Menyambut Tahun Baru 2009 kami mewartakan suatu kejadian yang terjadi setahun yang lalu tepatnya Tanggal; 24 Nopember 2007 yang bagi kami rasanya perlu untuk diwartakan kepada Umat Se-Dharma.
Kejadian ini sangat langka dan benar adanya, dengan kejadian ini menjadikan kita lebih percaya dan lebih menghormati para leluhur atau pendahulu kita yang hebat dan satya dalam wacana,atau alam gaib atau juga ke Maha Kuasaan Ida Hyang Widhi Wasa.
Suatu waktu Ida Dewa mendapat wangsit untuk mengambil keris pajenengan Ki Patih Kebo Iwa di Pantai Selatan yang disimpan oleh Ratu Kidul karena keris tersebut dibuang oleh Ki Patih Gajah Mada dengan maksud dapat mengalahkan Ki Patih Kebo Iwa.
Sumpah Palapa Ki Patih Gajah Mada adalah " Ingin Menyatukan Nusantara " Ki Patih Gajah Mada diturunkan kedunia memang mendapat titah mempersatukan Nusantara, beliau adalah titisan Dewa Wisnu yang terlahir dari rahim seorang ibu yang bernama Patni Nari Ratih putri seorang Pendeta yang bernama Mpu Wiradharma. Putri Mpu Wiradharma ini dipersunting oleh muridnya yang bernama Mpu Suradharma.Setelah menikah Mpu Suradharma bersama istrinya melakukan perjalanan,sampai di tengah hutan istrinya kehausan,disuruhlah suaminya Mpu Suradharma mencari air. Sebelum mencari air di istirahatkanlah istrinya dalam suatu gua. Saat sang suami mencari air,tiba tiba turun Dewa Wisnu ke bumi mengambil wujud mirip seperti Suami Patni Nari Ratih (mpu Suradharma) serta membawa air. Patni Nari Ratih sedikitpun tak menyangka itu Dewa Wisnu yang mengambil wujud seperti suaminya.Dewa Wisnu meminta untuk melakukan hubungan badan layaknya suami istri.Setelah selesai tertidurlah Patni Nari Ratih.Terbangun dari tidurnya tak berapa lama datanglah suaminya (mpu Suradharma).Patni Nari Ratih penuh keheranan,dalam pikirannya yang tadi itu siapa ?bahkan dia menuduh suminya ini adalah siluman,terjadilah pertengkaran,tiba tiba petir menggelegar di ikuti sabda bahwa Dewa Wisnu menitipkan benih di rahim istrinya dan sebelum bayi itu lahir jangan berhubungan badan dengan istrinya.Itulah sedikit cerita tentang Gajah Mada.
Ki Patih Kebo Iwa adalah keturunan Arya Karang Buncing di Blah Batuh-Gianyar yang lahir dari padipaan disaat sira Arya Karang Buncing memohon keturunan dihadapan Hyang Penguasa Alam Semesta, konon begitu lahir sudah mampu ketupat kelan ( 6 biji ) setelah dewasa ki Kebo Iwa mempunyai tubuh yang sangat besar dan kekar diluar ukuran orang biasa ( +_7 M ) dan memiliki kesaktian yang dimiliki dibawa dari lahir,kesaktian dan kekuatan tiada yang menyamai diseantero jagat. inilah yang menjadikan Maha Patih Gajah Mada memutar otak untuk mengatur siasat bagaimana cara memisahkan Ki Kebo Iwa dari Rajanya Sri Astasura Ratna Bumi Banten,kalau Ki Kebo Iwa dapat dipisahkan dari Rajanya sehingga mudah dapat mengalahkan Bali. Sampai saaat ini Ki Kebo Iwa belum memiliki istri,tidak seorangpun putri di Bali yang menyamai bentuk tubuhnya,hal inilah yang dipakai titik lemah ki Ke Iwa.
