wisata sejarah. Di mana pengunjung bisa berkeliling candi sambil membayangkan masa-masa lalu bangsa ini. Bangsa yang memiliki kekayaan budaya yang tinggi.
Melihat ruang-ruang candi khayalan kita bisa menjelajah ke masa silam. Membayangkan Raja Brawijaya tengah istirah sambil mengolah rasa, atau tengah bercengkrama dengan para permaisurinya. Penat berkeliling candi kita bisa istirahat di bawah rindangnya pepohonan pinus yang mengelilingi lokasi candi. Udara sejuk akan menyergap, ditambah kabut tipis yang melayang-layang turun di pucuk candi dan terus membungkus tubuh kita. Semua terasa sejuk dan menyenangkan. Membuat pikiran kita akan segar kembali. Terbebas dari rutinitas kerja sehari-hari.


Arca di Candi cetho
Pada malam Jumat Kliwon, misalkan, orang beramai-ramai ke lokasi ini guna menghaturkan sesaji sekaligus menjalankan ritual tapa brata. Begitu pula di saat hari Nyepi, warga Hindu di Karanganyar sebagian besar memilih melakukan tapa brata penyepian di areal candi. Keesokan harinya, saat ngembak geni , mereka pulang. “Itu pun setelah dilaksanakan acara saling memaafkan,” babar Sri Walgini.
Begitu penting arti kehadiran Candi Ceto beserta Gunung Lawu bagi warga Hindu di Karanganyar, bahkan Hindu di Nusantara. Ini bisa dipahami mengingat bangunan candi di wilayah pegunungan tua ini, merupakan candi Hindu peninggalan sisa-sisa kerajaan Majapahit. Di Candi Ceto juga banyak tersimpan arca bercerita tentang Samuderamanthana dan Garudeya, satu kisah yang diambil dari mitos Hindu. Ada pula patung Saraswati, dewi simbol kebijaksanaan yang berhiaskan peralatan sembahyang.

Bahkan sesuai cerita yang berkembang di Karanganyar dan sekitarnya, Raja Majapahit, Prabhu Brawijaya V, sebelum moksa terlebih dahulu meruwat diri di Candi Sukuh yang berada di deretan bawah Candi Ceto. Usai menyucikan diri secara alam niskala, barulah sang raja mengakhiri hidupnya dengan jalan moksa di Candi Ceto. Ini memang kisah lawas yang hingga kini tetap diyakini kebenarannya oleh warga Karanganyar dan sekitarnya. Lebih-lebih lagi di areal candi, terutama pada halaman XIII, ada ditemukan arca Sabda Palon, tokoh penting dalam babak akhir Kerajaan Majapahit.

Tiap enam bulan, pada hari Selasa Kliwon, di halaman punden digelar satu ritus suci upacara Madasiya. Ritual yang sesajiannya bersaranakan nasi tumpeng, buah, bunga, air, dan dupa tersebut memiliki makna warga Desa Ceto dan sekitarnya menyampaikan rasa terima kasih sekaligus memohon agar Krincing Wesi tetap menjaga keselamatan mereka.

Teras enam tak ada peninggalan arkeologi. Memasuki teras ketujuh, pada bagian selatan gapura terdapat tulisan :

“...... peling pedamel irikang bu, ku tirta sunya hawaki, ray a hilang, saka kalanya wiku, goh anahut iku 1397

Artinya: “ ... peringatan pembuatan buku tirta sunya badannya hilang tahun 1397 Saka ....”bila berpijak pada angka tahun yang tertera pada teras keenam tersebut, berarti pada tahun Isaka 1397 (tahun 1475 Masehi) atau pada abad XV, Candi Ceto telah berdiri kukuh.
Tarian adat setemat Panca Wali Karama
Panca Wali Krama
Selasa Kliwon, wuku Medangsia, 17 Juli 2007 lalu, satu ritus langka dilangsungkan di Candi Ceto. Namanya: Karya Agung Nusantara Ngenteg Linggih Tawur Agung Labuh Gentuh Candi Narmada, Panca Wali Krama . yaitu upacara bhuta yajnya (korban) besar yang berlangsung setiap 10 tahun sekali. Bahkan untuk di Candi Ceto, upacara setingkat ini adalah kali pertama dilaksanakan.

Candi Cetho
Karya besar yang dihadiri ribuan warga Hindu dari berbagai daerah di Tanah Air ini, cermat Ketua Panitia Upacara Panca Walikrama Candi Ceto, Mangku Paramartha Kesuma, merupakan upaya mengharmoniskan alam semesta, buwana agung, dengan diri manusia, buwana alit, sekaligus untuk memohon keselamatan dan kerahajengan negeri ini.





Ritual ini dilangsungkan bersamaan dengan upacara Modosiyo , satu jenis ritual yang dilaksanakan tiap enam bulan di Candi Ceto oleh warga Hindu Karangayar dan sekitarnya, sebagai ungkapan rasa syukur atas rahmat yang selama ini diberikan kepada warga sekitar Gunung Lawu. Upacara Panca Wali Krama telah di mulai 16 Mei 2007 dengan nanceb sanggar tawang, munggah sunari , dan negtegang daging . Upacara ini dipuput Ida Padanda Putera Gede Lusuh dari Geria Lusuh, Kecamatan Selat, Kabupaten Karangasem.

Sarana upacara dan upakara yang dipersembahkan itu tiada beda dengan upacara Panca Wali Krama di Bali. Di antaranya kerbau berjumlah 14 dan 14 ekor kambing.



Dwarapala Penjaga Candi Cetho

KABAR TERBARU MERAPI

Ponimin: Merapi Belum Puncaknya, Tunggu 5-6 Hari Lagi
hxxp://us.detiknews..com/read/2010/10/29/150126/1478791/10/ponimin-merapi-belum-puncaknya-tunggu-5-6-hari-lagi?991102605

Puluhan orang telah tewas terkena amukan awan panas alias wedhus gembel Merapi. Tak cuma itu, kawasan lereng Merapi juga dibuat porak-poranda. Hingga kini, gunung berapi paling aktif di Indonesia itu terus memuntahkan awan panas.

Ponimin, kandidat pengganti Mbah Maridjan mengatakan, apa yang dikeluarkan Merapi saat ini belum apa-apa. Menurutnya, puncak muntahan wedhus gembel akan terjadi pada 5-6 hari ke depan.

"Tunggu sampai 5-6 hari ke depan," kata Ponimin saat ditemui wartawan di rumah dr Ana Ratih Wardani, di Kaliadem, Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, Jumat (29/10/2010).

Ponimin mengatakan, prediksi itu bukan didapatkan dari pikirannya. Semua itu merupakan petunjuk seorang kakek misterius berbaju lurik dan berblangkon khas Jawa. Ponimin menyebutnya sebagai 'penguasa' Merapi.

"Mbah penunggu mau menyatukan Kali Kuning dan Kali Boyong, itu ada dusun. Mungkin mau diratakan," kata Ponimin.

Ponimin mengatakan, menurut si Mbah yang kerap mendatanginya sejak tahun 1994 itu, Merapi saat ini bisa diibaratkan sebagai orang yang sedang hajatan. Karena itu, banyak sampah yang harus dibuang.

"Merapi diibaratkan orang hajatan, ini belum puncak, belum sampai pasaran," kata pria yang selamat dari amukan awan panas pada 26 Oktober lalu itu.

Bagi orang Jawa, Merapi memang memiliki arti tersendiri. Dalam kosmologi Jawa, Merapi merupakan salah satu sudut penting yang disebut Guru Loka atau ujung utara. Posisi tengah dinamai Endra Loka yakni Kraton Yogyakarta, yang dihuni oleh Raja.

Sedangkan posisi selatan disebut sebagai Jana Loka yang menggambarkan rakyat biasa. Ketiga ranah filosofi-kosmis ini yang memposisikan keraton sebagai sentral.

Itu adalah pendapat Ponimin dari unsur mistis. Sedangkan ahli vulkanologi jauh-jauh hari juga mengatakan bahwa Merapi masih berbahaya. Butuh waktu 3-4 minggu untuk memastikan Merapi dalam kondisi aman. Energi yang muntah dari perut Merapi baru berkisar sepertiga saja, sedangkan sisanya sedang dikumpulkan. Namun diperkirakan energi ini akan dikeluarkan sedikit demi sedikit.

BABAD ARYA KANURUHAN

Isi Singkat Babad Arya Kanuruhan.

Kata pembukaan (pangaksama), dengan memuja Çiwa dan Buda memohon restu dan memohon ampun untuk membicarakan cerita lama, dengan tujuan menyediakan bacaan pada para keturunannya.
Diceritakan secara singkat kekuasaan seorang raja raksasa garang yang berhasil dikalahkan oleh Sang Hyang Puruhitakantep (Wisnu). Dilanjutkan dengan pemerintahan Sri Masula Masuli, hingga pemerintahan Sri Gajah Wahana dengan patihnya Ki Pasung Grigis.
Ekspedisi Majapahit (Gajah Mada) ke Bali. Bali diserang dari tiga penjuru. Dari sebelah Timur dipimpin oleh Gajah Mada. Dari sebelah Utara dipimpin oleh Arya Damar, Arya Sentong, dan Arya Kutawaringin. Dari sebelah selatan dipimpin oleh Arya Kenceng dan Arya Belog. Pertempuran terjadi di seluruh penjuru, para patih Bali di desa-desa semua berguguran.
Dengan siasat yang licin Gajah Mada berhasil menangkap Ki Pasung Grigis di Tengkulak, dengan demikian pulau Bali ditundukkan oleh Majapahit.
Pada saat-saat pasukan Majapahit memperoleh kemenangan, datang utusan Raja Majapahit bernama Ki Kuda Pangasih, mencari Patih Gajah Mada agar segera kembali. Gajah Mada dan Arya Damar kembali ke Majapahit setelah selesai menetapkan tempat para Arya di Bali untuk menjaga dan mengatur pemerintahan.
Dilanjutkan dengan silsilah keturunan Arya Kanuruhan. Dimulai dari Ra Hyang Dimaharaja Manu turun-temurun, hingga Sri Erlangga bertahta di Daha. Sri Erlangga berputra Sri Jayabaya dan Sri Jayasaba. Sri Jayabaya, berputra Sri Dangdang Gendis, Sri Siwa Wandiri, dan Sri Jayakusuma. Sri Dangdang Gendis berputra Sri Jaya Katong, Sri Jaya Katong berputra Sri Jaya Kata. Pada waktu Daha diserang oleh Tumapel maka Sri Jaya Kata dan Sri Jaya Waringin ditawan dan dilarikan ke Tumapel. Sri Jaya Kata berputra tiga orang, yang tertua Arya Wayahan Dalem Manyeneng, putra yang kedua Arya Katanggaran, putra yang Bungsu Arya Nuddhata.
Arya Wayahan Dalem Manyeneng menurunkan warga Arya Gajah Para dan Arya Getas. Sri Jaya Waringin menurunkan Arya Kutawaringin, Arya Katanggaran berputra Kebo Anabrang. Kemudian dikenal dengan nama Arya Sabrang, karena diutus menyerang daerah seberang (Melayu) oleh raja Kertanegara, berhasil menawan Dara Petak dan Dara Jingga. Ketika kembali dari Melayu, Singasari telah hancur, maka kedua putri itu diserahkan kepada raja Majapahit (Raden Wijaya). Arya Sabrang berputra Kebo Taruna kemudian bergelar Arya Singa Sarddhula, karena menjabat pangkat Kanuruhan maka lebih dikenal bernama Arya Kanuruhan.

Dikisahkan kembali, bahwa setelah lama Bali ditaklukkan oleh Majapahit untuk sementara Patih Gajah Mada menunjuk Mpu Dwijaksara dan keluarganya untuk mengatur pemerintahan di Bali. Kemudian pemerintah sementara itu mengirim utusan ke Majapahit, agar segera ditempatkan kepala Pemerintahan yang sah di Bali.
Maka pada tahun Çaka 1274 atau tahun 1352 Masehi; Gajah Mada menetapkan Dalem Ketut Kresna Kepakisan menjadi raja Bali berkedudukan di desa Samprangan (jaman Samprangan). Didampingi oleh para Arya, yaitu Arya Kanuruhan, Arya Wang Bang, Arya Kenceng, Arya Dalancang, Arya Belog, Arya Pangalasan, Arya Kutawaringin, Arya Kapakisan, Arya Gajah Para, Arya Getas, dan lain-lainnya, ditempatkan di desa-desa tertentu. Arya Kanuruhan di Desa Tangkas.
Di antara Para Arya itu, tiga orang yang terkemuka yaitu Kepala Menteri Arya Kepakisan, yang kedua Arya Kutawaringin, dan Panyarikan Arya Kanuruhan. Raja Bali (Dalem Ketut Kresna Kepakisan) menugaskan Ki Patih Ulung dan warganya yaitu keturunan Mpu Sanak Pitu untuk memelihara dan menyelenggarakan upacara yajnya di seluruh Pura-Pura Kahyangan di Bali sesuai dengan titah raja Majapahit dan Patih Gajah Mada. Dalem Ketut Kresna Kepakisan berputra empat orang yaitu: Ida I Dewa Samprangan, Ida I Dewa Taruk, Ida I Dewa Ketut beribu Ni Gusti Ayu Tirta putri Sirarya Gajah Para. Dan Ida I Dewa Tegal Besung beribu putri dari Sira Arya Kutawaringin.
Dalem Ketut Kresna Kepakisan wafat pada tahun 1302 atau tahun 1330 Masehi, digantikan oleh putranya, yang sulung yang kemudian terkenal dengan sebutan Dalem Ile. Arya Kanuruhan menjabat pangkat "panyarikan", beliau seorang menteri terpercaya karena loyalitas pengabdiannya kepada raja/ negara. Arya Kanuruhan berputra tiga orang laki-laki yaitu Kyayi Brangsinga, Kyayi Tangkas, dan Kyayi Pagatepan. Ketiga orang putra Arya Kanuruhan itu juba mengabdikan diri dengan sepenuhnya pada negara seperti ayahnya. Kemudian Kyayi Brangsinga menggantikan ayahnya menjabat "panyarikan". Dalem Ile tidak mampu mengendalikan roda pemerintahan maka I Gusti Kubon Tubuh, Kyayi Brangsinga dan para Arya yang lain berusaha mencari Dalem Ketut, baginda dijadikan raja berkedudukan di Gelgel.
Lembaran baru jaman Gelgel mulai tahun Çaka 1305 atau 1383 Masehi. Para menterinya yang terutama Kryan Patandakan, Kryan Kubon Tubuh, sebagai "Kanuruhan", Kryan Brangsinga bermukim di Tangkas. Negara Bali aman dan sejahtera. Kyayi Brangsinga berputra dua orang yaitu Kyayi Brangsinga Pandita dan Kyayi Madya Kanuruhan Kesari. Dalem Ketut Smara Kepakisan (Dalem Ketut Ngulesir) diundang ke Majapahit oleh Sri Hayam Wuruk dalam rangkaian upacara Sradha, Kyayi Brangsinga Pandita ikut pergi, Baginda Dalem menerima petuah- petuah penting dari Raja Majapahit dan hadiah keris yang terkenal dengan nama Ki Bangawan Canggu.
Dalem Ketut Smara Kepakisan wafat tahun Çaka 1382, tahun 1460 Masehi (sapangrenga sang dwija sumirat agni kadi surya) digantikan oleh putra baginda yang bergelar Sri Waturenggong. Baginda seorang raja terbesar di masa kerajaan Gelgel. Kryan Brangsinga Pandita berputra tiga orang yaitu: Ki Gusti Singa Kanuruhan, Ki Gusti Madya Kanuruhan, Ki Gusti Abra Singasari. Pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong, Ki Gusti Batan Jeruk Menjabat Patih Agung, Ki Gusti Abyan Tubuh menjabat patih, Kyayi Brangsinga Pandita menjabat Kanuruhan (=panyarikan), Kryan Tangkas putra Kanuruhan bermukim di Kretalangu, sebagai penguasa menggantikan penguasa yang telah pergi. Beliau berputra bernama Kyayi Tangkas Dimade yang dibunuh oleh ayahnya sendiri, diakibatkan oleh sebuah surat perintah Dalem untuk membunuh yang membawa surat itu. Sedangkan yang membawa surat itu dari Gelgel segera pergi setelah menyerahkannya kepada Kyayi Tangkas Dimade. Kemudian Dalem menganugrahkan seorang istri baginda yang telah hamil agar Kryan Tangkas memperoleh keturunan. Setelah lahir putranya itu diberi nama Pangeran Tangkas Kori Agung. Kyayi Pagatepan diutus meleraikan percekcokan putra- putra Arya Gajah Para di Tianyar, dan menetap di sana, berputra dua orang yaitu Kyayi Pagatepan dan Kyayi Madya Dukyan. Dalem Waturenggong menyerang, Sri Juru di Blambangan di bawah pimpinan Patih Ularan Kyayi Madya Kanuruhan Kesari, gugur dalam pertempuran di Blambangan itu. Kekuasaan Dalem Waturenggong meliputi daerah-daerah sebelah timur Puger, Pasuruhan, Sumbawa, Sasak. Baginda didampingi oleh pendeta Siwa dan Buda yaitu Danghyang Nirartha dan Mpu Astapaka.
Dalem Waturenggong menganugrahkan surat wasiat tentang tata upacara yang harus diikuti oleh masing-masing kelompok kekeluargaan para Arya, dan pemuka pemuka masyarakat di Bali (=kini biasa disebut prasasti untuk di Bali).
Dalem Waturenggong wafat tahun 1472 atau tahun 1550 Masehi. Baginda digantikan oleh putranya bernama Dalem Bekung (Ida I Dewa Pemayun), didampingi oleh putra- putra Ida I Dewa Tegal Besung yaitu I Dewa Gedong Arta, I Dewa Anggungan, I Dewa Nusa, I Dewa Bangli, I Dewa Pagedangan. Kryan Brangsinga Pandita berputra: I Gusti Singa Kanuruhan, menggantikan kedudukan ayahnya, Adiknya Ki Gusti Madya Kanuruhan menjabat "Panyarikan". Kedua putra masing-masing mempunyai keturunan. Pada masa pemerintahan Dalem Bekung terjadi perebutan kekuasaan yang dipimpin. oleh I Gusti Batan Jeruk, namun gagal. Kemudian timbul peristiwa I Gusti Pande, dengan kejadian terbunuhnya I Gusti Telabah, ternyata Dalem Bekung seorang raja yang lemah.
Dalem Bekung digantikan oleh adik baginda, yang bernama Dalem Anom Seganing, tahun Çaka 1502 atau tahun 1589 Masehi. Keamanan pulih kembali, daerah-daerah yang pernah melepaskan diri dapat dikuasai lagi. Baginda Dalem Seganing banyak istri dan anaknya. Di antara putra- putranya yang terutama Ida I Dewa Anom Pemahyun, Ida I Dewa Dimade, dan seorang putri Ida I Dewa Ayu Rangda Gowang.
Diuraikan silsilah keturunan I Gusti Brangsinga Pandita serta tempatnya masing-masing setelah mengalami perpindahan. Kemudian diuraikan perpindahan dan perkembangan keturunan Kyayi Brangsinga di Daerah Karangasem, yang mengikuti perjalanan perpindahan Ida I Dewa Anom Pemahyun dari Gelgel ke Perasi dan selanjutnya ke Tambega karena terjadi kesalahpahaman dengan adik baginda yang bergelar Ida I Dewa Dimade. Ida I Dewa Anom Pemahyun berkedudukan di Tambega. Kemudian putranya Ida I Dewa Anom Pemahyun Dimade pindah ke desa Sidemen. Dari desa Sidemen hendak mengadakan serangan balasan pada I Gusti Agung Maruti setelah Dalem Dimade mengungsi ke Guliang. Terakhir dicatat keturunan Ki Brangsinga yang mengikuti Ida I Dewa Anom Pemahyun ke Sidemen, serta tempat-tempat di mana kemudian mereka menetap.