Sang Ratu Raja Majapahit disuruh membuat sepucuk surat oleh ki Patih Gajah Mada di peruntukan KI Kebo Iwa bahwa ada seorang putri yang cantik di tanah Jawa yang sepadan dengan Ki Kebo Iwa dan untuk di persandingkan dengannya.KI Kebo Iwa sangat senang dan ki Kebo Iwa diharuskan mengambilnya ke Tanah Jawa.
Ki Kebo Iwa mohon ijin kepada Rajanya untuk pergi ke Jawa untuk mengambil calon istrinya,dan sang raja mengijinkannya.Sebelum menyeberang mengarungi lautan Ki Kebo Iwa Semadi di Pura Luhur Uluwatu. Di Pura tsb beliau sudah dilarang untuk pergi ke tanah Jawa karena akan terjadi sesuati disana,namun karena keinginan yang besar untuk mendapatkan istri petunjuk itu tidak dihiraukannya,bahkan ada batu besar yang menghadang,batu itupun di belahnya menjadi dua,satu ditaruh di Belah Batuh dan yang satunya di bawa ke tanah Jawa( mungkin itu asal usul dari nama Desa Blah Batuh) .
Sampai di Tanah Jawa semua masyarakat takut dengan Ki Kebo Iwa karena tinggi besar membawa keris dan membawa batu.muncul ide dari Ki Patih Gajah Mada untuk mengurangi kesaktian Ki Kebo Iwa. " Cening Kebo Iwa kenapa cening bawa keris dan batu kesana sini,semua rakyatku jadi takut,mari kerisnya di simpan dulu " keris Ki Kebo Iwa diserahkan kepada Ki Patih Gajah Mada,bukan nya di simpan olehnya ternyata dia buang ke laut,dan diselamatkan serta disimpan oleh Ratu Kidul.
Berikutnya Ki Kebo Iwa disuruh membuat sumur Oleh Gajah Mada untuk mandi calon istrinya,setelah sumurnya dalam ki Kebo Iwa di urug dengan batu rame rame oleh rakyat Majapahit ,dengan kesaktiannya ,batu batu yang mengurugnya semuanya terpental ke angkasa. Gajah Mada sudah habis akal untuk melenyapkan Ki Kebo Iwa dari muka bumi,di suruhlah Ki Kebo Iwa pulang ke Bali karena istri yang dijanjikan itu sebenarnya tidak ada,itu hanyalah kiasan saja,kata Gajah Mada yang kami sebut Ni Gusti Lemah Tulis itu adalah sebuah Gunung yang tinggi besar dan cantik yang namanya Gunung Batu Tulis.Saya tidak mau pulang ke Bali karena kami janji pada raja kami bahwa kami ke tanah Jawa untuk mengambil istri,bila kami tak membawa istri ,kami akan sangat malu sekali pada sang Raja, kami merasa di tipu daya ,namun kami tak akan bisa mati dengan cara ini, lebih baik kami mati dengan secara satria.kami bisa mati oleh siraman pamor bubuk,bunuhlah kami dengan itu, kami akan mati. Ki Kebo Iwa mengeluarkan pamor bubuk diserahkan kepada Ki Patih Gajah Mada,lalu ditaburkan pamor bubuk itu oleh Gajah Mada,seketika itu Ki Kebo Iwa lenyap tanpa bekas (moksa)
Kini Ida mendapat tugas untuk mengambil di pantai selatan (malang) dan pusaka tsb sudah diberikan oleh Ratu Kidul dan kini di simpan di Kedatuan Kawista Belatungan -Tabanan.
Maaf tiang belum sempat cerita tentang perjalanan ke Malang,Blitar,Kediri,Bromo,Semeru bersama Ida,tapi ada yang luar biasa kami dapatkan di Pura Bromo-Tengger.disamping banyak sekali permasalahan yang perlu diselesaikan.