Nama/ Judul Babad : Babad Arya Kanuruhan.
Nomor/ kode : -
Koleksi : Dadya Brangsinga.
Alamat : Kebon, Sidemen, Karangasem.
Bahasa : Jawa Kuna.
Huruf : Bali.
Jumlah halaman : 33 lembar (1b s/d 33a).
Ditulis oleh : -
Colophon/ Tahun : -
Kalimat awal : Ong Awignam astu nama Siwa Budayem.
Kalimat akhir : Iti Babad Arya Kanuruhan, samapta.

BABAD TANGKAS


Terdorong keinginan untuk mengetahui riwayat dari kawitan Tangkas yang hingga sekarang ini masih kacau karena masing masing buku memberikan penjelasan – penjelasan yang berbeda -beda, sehingga timbul niat kami untuk mencari titik kebenaran tentang riwayat Tangkas tersebut, seperti asal usul mereka dan apa fungsinya di dalam menjalankan tugas negara dan Agama

Untuk menelusuri ini kami mulai bertitik tolak dari sejarah Zaman Kediri, Singosari dan Majapahit karena ketiga kerajaan ini dapat memberikan andil yang sangat besar terutama dalam bidang Kesusasteraan, oleh karena itu kesusastraan pada zaman ini banyak menguraikan tokoh tokoh yang nantinya sangat erat hubungannya dengan warga- warga yang ada di Bali

Ruang Lingkup.

Dalam menguraikan suatu babad, perlu kami batasi sampai di mana kami menggali babad tersebut. Riwayat ini kami galj mulai adanya kcrajaan Kediri, yang kemudian di lanjutkan dengan berdirinya kerajaan Singosari dan Majapahit, Expedisi (Gajah Mada ke Pulau Bali, yang diperintah oleh Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten, dengan Maha Patihnya yang bernama Ki Pasung Grigis, membawa suatu hikmah tersendiri terhadap perkembangan Warga yang berada di pulau Bali.Setelah beberapa lama maka Gajah Mada mengirim raja ke Bali yaitu Kresna Kepakisan dengan bcrsetana di Samplangan. Setelah berhasilnya pemerintahan Sri Kresna Kepakisan maka masing - masing Arya diangkat menjadi Menteri atau Punggawa.

Di dalam beberapa naskah menyebutkan bahwa Arya Kanuruhan mendapat tugas di Tangkas, dan Arya inilah yang mendirikan tempat pemujaan di Desa Tangkas, guna memuja leluhur mereka yang ada di Tanah Jawa, yang kemudian menjadilah Pura Kawitan Tangkas Kori Agung sekarang.

Demikianlah ruang lingkup pcmbahasan kami dalam menyusun riwayat Arya Kanuruhan, sebagai peletak batu pertama di Pura Kawitan Tangkas.

LELUHUR KELUARGA ARYA KANURUHAN DI TANAH JAWA.

Untuk menelusuri leluhur keluarga Tangkas di lanah Jawa, kita tidak dapat lepas dari kerajaan Kediri karena leluhur Tangkas ini dibesarkan di keraton Kediri

Pada tahun 1222, maka memerintahlah raja Kediri yang tcrakhir yang bcrnama Kcrtajaya ( sering disebut dangan nama Dandang Gendis Kemudian raja Kertajaya mendapat serangan dari Ken Arok, sehingga terjadilah pertempuran yang sengit antara Ken Arok dan pasukan Kediri dimana pasukan Kedin berhasil dikalahkan dalam pertempuran. Di dalam masa kehancuran dari kerajaan Kediri ini, maka pasukan Kediri lari tunggang langgang.

Maka tersebut dua orang perwira yang sangat gagah berani yang masih adahubungan darah dengan Jaya Katowang dan Ciwa Waringin yaitu Jaya Katha dan Jaya Waringin. Didalam pertempuran yang sengit Jaya Katha dapat pula melarikan diri beserta dengan istrinya de daerah Tumapel, dimana istri tersebut scdang hamil !tia Di daerah Tumapcl inilah beliau disambut oleh keluarga Gajah Para ( keluarga dan istri) (Jan keluarga Kebo !jo.

Di daerah Tumapel beliau lama disana yang akhimya beliau mclahirkan putra 3 ( tiga ) orang seperti tersebut dalam Babad Arya Kanuruhan sebagai berikut :

” Pira kunang Suwenira hanengkana marek pawekang kala, ri wekasan Jaya Katha awangsa jaiu tatiga; Jyesta abhiseka Arya Wayahnn Dalem Manyeneng. Panghulu apanagaran Arya Katanggaran, Pamungsu Arya Nuddhata, tan waneh ibu sira katiga sangkana Wangsan sira Jaya Katha.

Terjemahannya :

Setelah sedemikian lama beliau berada di sana ( Tumapei ) maka akhirnya Jaya Katha melahirkan 3 orang putra yang bernama Arya Wayahan Dalem. Yang ke dua, Arya katanggaran, dan ketiga yang terkecil bernama Arya Nuddhata, oleh karena ibu mereka berjumlah 3 (tiga ) orang, demikianlah keturunan Jaya Katta

Tersebutlah sekarang putra beliau yang Nomor dua yang bernama Arya Katanggaran mengambil istri dari keluarga Kebo Ijo. Yang mana akhimya perkawinan ini melahirkan Kebo Anabrang bcliau diberi nama Kebo Anabrang karena beliau diutus oleh raja Singosan ke daerah seberang Melayu dalam rangka memupuk persahabatan dengan kerajaan Melayu dan Sri Wijaya karena kedua ncgara ini memiliki angkatan Laut yang sangat.kuat dan Sri Wijaya adalah ncgara Marinlr Daiam rangka persahabatan ini, Kebo Anabrang datang ke Tanah Melayu dengan pasukan yang disebut cicngan nama pasukan Pamalayu ( 1275 1 292 ) Kedatangan pasukan Pemelayu dari daerah Melayu setelah menyelesaikan masa tugasnya maka setibanya di Singosari mereka tidak melihat lagi kerajaan Singosari, sehingga datanglah Kebo Anabrang ke kerajaan Mojopahit karena kerajaan Mojopahit adalah di perintah oleh Raden Wijaya yang merupakan. pewaris langsung dan kerajaan Singosari. disamping Raden Wijaya juga mengawasi ke empat putra kerajaan Singosari.

Kedatangan Kebo Anabrang dari Melayu maka beliau membawa dua orang putri yang bernama Dara Petak dan Dara Jingga kedua puitri kerajaan Melayu ini dipersembahkan kepada Raden Wijaya. Dara Petak diperistri oleh Raden Wijaya, yang nantinya melahirkan putra bernama Kala Gemet. Sedangkan Dara Jingga kawin dengan keluarga raja maka lahirlah Aditya Warman, yang nantinya menjadi raja di kerajaan Melayu.

Kedatangan pasukan Pemelayu ini membuat besarnya hati Raden Wijaya di kerajaan Mojopahit, oleh karena itu beliau menobatkan diri menjadi raja pada tahun 1294, seita di dampingi oleh Panglima perang Kebo Anabrang. Setelah bebcrapa lama Kebo Anabrang bertempat tinggal di Mojopahit, akhirnya beliau mengambi! istri dari keluarga ksatrya keturunan Singosari. Perkawinan dengan putri Singosari, melahirkanlah ia seorang putra bernama Kebo Taruna, yang merupakan nama yang diberikan oleh ayah beliau saat beliau masih kecil, sedangkan nama julukan yang diberikan kepadanya, bila menghadapi perang dan sebagai Panglima perang, adalah Sirarya Singha Sardhula, karena beliau bagaikan Singha menghadapi musuh di medan perang. Lama kelamaan Kebo Taruna ini diberi pula julukan Kanuruhan saat beliau diajak oleh Gajah Mada mengadakan penyerangan ke Bali, dalam rangka melaksanakan sumpah Palapa. Beliau diberi nama Kanuruhan karena jabatan beliau dalam Expidisi ke Bali, beliau diberikan pangkat sebagai Kanuruhan, yang lama kelamaan beliau memakai gelar Sirarya Kanuruhan.

PERKEMBANGAN KELUARGA KANURUHAN DI BALI

Tahun 1343 adalah mempakan tahun Expedisi ( penyerangan ) Gajah Mada ke tanah Bah, karena pada waktu ini Raja Bali yang bergelar Sri Asta Sura Ratna Bhumi Banlen telah rnerasa yakin akan kekuatan dirinya dan ingin melcpaskan diri dari kerajaan Mojopahit yang pada waktu ini dipenntah oleh seorang raja putri bernarna Tri Bhuana Tungga Dewi, karena pada umumnya raja raja Bali sangat erat hubungannya ( hubungan darah } dengan raja Kediri, schingga sangatlah sukar bagi raja Bali untuk inelepaskan din dengan raja Kedin. Utituk itu raja Bali mengadatan persekongkeian dengan raja Suradenta dan Suradenti dari Kerajaan Blambangan dalam rangka bekerja sama untuk menggempur Mojopahit, dan kerja sama ini di tanda tangani oleh Maha Patih Pasung Grigis mengatas namakan raja

Pimpinan Expedisi ke tanah Bali, di pirnpin langsung oleh Gajah Mada beserta Arya Arya lainnya sehingga Bali di kepung dan di gempur dari empat jurusan yakni Dari jurusan Timur di bawah pimpinan Gajah Mada.

Dari jurusan Utara di bawah pimpinan Arya Damar, Arya Sentong dan Arya Kuta waringin

Dari jurusan Barat di pimpin oleh tentara Sunda

Dari jurusan Selatan di pimpin oleh Arya Kenceng, Arya Belog, Pengalasan, Arya kanuruhan, dan Arya Belotong.

Sedangkan Panglima Bali pada saat ini muncullah:

Menghadapi serangan Timur, dipimpim oleh Ki Tunjung Tutur dan Ki Kopang

Menghadapi serangan dari Utara Ki Girilemana dan Ki Bwangkang.

Menghadapi serangan dari Selatan, di pimpin oleh Ki Gudug Basur, Dhemung

Anggeh, dan Ki Tambyak,
Menghadapi serangan umum, Ki Pasung Grigis dan Pangeran Madatama

Dalam perang yang sengit ini masing-masing Panglima telah di hadang oleh Panglima Bali, maka tersebut si Arya Kanuruhan yang memimpin pasukan dari Selatan disambut dengan gegap gempita oleh tentara Bali dengan sorak gemuruh beserta gagah perkasa sehingga terjadi pertempuran yang sangat mengerikan, banyak para tentara yang gugur di medan perang. Ki Tambyak dapat di kalahkan oleh si Arya Kenceng, sedangkan Ki Gudug Basur sangat kebal tidak ditembus dengan senjata. Perang yang dasyat antara Si Arya Kanuruhan dengan Ki Gudug Basur, sama-sama kuat dan sama sama kebal. Oleh karena Ki Gudug Basur hanya sendirian, menghadapi Panglima Mojopahit silih berganti, akhimya Ki Gudug Basur mati kepayahan kehabisan nafas.

Bedahulu terkepung dari semua jurusan pertempuran berkobar dan menimbulkan korban yang sangat banyak.

Pangeran Madatama pemimpin perang merupakan putra mahkota, kerajaan Bedahulu gugur dalam pertempuran dan gugurnya putra mahkota ini menyebabkan sedihnya raja Bedahulu dan akhirnya wafat. Pertempuran di lanjutkan oieh Ki Pasung Gerigis dan pasukan Ki Pasung Gngis tidak mampu di tandingi oleh pasukan Gajah Mada dan Arya lainnya sehingga pasukan Gajah Mada merasa kcwalahan menghadapi pasukan Pasung Grigis, yang akhimya pasukan Gajah Mada menaikkan bendera putih, untuk mcngadakan penindingan dengan Pasung Grigis. Pasung Grigis sarigat gembira karena itu terjadilah persahabatan dengan tentara Mojopahit. Pada saat terjadi perdamaian ini datanglah utusan dan Mojopahit, yaitu Kuda Pengasih yang merupakan adik sepupu dari Ken Bebed yaitu istri dari Gajah Mada. Kedatangan Kuda Pengasih ke Bali untuk memohon agar Gajah Mada cepat kembali ke keraton Mojopahit

Pada kesempatan yang baik ini Gajah Mada mengajak Ki Pasung Grigis pergi ke Mojopahit dcngan membawa emas manik, sebagai tanda persahabatan. Setelah berada di Mojopahit Ki Pasung Grigis merasa dirinya tertipu, dimana ia menang perang, namun kalah taktik, karena menghadap Mojopahit berarti kalah total

Pada saat Gajah Mada meninggalkan Bali, maka untuk keamanan pulau Bali, maka Gajah Mada menempatkan tentaranya di pulau Bali sebagai berikut:

Arya Kuta Waringin di Gelgel

Arya Kenceng di Tabanan.
Arya BArya Dalancang diKapal

Arya Belotong di Pacung.
Arya Sentong di Carang sari
Arya Kanuruhan di Tangkas.
Kryan Punta di Mambal.

Kryan Jerudeh di Temukti.
Kryan Tumenggung di Patemon

Arya Demung Wang Bang di Kertalangu. ( keturunan Kediri ). Arya Sura Wang Bang ( Keturunan Lasem ) di Sukahet.

Arya Wang Bang ( Keturunan Mataram ) di pusat Bedahulu, ?
Arya Melel Cengkrong ( Jaran bhana ) di Jembrana.

Arya Pemacekang di Bondalem.

Untuk meredakan hati Ki Pasung Grigis terhadap Mojopahit maka Pasung Gngis diangkat sebagai menteri kerajaan Bedahulu, namun tetap diawasi oleh Gajah Mada, Untuk menguji kesetiaan Pasung Grigis terhadap Mojopahit maka Pasung Grigis di perintahkan untuk menumpas gerakan raja Sumbawa, yang bernama Dedela Natha, yang mgin melepaskan diri terhadap kerajaan Mojopahit, disinilah Ki Pasung Grigis mati dalam medan perang bersama - sama dengan raja Sumbawa dalam perang tanding.

Dengan tiadanya Ki Pasung Grigis terjadilah kekosongan pemerintahan di pulau Bali, walaupun sebahagian besar tentara Expidisi Gajah Mada di tempatkan di pulau ini untuk mengawasi keamanan, tetapi ternyata pasukan ini tidak mempu menjamin ketertiban sepenuhnya, karena tentara Mojopahit kurang bijaksana dan selalu memperlihatkan keangkuhan sebagai seorang pemenang, sedangkan orang Bali belum bisa menerima pemerintahan Mojopahit yang bukan merupakan keturunan raja - raja Daha, dengan demikian keadaan semakin menjadi kacau karena munculnya pemberontakan - pemberontakan.

Mclihat keadaan Bali semakin rumit, maka Patih Ulung, Pamacekan clan Ki Pasekan, Kiyayi Padang Subadra memberanikan diri menghadap ke Mojopahit dan mohon diadakan wakil raja yang mampu meredakan ketegangan yang ada di tanah Bali

Terpikirlah oleh Maha Patih Gajah Mada untuk mencari tokoh yang masih ada hubungannya dengan raja raja Daha, tetapi tidak diragukan kesetiaannya terhadap Mojopahit. Setelah dinindingkan maka terpilihlah putra dari Mpu Kepakisan yang bcrnama Empu Kresna Kepakisan seorang keluarga Brahmana yang masih ada hubungan darah dengan Daha (Kediri), sehingga dengan pengangkatan ini maka statvis ke Brahmanaannya diturunkan menjadi Ksatrya.

Kcdatangan Dalem Ketut Kresna Kepakisan menjadi raja di Bali ( Bcliau dinobatkan pada tahun ” Yoga Munikang netra den ing Bhaskara ( 1274 Caka) maka beliau tidak memilih tempat di Bedahulu. Akan tetapi beliau menempatkan diri di Samprangan, dengan maksud untuk menjauhkan diri dari ketegangan - ketegangan dalam ibu kota, akan tetapi cukup dekat untuk mengadakan pengawasan, sehingga pemerintahan dapat berjalan dengan obyektif. Ketertiban Bali ternyata belum bisa ditertibkan, banyak orang Bali Aga masih belum mau menyatakan setia kepada penguasa Samplangan, walaupun sudah dipenuhi tuntutan - tuntutan mereka seperti yang pernah disampaikan oleh Patih Ulung. Untuk meiemahkan pemberontakan Bali Aga tersebut maka Gajah Mada mengirim beberapa pasukannya ke Bali ; seperti : Tan Kober, Tan Kawur, Tan Mundur, dan Arya Gajah Para, sehigga terjepitlah daerah Bali Aga, dan tidak dapat berbuat banyak.