Lewat ini kami kirimkan Foto keris puasaka Ki Kebo Iwa bersama bapak Mangku Pastika sebelum menjadi Gubernur di kedatuan Ida
bendesa tangkas kori agung
Entri Populer
-
B A B A D IDA PEDANDA SAKTI WAWU RAWUH (DWIJENDRA TATWA) PENGERTIAN BABAD Tradisi penulisan babad telah dimulai sekitar abad ke-16. jika ke...
-
BENDESA GERIH Warga Bendesa Tangkas Kori Agung Pusat Gerih. Ki Gusti Gede Bendesa Gerih Menerima Mandat Dari Ida Batari Dewi Danu Beratan...
-
Menyambut Tahun Baru 2009 kami mewartakan suatu kejadian yang terjadi setahun yang lalu tepatnya Tanggal; 24 Nopember 2007 yang bagi kami ra...
-
Isi Singkat Babad Arya Kanuruhan. Kata pembukaan (pangaksama), dengan memuja Çiwa dan Buda memohon restu dan memohon ampun untuk membicar...
-
MUTRA (Air Seni) MUTRA (Air Seni) Oleh: Ngurah Nala, Universitas Hindu Indonesia Mempergunakan air kencing, air seni, air kemih, uri...
-
Majapahit Dalam Sejarah ( 1 ) Kejayaan Majapahit : Rajasanagara Di Puncak Peradaban Majapahit (1350-1389 M) Sang Sri Natha ri Wilwatikta...
-
Mendekati detik-detik pemberontakan Demak Bintara berkembang pesat. Tempat ini dirasa strategis untuk pengembangan militansi Islam karena ...
-
Terdorong keinginan untuk mengetahui riwayat dari kawitan Tangkas yang hingga sekarang ini masih kacau karena masing masing buku memberikan...
-
Majapahit Dalam Sejarah ( 6 ) Dalam hal wujud bangunan candi sendiri, jika diamati secara cermat akan terlihat adanya pembagian tataran...
-
Majapahit Dalam Sejarah ( 3 ) Bangunan suci darmma haji berjumlah 27. Bangunan ini bertujuan untuk memuliakan para kerabat raja yang t...
Kamis, 05 Mei 2011
Senin, 18 April 2011
SEJARAH MAJAPAHIT 6
Majapahit Dalam Sejarah ( 6 )
Dalam hal wujud bangunan candi sendiri, jika diamati secara cermat akan terlihat adanya pembagian tataran manusia dan tataran dewata. Bagian bhurloka yang dipresentasikan di kaki bangunan akan diungkapkan dalam bentuk kaki candi yang umumnya polos tanpa hiasan relief. Apabila terdapat hiasan, maka yang ada adalah susunan perbingkaian saja. Pada beberapa candi memang terdapat relief cerita yang temanya sesuai dengan upaya manusia untuk bertemu dengan dewata. Hal ini akan diperbincangkan dalam pemaparan selanjutnya dalam kajian ini.
Beberapa candi zaman Singhasari - Majapahit yang berkaki candi polos tanpa hiasan relief cerita (kecuali relief hias) dan hanya dilengkapi dengan panil kosong atau susunan perbingkaian saja adalah candi:
1. Sawentara di Blitar
2. Sanggrahan di Tulungagung
3. Kali Cilik di Blitar
4. Bangkal di Blitar
5. Jabung di probolinggo
6. Kesiman Tengah di Mojokerto
7. Candi pan di Sidoarjo
8. Candi Gunung Gansir di Pasuruan
Hal yang menarik terdapat di Candi Singhasari (Malang) yaitu bagian yang terlihat seperti kaki candi dengan deretan panil-panil relief kosong di bagian paling bawah bangunan bangunan ini adalah lapik (alas) dan kaki candi. Lapik tersebut bersama-sama kaki candi melambangkan juga dunia manusia (bhurloka) karena terletak di segmen bawah dari bangunan candi. Adapun candi yang bagian kakinya dihias dengan perbingkaian dan relief cerita antara lain adalah candi:
1. Jawi di Pasuruan
2. Jago di Malang
3. Ngrimbi di wilayah Jombang
4. Miri gambar di Tulungagung
5. Kedaton di pedalaman selatan Probolinggo.
Candi Tegawangi dan candi Surawan yang ada sekarang, hanya menyisakan batur tinggi dan dapat dianggap sebagai bagian kaki candi, namun dapat pula dipandang sebagai tubuh candi. Hal itu terjadi karena batas antara kaki candi dan tubuhnya pada kedua bangunan kuno itu agak sukar untuk diidentifikasikan.
Candi-candi yang bahan tubuhnya terbuat dan bata atau batu akan membentuk bilik candi. pada bagian tubuh candi yang melambangkan dunia bhuwarloka terdapat relung-relung tempat menempatkan arca, selain bilik candinya untuk menyimpan arca, selain bilik candinya untuk menyimpan arca utamanya. namun hampir semua candi masa Singhasari dan Majapahit, arca-arca pengisi relung dan juga arca utamanya telah hilang. Candi Sawentar semua arcanya telah tiada, tetapi di biliknya terdapat alas arca yang bagian sisi depannya dihias dengan pahatan burung Garuda. Di Candi Kidal konon dulu terdapat arca Siwa mahadewa yang tingginya 1,23 m. Arca ini sangat mungkin merupakan perwujudan Anusapati yang sesuai dengan istadewatanya, yaitu sebagai Siwa mahadewa. Arca Siwa dan Candi Kidal sekarang disimpan di Royal Tropical Institute, Amsterdam (Kempers, 1959; 73- 74 plate 216-217).
Di Candi Jawi, semua relung di tubuh bangunan telah kosong, tetapi di biliknya terdapat yoni. Begitupun di Candi Kali Cilik, Bangkal dan Jabung semua relung dan bilik candinya telah kosong tidak berisikan arca apapun. Sementara itu, di puncak Candi Tegawangi, Surawana dan Sanggrahan tidak ditemukan arca lain. Akan tetapi, di puncak Candi Tegawangi hingga sekarang masih terdapat yoni yang ceratnya dibentuk naturalis.
Maka, dapat dikemukakan bahwa tubuh candi yang melambangkan dunia bhuwarloka ditandai dengan wujud arca-arca itu sekarang telah hilang. Arca-arca dewa melambangkan makhluk suci yang sebenarnya telah lepas dari segala nafsu dunia, namun kadang-kadang dapat tampil di hadapan para pemujanya, sifatnya sakala-niskala (antara ada dan tiada). Pada waktu diadakan upacara persembahyangan di candi arca dewa-dewa tersebut dianggap keramat. Dewa-dewa hadir di tubuh arca waktu itu. Jadi sifatnya sakala, tetapi apabila selesai upacara arca-arca itu menjadi hampa. Prana dewa kembali ke alamnya yang niskala.
Bagian swarloka pada bangunan candi dilambangkan pada bentuk atap tunggal batu/bata atau atap dari bahan mudah lapuk yang bentuknya bertingkat-tingkat. Bangunan candi masa Singhasari mempunyai bentuk atap yang meninggi ke puncak, lazim dinamakan dengan atap prasadha (menara). Ada pula candi yang didirikan dalam zaman majapahit yang juga mempunyai atap prasadha. Candi masa Singhasari dengan atap menjulang seperti menara yang masih ada, yaitu Candi Sawetar, Kidal dan Jawi. Adapun candi masa Majapahit yang dulu beratap prasadha adalah Candi Angka Tahun Panataran, Ngetos, kali Cilik dan Bangkal.