Setelah aman kerajaan, maka disusunlah struktur pemerintahan Bali seperti

Raja: Penguasa tertinggi.

Patih Agung.: Perdana Menteri.

Patih.

Bata Mantra (Tanda Manteri. )

Demung (Urusan Upacara ).

Temenggung ( Pemimpin tentara Rakyat.—

Di dalam mengatur pemerintahan, maka Arya Kanuruhan dan Arya Kuta Waringin mendapat tempat sebagai menteri Sekretaris Negara, karena kedua orang ini merupakan ksatrya keturunan Kediri, dan sangat pandai da!am ilmu pemerintahan Negara. Untuk mengisi kekosongan dalam pemerintahan, maka diangkatlah Pangeran Nyuh Aya menjadi Patih Agung , Arya Wangbang menjadi Demung. Demikianlah akhimya raja Kresna Kepakisan Wafat pada tahun £aka 1302.

Tersebutlah sekarang Si Arya Kanuruhan yang menjadi Menteri Sekretaris Negara dan bertempat tinggal di wilayah Tangkas kini beliau telah menginjak masa tua dan beliau telah banyak menulis buku - buku tentang Sasana Mantri (job training dari masing - masing Mantri) oleh karena itu beliau selalu diikut sertakan sebagai pendamping raja guna memberikan pertimbangan sesuatu sebeium diputuskan oieh raja.

Segabai generasi penerus yang dilahirkan oleh Arya Kanuruhan antara lam adalah:

-Arya Brangsinga, anak yang tertua

-Arya Tangkas, adalah putra beliau yang nomor 2 ( dua ).

-Arya Pegatepan adalah putra beliau yang nomor 3

BRANGSINGA

Putra beliau seperti tersebut di atas memiliki ilmu yang sama dalam pemerintahan negara oleh karena itu kesemua putra beliau dipergunakan sebagai pendamping raja. Sedangkan putra beliau yang tertua yaitu Arya Brangsinga diangkat oleh raja sebagai pengganti ayahanda Arya Kanuruhan sebagai menteri Sekretaris Negara. Yang sangat menyukarkan bagi Arya Brangsinga dalam pemerintahan, karena sang raja yang bergelar Dalem Hile kurang waras, sehingga akhimya banyak yang menyhadap dari Jawa tidak puas, oleh karena itu Arya Brangsinga akhimya mengadakan sidang kerajaan untuk mengambil keputusan untuk pengangkatan Dalem ketut Ngelesir menjadi Raja. Beliau Dalem Ketut Ngelesir, setiap hari pergi ke desa - desa untuk berjudi, berkat kebijaksanaan para Mantri maka akhimya beliau diketemukan di desa Pandak oleh Bendesa Gelgel dan disini beliau dimohonkan untuk menjadi raja, sehingga berdirilah kerajaan baru, yaitu kerajaan Gelgel, tahun 1305 Caka.

Di dalam menjalankan pemerintahan, Dalem Ketut Ngelesir mengangkat beberapa pendamping antara lain :

-Kryan Patandakan, menjadi Tanda Mantri.

-Arya Kebon Tubuh, menjadi Patih.

-Arya Brangsinga menjadi Menteri Sekretaris Negara.

Arya Brangsinga yang berkedudukan sebagai Mentri Sekretaris Negara, lalu beliau mempunyai dua orang putra yang diberi nama :

-Kiyayi Brangsinga Pandita ( Anak pertama )

-Kiyayi Madya Kanuruhan, ( anak ke dua )

Kcdua pulra beliau ini sangat tampan dan mcmiliki ilmu pemerintahan yang sangat tingyi oleh scbab itu salah salu putra beliau yang bernama Kiyayi Brangsinga Pandita, dipercayakan sobagai pendamping raja Dalem Ketut Smara Kepakisan ( Dalem Ketut Ngelesir). saat beliau di undang untuk menghadap kepada Sri Maha Raja Hayam Wuruk di Kcrajaan Mojopahit, pada waktu raja Hayam Wuruk akan rrielakukan upacara Caradha, yaitu Upacara yang dilakukan setiap 12 tahun sekali dengan tujuan untuk menghormati arwah nenek moyang raja - raja Mojopahit, disamping upacara ini sebagai upacara kcagamaan maka upacara ini mengandung pula arti politik dimana pada upacara ini menghadaplah para adipati dan raja raja bawahan dengan membawa upeti sebagai tanda patuh, sehingga raja Hayan Wuruh, martabatnya menjadi naik.

Pada saat menghadapnya raja Bali dihadapan Sri Baginda Hayam Wuruk, maka raja Bali mendapat pituah di dalam pemerintahan hendaknya berpegang teguh pada Manawa Dharma Castra, yang merupakan pedoman hukum di dalam menjalankan roda pemerintahan ; disamping itu maka Sri Baginda Maha Raja Mojopahit juga menganugrahkan keris kepada raja Bali yang diberi nama:

-Keris Canggu Yatra, karena keris ini dapat berputar-putar di desa Canggu.

-Keris yang diberi nama Naga Basuki,Yaitu keris yang berisi gambaran Naga Taksaka yang sangat sakti.

Setelah tiba di rumah yaitu pulau Bali, maka pemerintahan dapat berjalan dengan lancar sesuai dengan apa yang diharapkan oleh kerajaan Mojopahit.

Pada saat pemerintahan Dalem Watu Renggong di Gelgel, tersebutlah beliau Kiyayi atau Arya Brangsinga telah menjadi tua dan akhirnya beliau diganti oleh putra beliau yang tertua yaitu Arya ( Kiyayi) Brangsinga Pandita sebagai Manteri Sekretaris Negara. Karena mahirnya beliau di dalam ilmu ke Tata Negaraan maka beliau di berikan anugrah atau piagam oleh raja Dalem Waturenggong yang disaksikan oleh Brahmana - brahmana keturunan Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh.

Adapun isi piagam itu sebagai berikut:

” Hai kita Brangsinga, kita tosing Ksattya, mangke Arya pwa pawakanta, apaart ira amatihi ingong, Ingong Iccha Pyagam, gagaduhan iawan kita, sinerating lapihan, maka pamiket baktin ta atuhan, Yeka wistrakena, ri santana prakti santananta kateka tekeng wekas, didine tan singsala ring ulah anawi, angamong manteri sasana, mwang sapratyekaning pati Iawan hurip, Ingong lugraha ri kita, aywa cawuh mwang bucecer, aywa predo, apan donating uttama ri kawanganta, mwah wus siddha linugrahan, de sang wawu rauh, apan mangkana mulaning Wilwatikta.

Terjemahannya:

Hai engkau Brangsinga, kamu adalah ketuninan dari Ksatrya, sekarang kaniu kubenkan nama Arya karena kamu sangat patuh padaku ( Raja), aku akan membenkan piagam kcpadamu, yang kamu harus pegang atau tulis pada Icmpengan, sebagai landa baktimu kepada raja, itulah yang patut engkau ikuti, sampai dengan keturunanmu, agar jangan menimbulkan hal yang tidak baik didalam kamu mengabdi, kamu sewajarnyalah memegang kewajiban - kewajiban yang harus dilakvikan oleh para mcntcn (Menleri Sasana ) baik membenkan hukuman mati maupun hidup, hal ini aku serahkan scmuanya padamu, janganlah kamu bermain main, dan janganlah kamu lengah, olch karena niaha utama penugrahanku ini.

Setelah diberikan anugrah yang maha suci oleh Sang Pandita Wawu Rawuh ( disaksikan ) karena dialah ( Brangsinga ) yang ikut datang dan menerima anugrah di Mojopahit.

Demikianlah bunyi piagam yang diberikan oleh raja ( Dalem ) kepada keluarga Barangsinga yang diterima olch Kryan Brangsinga Pandita, dengan ucapan terima kasih di bawah duli tuanku raja semoga piagam tersebut dapat dipahami dan dilaksanakan olch prati sentanan atau turunan hamba. Setelah lama Kiyayi Brangsinga berada di bumi maka beliau dimakan waktu dan menjadi tua dan akhimya mati. Sebelum beliau menmggalkan dunia ini, beliau telah memiliki 2 ( dua ) orang putra yaitu:

-Ki Gusti Singa Kanuruhan, beliau diangkat menjadi patih untuk
melakukan perang.

-Ki Gusti Madya Kanuruhan. beliau mengantikan ayah beliau menjadi
Mantri Sekretaris Negara.

I Gusti Singa Kanuruhan yang menjadi Patih atau senapati bcliau kawin dengan seorang wanita dari Padang Rata, dan berputra 3 ( tiga ) orang, dua laki laki dan satu perempuan yang diberi nama:

-YangpertamaKi GustiBrangsinga Pandita(untuk mengenang nama
kakek beiiau ).

-Putra yang kedua ini adalah wanita, di beri nama I Gusti Luh Padangrata.

-Putra yang ketiga dan yang terkecil, adalah I Gusti Singa Padangrata

Sedangkan 1 Gusti Madya Kanuruhan yang menjabat Mantn Sekretaris Negara daiam zaman pemerintahan Dalem Bckung, dan dari beliau ini monghasilkan 3 ( tiga ) putra antara lain:

•Ki Gusti Gede Singa Kanuruhan.

-Ki Gusti Madya Abra Singa Sang San

-Ni Gusti Ayu Brangsinga yang nanti dipakai istri olch I Gusti Ngurah Jelantik,
( cucu dari Jelantik Bogol) .

Tersebutlah kemudian Ki Gusli Madya Abra Singosari beliau ini mengganti-kan kedviclukan ayahanda menjadi Menteri Sekretaris Negara, yang mana beliau mengambil istri dari Padang galak, akhirnya berpulralah beliau yang diberi nama:

-Ki Gusti Luh Padang Galak.

-Ki Gusti Singa Lodra.

-Ki Gusti Kesari Demade.

Ki Gusti Madya Kanuruhan karena setia beliau pada raja Dalem Bekung, dimana kesalahan yang dilakukan oleh Dalem Bekung mengenai masalah perempuan maka meletuslah pemberontakan baru yang dipimpin oleh Pande Base, sehingga raja Dalem Bekung melarikan diri yang pertama kearah Kapal dan kemudian pindah ke Purasi, disinilah beliau menetap beserta Kiayi Gusti Madya Kanuruhan.

Setelah Gelgel kosong naiklah menjadi raja Ida Dalem Anom Sagening. Dalam pemerintahan beliau sangat aman dan pembrontakan - pembrontakan mulai dipadamkan. Oleh sebab Ki Gusti Madya Kanuruhan mengikuti Dalem Bekung dan bertempat tinggal di Purasi maka sebagai Menteri Sekretaris Negara dalam pemerintahan Dalem Sagening adalah Ki Gusti Madya Abra Singosari.

Salah satu keturunan dari Brangsinga ini, ada pula di kirim ke tanah Lombok, setelah beliau mengalahkan musuh di Kuta. Adapun beliau ini bernama Ki Gusti Singa Padang Rata, putra dari I Gusti Brangsinga Pandita. Oleh karena 1 Gusti Brangsinga Pandita hanya memiliki satu putra, dan telah dikirim beperang ke tanah Lombok, maka beliau menjadi sepi yang akhirnya beliau kawin lagi dengan 1 Gusti Luh Padang Galak. Dari Perkawinan ini maka memperolehlah 3 ( tiga ) orang putra antara lain:

-I Gusti Padang Rata, yang nantinya ditempatkan di desa Tanggu Wisia.

-Putra Nomor 2 ( dua ) bernama 1 Gusti Padang Galak.

-Yang tcrkecil, Ki Gusti Podang Kanuruhnn, yang kemudian bertempat tinggal
diKuta

Diceritakan kemudian 1 Gusti Singa Lodra, putra dari I Gusti Abra Singosari, beliau pergi meninggalkan Gelgel menuju desa Blahbatuh , bersama dengan Kryan Jelantik yang masih merupakan ipar beliau, di Belahbatuh. Beliau bertempat tinggal di desa Brangsinga di sebelah Selatan dari kota Belahbatuh, disini beliau kawin lagi, maka beliau memperoleh putra tiga orang yaitu

Ki Gusti Sabranga, yang nantinya berdomisili di Seblanga ( Badung ).

Ki Gusts Made Belang, beliau bertempat tinggal di Blangsinga ( Blahbatuh }

I Gusti Padang Singa

Dari Putra kedua yaitu Ki Gusti Made Belang, beliau di Blangsinga, barputra 1 Gusti Singa Padu. 1 Gusti Singa Perang. i Gusti Padang Singa. IGusti Singa Aryata.

Kcmbali kita membicarakan masalah Gclgel. Sepeninggal beliau I Gusti Singa Lodra, maka kedudukan sebagai menteri Sekretans Negara dipegang olch putra bcliau yang bcrnama:

-! Gusti Brangsinga Pandita.

-Ki Gusti Madya Kanuruhan

Suatu putra yang lain dari Brangsinga, adalah putra dari I Gusti Gcde Singa Kanunahan dan 1 Gusti Madya Abra Kanuruhan kedua putranya mengikuti penyerangon daiem Pemayun ke Purasi untuk membela Dalem Bekung yang di kup o!e.h Kryan Made dari ketumnan Kcbon Tubuh.

Adapun putra lain yang dimiiiki oleh Singa Gede Kanurungan lalah:

! Gusti singa Nabrang. I Gusti Madya Abra Singosari. 1 Gusti Nyoman Singosari. 1 Gusti Singa Gara.

Adapun putra ke dua dan Singa Gede Kanuruhan, yang bemama I Gustas Made Abra Singosari beliau berputra;

! Gusti Wayan singa kanuruhan 1 Gusti Kesari Dimade I Gusti Nyoman Singa Rai. Ki Grusti Nyoman Singa Raga.

Sedang putranya yang bernama:

Ki Gusti Singha Anabrang, beliau aWiirnya menjadi kepala Desa Watwaya cli Karangasem, dan bertempat tinggal di Sclatan Pasar

• Ki Gusti Nyoman Singosari beliau akhirnya bertempat tinggal di Menguwi, dan akhirnya beliau pergi ke desa Penebel, dan terakhir beliau bcriempat tinggal di desa Rangkan

-Ki Gusti Singa Gara beiiau mernerintah di Subagan,

Putni putra beliau Abra Singosari seperti

Ki Gusti Wayan Singa Kanumhan, memerintah di desa Bulakan

Ki Gusti Kesari Dimade, memerintah di Ujung.

Ki Gusti Nyoman Singa Rai, memerintah di Desa Abyan Jero.


TANGKAS.

Putra dari Arya Kanuruhan yang kedua adalah Kiyayi Tangkas yang sering pula disebut Pangeran Tangkas. Beliau berlugas ( mecndapat tugas ) dari raja sebagai Rakryan Apatih, karena Kiyayi Tangkas sangat bakti kepada Dalem, sehingga Pangeran Tangkas sipergunakan sebagai Rakryan Patih tedeng aling aling raja. Kesetiaan Pangeran Tangkas terhadap raja maka segala perintah raja tidak pernah ditolaknya.

Tersebutlah Pangeran Tangkas diperintahkan oleh Raja untuk memegang tampuk pemerintahan di wilayah Kertalangu oleh karena pemegang wilayah Kertalangu ( keturunan Arya Demung Wangbang) meninggalkan wilayah tersebut karena mereka dikalahkan oleh semut. Untuk mengisi dan mengamankan wilayah Kertalangu ditempatkannyalah Pangeran Tangkas disana.

Di Kertalangu inilah akhimya Pangeran Tangkas tinggal menetap. Pangeran Tangkas, beliau mempunyai seorang putra, yang bemama Kiyayi Tangkas Dimade. Karena dimanjakan akibatnya Tangkas Dimade akhimya buta mengenai huruf sandi.

Pada suatu hari ada seorang yang dianggap salah oleh raja dan menurut sesana ( hukum ) orang ini harus dihukum mati. Orang yang salah ini diutus oleh raja ( Dalem ) untuk membawa surat ke Badung ( Kertalangu ). Adapun isi surat ini adalah

pa - pa - nin - nga - tu - se - li - ba - ne - te -tih.

Dalam tulisan rahasia tersebut diatas, Dalem bermaksud membunuh orang yang membawa surat ini, akan tetapi setelah Sang membawa surat tiba di Kertalangu, maka Pangeran Tangkas saat ini tidak berada di rumah, karena beliau pergi ke tegalan mencari burung, oleh sebab itulah anaknya didekati oleh utusan tersebut, dan Tangkas Dimade yang sedang bekerja di sawah lalu diberikan surat tersebut karena Tangkas Dimade tidak bisa membaca hurup sandi maka surat yang diberikan oleh utusan tersebut diterima demikian saja. Setelah surat tersebut diterima maka utusan tersebut pergi dengan cepat. Pada saat ayahnya tiba di rumah maka ayahnya didekatinya serta diaturkan surat tersebut kepada ayahnya dan dengan segera surat tersebut di baca isinya, berkatalah ayahnya kepada putranya Tangkas Dimade. ; ” Anakku Tangkas, apakah dosa yang kamu buat terhadap Dalem ? karena isi surat ini menyebutkan bahwa ayah membunuh bagi ia yang membawa surat ini. Siapakah yang membawa surat ini ‘ Apakah dosamu terhadap Dalem ?, dan bingunglah ayahnya berpikir - pikir mengenai hal tersebut. Berkatalah putra beliau : ” Ya ayahku samasekali saya tidak merasa diri bersalah terhadap Dalem, sedikitpun saya tidak merasakannya, bersalah terhadap beliau sesungsungan kita.

Mendengar ucapan putranya itu menangislah ayahnya, sambil menasehati anaknya ” Jika demikian halnya, tetapkanlah pendirianmu sebagai tanda bakti pada raja ( Dalem ), bila kamu benar, hai ini merupakan jalan utama yang ditunjukkan kepadamu

unluk menuju ke jalan sorga Banyak lagi nasehat - nasehat yang diberikan kepada anaknya dalam rangka menghadapi kernatian itu. Sehingga hati anaknya mempunyai keikhlasan untuk siap mati dibunuh oleh ayahnya.