Atap berbentuk demikian sebenarnya terdiri dari beberapa tingkatan, namun berangsur-angsur mengecil hingga puncaknya yang dimahkotai dengan bentuk kubus. Simbol-simbol dunia swarloka dapat terlihat pada bentuknya yang menjulang tinggi ke langit, seakan-akan merupakan tangga menuju Suralaya. Selain itu, di bagian langit-langit atap terdapat batu sungkup yang pada sisi bawahnya (bagian yang dapat dilihat dan ruang bilik candi jika seseorang menengadah ke atas) tedapat bentuk lingkaran dengan bentuk garis-garis di sekitarnya, atau lingkaran tersebut merupakan bentuk tengah dan bunga padma mekar yang di sekitarnya terdapat kelopak-kelopak daun bunganya. Pada beberapa candi seperti di candi Sawetar dan Bangkal di tengah lingkaran yang digambarkan bersinar tersebut terdapat relief seorang ksatrya menaiki kuda membawa pedang Hal ini menandakan pastinya simbol konsepsi keagamaan tertentu.
Hal yang sungguh menarik perhatian adalah pada bagian atap tersebut terdapat ruang kosong yang bagian dasamya adalah bath sungkup. Dengan demikian, batu sungkup tersebut menjelma menjadi pembatas antara ruang bilik candi dan ruang di atap candi. Menurut R. Soekmono dalam disertasinya Candi Fungsi dan pengertiannya (1974) dinyatakan “Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa rongga dalam tiap candi itu adalah ruangan yang sengaja disediakan bagi Sang Dewa, yaitu sebgai tern pat bersemayamnya pada saat-saat sebelum ia merasuk menjiwai arca perwujudan yang bertakhta di bawahnya” (1974:31).[WHD No.517 Januari 2010].
(BERSAMBUNG)
Dalam hal wujud bangunan candi sendiri, jika diamati secara cermat akan terlihat adanya pembagian tataran manusia dan tataran dewata. Bagian bhurloka yang dipresentasikan di kaki bangunan akan diungkapkan dalam bentuk kaki candi yang umumnya polos tanpa hiasan relief. Apabila terdapat hiasan, maka yang ada adalah susunan perbingkaian saja. Pada beberapa candi memang terdapat relief cerita yang temanya sesuai dengan upaya manusia untuk bertemu dengan dewata. Hal ini akan diperbincangkan dalam pemaparan selanjutnya dalam kajian ini.
Beberapa candi zaman Singhasari - Majapahit yang berkaki candi polos tanpa hiasan relief cerita (kecuali relief hias) dan hanya dilengkapi dengan panil kosong atau susunan perbingkaian saja adalah candi:
1. Sawentara di Blitar
2. Sanggrahan di Tulungagung
3. Kali Cilik di Blitar
4. Bangkal di Blitar
5. Jabung di probolinggo
6. Kesiman Tengah di Mojokerto
7. Candi pan di Sidoarjo
8. Candi Gunung Gansir di Pasuruan
Hal yang menarik terdapat di Candi Singhasari (Malang) yaitu bagian yang terlihat seperti kaki candi dengan deretan panil-panil relief kosong di bagian paling bawah bangunan bangunan ini adalah lapik (alas) dan kaki candi. Lapik tersebut bersama-sama kaki candi melambangkan juga dunia manusia (bhurloka) karena terletak di segmen bawah dari bangunan candi. Adapun candi yang bagian kakinya dihias dengan perbingkaian dan relief cerita antara lain adalah candi:
1. Jawi di Pasuruan
2. Jago di Malang
3. Ngrimbi di wilayah Jombang
4. Miri gambar di Tulungagung
5. Kedaton di pedalaman selatan Probolinggo.
Candi Tegawangi dan candi Surawan yang ada sekarang, hanya menyisakan batur tinggi dan dapat dianggap sebagai bagian kaki candi, namun dapat pula dipandang sebagai tubuh candi. Hal itu terjadi karena batas antara kaki candi dan tubuhnya pada kedua bangunan kuno itu agak sukar untuk diidentifikasikan.