Tak beberapa lama tersebarlah berita di seluruh wilayah Kertalangu bahwa Tangkas Dimade akan dibunuh oleh ayahnda. Sehingga banyaklah warga desa Kertalangu datang beritanya mengenai hal ikhwal terjadinya musibah tersebut. Sebelum anaknya dibunuh maka disuruhlah Tangkas Dimade melakukan persembahyangan, setelah itu dilaksanakannyalah Upacara mejaya - jaya dengan diberikan puja oleh Pendeta Ciwa dan Buddha.

Setelah selesai upacara mejaya - jaya maka diantarlah putranya menuju setra tempat pembunuhan, di dalam perjalanan menuju ke setra, Tangkas Dimade diiringi oleh isak tangis sepanjang jalan, karena Tangkas Dimade sangat sopan dalam pergaulan, dan masih jejaka, dan sedang senangnya hidup.

Setelah tiba di kuburan, disuruhlah Tangkas Dimade melakukan persembahyang­an kearah empat penjuru mata angin di tempat pembakaran zenasah, untuk memohon tempat yang layak bagi dirinya kepada Sanghyang Dharma. Setelah selesai melakukan persembahyangan, maka ayah Pangeran Tangkas mengambil keris lalu menusuk putranya yang tercinta, hanya satu kali tusukan, robohlah Tangkas Dimade pada saat itu juga.

Diceritrakan kembali orang yang membawa surat tersebut kini telah tiba diistana Dalem di Gelgel, lalu menghaturkan sembah kepada raja dengan mengatakan : Maafkan hamba ratu Dalem, bahwa segala perintah yang tuanku berikan kepada hamba, hamba telah laksanakan dan kini hamba telah kembali dengan selamat.

Melihat kejadian ini maka terkejutlah Dalem (raja ) dan beliau berkata

-Hai kamu utusanku, apa sebabnya kamu cepat kembali ?

-Siapakah yang kamu berikan surat perintahku itu ?
Katakanlah dengan cepat !

Bersembah sujudlah utusan tersebut, lalu berkata : Maafkan hamba tuanku, surat perintah tuanku telah hamba berikan kepada putra dari Ki Pangeran Tangkas, akan tetapi surat tersebut hamba haturkan saat putra beliau berada di tengah sawah. Oleh sebab Pangeran Tangkas beliau tidak ada di rumah, dan setelah itu hamba balik kembali ke istana, itulah sebabnya hamba dengan cepat tiba kembali.

Mendengar uraian yang disampaikan itu maka sangat terkejutlah sang raja dan segera mengutus seorang utusan untuk lari dengan cepat ke Kertalangu (Badung) untuk mencegah pembunuhan yang dilakukan oleh Pangeran Tangkas, walaupun bagaimana cepatnya utusan menunggang kuda, akan tetapi kecepatan ini sudah terlambat dimana utusan ini telah melihat sendiri mayat putra Pangeran Tangkas telah terbunuh. Tercenganglah utusan raja karena terlambat dan segera kembali ke Gelgel. lalu melaporkan hal ini kepada Sang raja, setelah menenma laporan beliau menjadi dian, dan berkata dalam hati beliau ” Oh Tangkas engkau bunuh puteramu sendiri- yang tidak ada bersalah sama sekali karena baktimu kepadaku”.

Tersebutlah Pangeran Tangkas sekarang telah di tinggalkan mati oleh putra beliau, beliau lama tidak mau menghadap kepada Dalem karena sedih hati beliau, waiaupun Dalem telah berkali-kali memanggil beliau untuk menghadap, akan tetapi perintah Dalem tidak diperhatikan.

Melihat hal semacam ini berpikir-pikirlah Dalem dan akhimya diutuslah seorang utusan untuk menghadap kepada Pangeran Tangkas di Kertalangu ( Badung ), untuk meminta dengan sangat agar Pangeran Tangkas datang untuk menghadap raja. Pada saat inilah pertama kali Pangeran Tangkas datang ke Puri Gelgel. Pada saat tibanya Pangeran Tangkas di istana Gelgel, raja sedang mengadakan rapat dengan para Maha Menteri, Patih, dan lain - lainnya. Melihat Pangeran Tangkas datang maka raja meninggalkan rapat, lalu menerima kedatangan Pangeran Tangkas, serta dengan cepat raja berkata : Marilah engkau dekat padaku Tangkas Berdatang sembahlah Tangkas, Maafkan hamba orang yang hina dina ini duduk di bawah Tuanku ! Mendengar ucapan Pangeran Tangkas ini dengan nada sedih, berkatalah kembali Sang Raja : ” Hai kamu Kiyayi Tangkas, bangunlah kamu, dan janganlah kamu duduk di bawah, mariiah engkau dekat denganku. Karena perintah raja yang tegas ini maka bangunlah Pangeran Tangkas dari tempat duduknya terbawah, dan berdatang sembah mendekati raja.

Dengan mendekatnya Pangeran Tangkas kepada raja, maka mulailah raja berkata kembali kepada Pangeran Tangkas, dengan lembut, dan kata beliau ( raja ) sebagaiberikut:

” Hai Kiyayi Tangkas, aku ingin bertanya kepadamu, apakah yang menyebabkan kamu lama tidak menghadap kepada rajamu Apakah hai tersebut disebabkan karena anakmu yang mati yang disebabkan perintahku yang kurang tegas itu padamu ? Mendengar pertanyaan raja ini, menyautlah Pangeran Tangkas : ” Maafkanlah hamba tuanku, hamba lakukan itu semua karena bakti hamba kepada sungsungan hamba yaitu Tuanku sendiri “. Mendengar ucapan. Pangeran Tangkas itu terketuk hati Sang raja, karena mengenang bahwa keturunan itu adalah yang amat penting dalam ajaran agama , karena itulah beiiau berpikir - pikir lalu bersabda:

Hai kamu Pangeran Tangkas, janganlah karena kejadian tersebut engkau menjadi sedih, karena hal tersebut sudah berlalu, dan tidak akan bisa kembali lagi, lupakanlah itu semua! Akan telapi untuk meneruskan keturunanmu itu agar Tangkas jangan menjadi lenyap, maka kini aku akan memberikan kepadamu seorang istriku yang sedang hamil, dan umur kandungannya baru 2 ( dua ) bulan, istriku inilah engkau harus ambil, untuk meneruskan keturunanmu. sehingga keturunan Tangkas tidak putus akan tetapi ada yang ku minta kepadamu adalah ‘:

1. Janganlahkamu menghilangkan (anyapuh) persanggamaan yang telah dilakukan olehku sendiri !
2. Apabila anak itu telah lahir kemudian, maka anak tersebut kamu beri nama dan panggil dengan nama Ki Pangeran Tangkas Kori Agung ‘

Dari hal tersebut di atas maka Tangkas ialu berkata : Maafkanlah hamba Tuanku Dewa Bhatara, apabiia hamba mengambil istri Tuanku, maka hamba akan terkutuk. sehingga hamba kena tulah ” dan hamba disebut langgana oieh seluruh jagat.

Kemudian berkatalah Sang raja kembali’: ” Hai kamu Tangkas janganlah kamu berpikir demikian, ini adalah perintahku dan engkau harus laksanakan “

Karena hal ini merupakan perintah Sang raja, maka istri raja, kemudian diambii olch Tangkas, lalu di bawa ke Badung, dan sampai di Badung, maka diadakannya suatu upacara perkawinan yang sangat besar, dengan mengundang banyak keluarga

Setelah upacara selesai maka lama kelamaan lahirlah seorang putra laki yang sangat tampan dan gagah perkasa yang diberi nama PANGERAN TANGKAS KORI AGUNG . Oleh karena itu gembiralah wilayah Kertalangu kembali.

Di daiam beberapa sumber menyebutkan bahwa istri raja yang dianugrahkan kepada Kiyayi Tangkas pada masa mudanya bernama Ni Luh Kayu Mas, yang berasal dari keluarga Bcndcsa Mas. Lahirlah putra raja yang bemama Pangeran Tangkas Kori Agung di tengah - tengah keluarga Tangkas, maka secara biologis beliau adalah putra raja atau putra dalem. Akan tetapi secara adat, beliau adalah pewaris langsung dari keluarga Tangkas. Setelah Pangeran Tangkas Kori Agung menjadi remaja putra dan beliau sering datang dan menghadap Dalem di Gelgel. Melihat hal ini akhimya Sang raja meminta kepada Pangeran Tangkas Kori Agung, untuk kawin dan mengawini putri dari keturunan Arya Kepasekan, dengan tujuan agar kesatuan rakyat Bali dan keturunan dan
Jawa tetap terpelihara, oieh karena Patih Arya Kepasekan adalah patih Bali yang merupakan keturunan langsung dari Arya Kepasekan yang pernah datang ke Mojopahit untuk menghadap kepada Patih Gajah Mada, bersama dengan pembesar Bali lainnya, seperti: Arya Pasek dan Patih Ulung untuk penobatan raja Bali, demi amannya Bali, dari pembrontakan - pembrontakan orang yang tidak puas terhadap Mojopahit.

Berkat usaha dari ketiga Maha Patih Bali inilah akhimya Dalem Sri Kresna Kepakisan diorbitkan untuk menjadi raja di Bali, oieh Patih Gajah Mada

Untuk mengenang jasa leluhur dari Arya Kepasekan ini maka diharuskannyalah Pangeran Tangkas Kori Agung, kawin dengan putrinya. Perkawinan antara Pangeran Tangkas Kori Agung dengan Putri Arya Kepasekan, lahirlah seorang putri yang bernama Gusti Ayu Tangkas Kori Agung

Unluk melanjutkan keturunan dan Pangeran Tangkas Kori Agung dan mempererat hubungan dengan Pasek Gelgel. karena Pasek Gelgel berada di Gelgel yang mempakan pusal ibu kota kerajaan Gelgel dan Puri juga berada di Geigel. Untuk itu demi amannya Puri dikawinkannyalah Gusti Ayu Tangkas Kori Agung dengan Gusti Agung Pasek Gelgel

Menurut Babad Pasek yang diterjemahkan olah I Gusti Bagus Sugriwa, penerbit Toko Buku Balimas, tahun 1982, halaman 82, maka dijelaskanlah status parkawinan ini sebagai berikut

Hai anakku Gusti Agung Pasek Gelgel, karena engkau suka kepadaku, kini bapak menyerahkan diri kepadamu, oleh karena bapak tidak mempunyai keturunan laki {tidak beranak laki - laki) kini ada seorang anakku perempuan, saudara sepupu olehmu, apabila kamu suka, bapak berilah kepadamu, Gusti Ayu. Danl agi ada harta benda bapak, yaitu isi rumah tangga serba sedikit, pelayan 200 orang, semuanya itu anakku menguasainya. Pendeknya engkau menjadi anak angkatku. Kemudian bapak pulang ke alam baka, supaya anakku menyelesaikan jenazahku. Yang penting permintaanku ialah agar sarna olehmu melakukan upacara sebagai Bapak kandungmu sendiri, Dan peringatanku kepadamu, oleh karena dahulu ada permintaan Pangeran Mas kepada leluhur kita yaitu supaya jangan putus turunan - turunan kita dengan sebutan Bendesa Sebab supaya mudah oleh beliau kelak mengingati turunan - turunan beliau bila ada lahir dan beliau.

Kini oleh karena bapak memang berasal dari sana, sebab itu bapak minta kepadamu bila kemudian ada anugrah Tuhan kepadamu terutama kepada bapak, adanakmu lahir dari sepupumu Ni Luh Tangkas, supaya ada juga yang memakai sebutan Bendesa Tangkas itu sampai kemudian supaya mudah leluhur kita mengingati turunan turunannya nanti di Sorga. ” ( Babad Pasek oleh 1 Gusti Bagus Sugriwa, Halaman 82, Tahun; 1982 ).

Demikjanlah kata - kata yang dikeluarkan oleh Pangeran Tangkas Kori Agung, lalu Ki Gusti Pasek Gelgel berunding dengan saudara - saudara sepupu dan mindonnya, akhimya disetujui oleh semua saudara - saudara Pasek, sehingga akhimya terjadilah perkawinan sesuai dengan permintaan Pangeran Tangkas Kori Agung.

Jadi status perkawinan ini adalah I Gusti Pasek Gelgel selaku sentana yang kawin dengan I Gusti Ayu Tangkas Kori Agung, diupacarai sangat meriah, di rumah Tangkas Kori Agung, yang Juga hadir dalam perjamuan itu semua keluarga I Gusti Pasek Geigel, di samping tamu yang lainnya.

Dari Perkawinan antara Gusti Ayu Tangkas Kori Agung dengan Gusti Pasek Gelgel, maka dikaruniai 4 ( empat ) orang putra dengan nama yaitu:

Anak yang pertama bernama Pangeran Tangkas Kori Agung.

Anak kedua Bendesa Tangkas.

Anak ketiga Pasek Tangkas.

Anak ke empat, Pasek Bendesa Tangkas Kori Agung.

Demikianlah ketuainan Tangkas, yang melanjutkan keluarga Tangkas seterusnya.

Karena keluarga Tangkas terus berkembang dan sangat erat hubungannya dengnn raja dan masyarakat. Maka keluarga Tangkas mendapat tugas - tugas dari raja sebagai berikut:

1. Tangkas Kori Agung adalah pengawal terdepan dari raja lebih - lebih
Bendesa Tangkas yang merupakan pengawal setia dari raja Dalem Bekung, dan ikut berperang melawan Kryan Batan jeruk, yang berontak sehingga Dalem terkepung, dimana Tangkas sebagai pengawal raja terdepan, dengan susahpayah berperang dengan pasukan Batan Jeruk,yang akhirnya pemberontakan Batan Jeruk dapat dipadamkan, dan Batan Jeruk meninggal di Bunutan.

2. Karena jasanya sebagai pengawal terdepan dari raja maka Tangkas
diberikan tanda jasa oleh raja berupa:

a.Tangkas tidak boleh dihukum mati.

b.Tidak boleh dirampas artha bendanya.

c.Bila Tangkas harus dihukum mati, maka hukuman mati dapat dilakukan dengan hukuman buangan selama satu bulan.

d.Bebas pajak.

e.Bila Tangkas harus kena denda lainnya, harus dihapuskan. Jasmat
kataku, bila hakim berani melanggar, semoga terkutuk oleh Tuhan.

3. Melakukan upacara yang ada di Besakih.

PEGATEPAN.

Putra dari Arya Kanuruhan yang nomor 3 (tiga ) adalah Kiyayi Pegatepan. putra beliau yang ketiga ini adaiah sangat cerdas, disamping sangat tangkas

Sebagai seorang prajurit kerajaan, maka Kiyayi Pegatepan mendapat tugas untuk mengamankan kekacauan yang ada di daerah Tianyar ( bekas daerah Ki Tunjung Tutur )

Pada masa pemerintahan Dalem di Gelgel, maka pada waktu ini yang diberikan hak untuk menguasai dan mengamankan daerah Tianyar, adalah keturunan dari Sira Arya Gajah Para. Dua orang cucunya dan Sira Arya Gajah Para yaitu Kiyayi Ngurah Tianyar, dan adik kandungnya yang bernama Kiyayi Ngurah Kaler, dimana kedua kakak beradik ini mengadakan suatu persengketaan yang sangat hebat, dengan melibalkan beberapa pengikutnya di Tianyar yang menyebabkan kacaunya daerah Tianyar serta keamanan tidak terjamin.

Adapun permasalahan yang mcnimbulkan persengketaan sengit ini adalah masalah berselisih pendapat tentang jalannya pelaksanaan Upacara Pengabenan dari jenazah ayah mereka.

Dengan memuncaknya perang yang sangat hebat ini maka keamanan di daerah ini sangat menyedihkan sehingga kekacauan ini sampai ditelinga raja di Gelgel. Untuk mengamankan dan mendamaikan kedua kakak beradik ini dikirimkannyalah pasukan dari Gelgel di bawah pimpinan Kiyayi Pegatepan. Kiyayi Pegatepan tiba di Tianyar, dengan pasukan pilihan masuk menyelusup ke wilayah pertempuran, akan tetapi pcrtempuran sukar di damaian, sehingga Kiyayi Ngurah Tianyar dan adiknya Kiyayi Ngurah Kaler, keduanya gugur di medan pertempuran. Gugurnya kedua saudara ini masing - masing meninggalkan istri mereka dengan anak yang masih kecil ( bayi ). Sedangkan Kiyayi Ngurah Kaler meninggalkan istri yang sedang mengandung.

Karena gugumya kedua cucu dan Gajah Para, dan keamanan beium terjamin sepenuhnya, maka atas perintah raja Kiyayi Pegatepan ditugaskan terus di Tianyar, sampai desa tersebut betul - betul aman Karena lamanya Kiyayi Pegatepan berada di daerah Tianyar, maka makin lama makin senanglah beliau memegang wilayah tersebut dan akhirnya beliau berketetapan hati untuk tidak meninggalkan wilayah tersebut.

Di Wilayah Tianyar inilah beliau akhirnya mengambi! rabi/ istri yang nantinya melahirkan dua orang putra yang masing -masing putra beliau bernama

Putra pertama diberi nama Kiyayi egatepan Putra kedua Kiyayi Madhya Bukian.


Karena lamanya beliau tinggal di Tianyar, maka kedua putranya ini masing -rnasing menurunkan keturunannya sedemikian banyak Kelurunan inilah terus tersebar ke desa dcsa, keseluruh pelosok wilayah Bali

Tianyar merupakan daerah terpencil dimana hubunqan dengan pusat, menjadi jauh sehingga penulisan dan siisilah keluarga dan Kiyayi Pegatepan tidak diuraikan lagi.

Demikianlah silsilah singkat Arya Kanuruhan, semoga cerita ini bermanfaat bagi kita semua khususnya bagi keluarga besar ARYA KANURUHAN, mohon cerita ini disebarluaskan karena masih banyak saudara kita yang belum megetahui cerita dari leluhur kita