Candi-candi yang bahan tubuhnya terbuat dan bata atau batu akan membentuk bilik candi. pada bagian tubuh candi yang melambangkan dunia bhuwarloka terdapat relung-relung tempat menempatkan arca, selain bilik candinya untuk menyimpan arca, selain bilik candinya untuk menyimpan arca utamanya. namun hampir semua candi masa Singhasari dan Majapahit, arca-arca pengisi relung dan juga arca utamanya telah hilang. Candi Sawentar semua arcanya telah tiada, tetapi di biliknya terdapat alas arca yang bagian sisi depannya dihias dengan pahatan burung Garuda. Di Candi Kidal konon dulu terdapat arca Siwa mahadewa yang tingginya 1,23 m. Arca ini sangat mungkin merupakan perwujudan Anusapati yang sesuai dengan istadewatanya, yaitu sebagai Siwa mahadewa. Arca Siwa dan Candi Kidal sekarang disimpan di Royal Tropical Institute, Amsterdam (Kempers, 1959; 73- 74 plate 216-217).
Di Candi Jawi, semua relung di tubuh bangunan telah kosong, tetapi di biliknya terdapat yoni. Begitupun di Candi Kali Cilik, Bangkal dan Jabung semua relung dan bilik candinya telah kosong tidak berisikan arca apapun. Sementara itu, di puncak Candi Tegawangi, Surawana dan Sanggrahan tidak ditemukan arca lain. Akan tetapi, di puncak Candi Tegawangi hingga sekarang masih terdapat yoni yang ceratnya dibentuk naturalis.
Maka, dapat dikemukakan bahwa tubuh candi yang melambangkan dunia bhuwarloka ditandai dengan wujud arca-arca itu sekarang telah hilang. Arca-arca dewa melambangkan makhluk suci yang sebenarnya telah lepas dari segala nafsu dunia, namun kadang-kadang dapat tampil di hadapan para pemujanya, sifatnya sakala-niskala (antara ada dan tiada). Pada waktu diadakan upacara persembahyangan di candi arca dewa-dewa tersebut dianggap keramat. Dewa-dewa hadir di tubuh arca waktu itu. Jadi sifatnya sakala, tetapi apabila selesai upacara arca-arca itu menjadi hampa. Prana dewa kembali ke alamnya yang niskala.
Bagian swarloka pada bangunan candi dilambangkan pada bentuk atap tunggal batu/bata atau atap dari bahan mudah lapuk yang bentuknya bertingkat-tingkat. Bangunan candi masa Singhasari mempunyai bentuk atap yang meninggi ke puncak, lazim dinamakan dengan atap prasadha (menara). Ada pula candi yang didirikan dalam zaman majapahit yang juga mempunyai atap prasadha. Candi masa Singhasari dengan atap menjulang seperti menara yang masih ada, yaitu Candi Sawetar, Kidal dan Jawi. Adapun candi masa Majapahit yang dulu beratap prasadha adalah Candi Angka Tahun Panataran, Ngetos, kali Cilik dan Bangkal.
Atap berbentuk demikian sebenarnya terdiri dari beberapa tingkatan, namun berangsur-angsur mengecil hingga puncaknya yang dimahkotai dengan bentuk kubus. Simbol-simbol dunia swarloka dapat terlihat pada bentuknya yang menjulang tinggi ke langit, seakan-akan merupakan tangga menuju Suralaya. Selain itu, di bagian langit-langit atap terdapat batu sungkup yang pada sisi bawahnya (bagian yang dapat dilihat dan ruang bilik candi jika seseorang menengadah ke atas) tedapat bentuk lingkaran dengan bentuk garis-garis di sekitarnya, atau lingkaran tersebut merupakan bentuk tengah dan bunga padma mekar yang di sekitarnya terdapat kelopak-kelopak daun bunganya. Pada beberapa candi seperti di candi Sawetar dan Bangkal di tengah lingkaran yang digambarkan bersinar tersebut terdapat relief seorang ksatrya menaiki kuda membawa pedang Hal ini menandakan pastinya simbol konsepsi keagamaan tertentu.
Hal yang sungguh menarik perhatian adalah pada bagian atap tersebut terdapat ruang kosong yang bagian dasamya adalah bath sungkup. Dengan demikian, batu sungkup tersebut menjelma menjadi pembatas antara ruang bilik candi dan ruang di atap candi. Menurut R. Soekmono dalam disertasinya Candi Fungsi dan pengertiannya (1974) dinyatakan “Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa rongga dalam tiap candi itu adalah ruangan yang sengaja disediakan bagi Sang Dewa, yaitu sebgai tern pat bersemayamnya pada saat-saat sebelum ia merasuk menjiwai arca perwujudan yang bertakhta di bawahnya” (1974:31).[WHD No.517 Januari 2010].
(BERSAMBUNG)
SEJARAH MAJAPAHIT 5
Majapahit Dalam Sejarah
Rombongan raja tidak langsung menuju Majapahit, tetapi menyimpang dulu ke selatan melalui beberapa desa dan menuju Singhasari, yaitu bekas kerajaan pendahulu Majapahit di mana para leluhur Rajasanagara pernah berkuasa. Kunjungan tersebut merupakan ziarah untuk mendatangi beberapa candi pen-dharma-an raja-raja Singahasari.
Rombongan raja tidak langsung menuju Majapahit, tetapi menyimpang dulu ke selatan melalui beberapa desa dan menuju Singhasari, yaitu bekas kerajaan pendahulu Majapahit di mana para leluhur Rajasanagara pernah berkuasa. Kunjungan tersebut merupakan ziarah untuk mendatangi beberapa candi pen-dharma-an raja-raja Singahasari. Uraian selanjutnya menyatakan:
“warnnan muwah lari nareswarenjing umareŋ sudarmma ri kidal sampun manãmya ri bhatara lingsir anuluy/dataŋ ri jajaghu, sampun muwah mark i saŋhyang arcca jinawimbha sonten amgil, eñjiŋ maluy/musir i singhasari tan alh marãryyam i burŋ”.
(.... pada pagi berikut ia berkunjung ke dharma di Kidhal, dan setelah memberi sembahan melanjutkan perjalanan ke Jajaghu, menghadap kepada arca Budha, kemudian bermalam di sana. Pada pagi hari ia kembali ke Singhãsãri, tetapi terlebih dahulu berhenti di Buréng”) (Sidomulyo, 2007:80).
Uraian perjalanan tersebut diperinci lagi oleh Mpu Prapanca dalam Nagarakrtagamanya. Banyak desa dan kota (nagara) yang dikunjungi dan dilalui oleh Hayam Wuruk beserta rombongannya. Selain itu, banyak pula bangunan suci, candi pendarmmaan dan pertapaan yang didatangi oleh Rajasanagara. Seluruh rakyat Majapahit mengelu-elukan sepanjang jalan yang dilalui oleh rombongan. Kegiatan lain yang juga dilakukan oleh Rajasanagara dan kaum kerabatnya adalah berburu. Uraian tentang perburuan terdapat dalam Nagarakrtagama pupuh 50-55. Disebutkan bahwa binatang-binatang pun rela untuk dibunuh oleh sang raja karena ia adalah titisan Siwa. Jadi, mati di tangan raja lebih mulia daripada terjun ke telaga, demikian ungkap Nagarakrtagama.
Demikianlah banyak hal yang membuat Majapahit menjadi jaya dalam masa pemerintahan Hayam Wuruk. Beberapa hal penting yang dapat diamati melalui kajian sumber-sumber sejarah dan bukti arkeologis dan masa itu adalah sebagai berikut:
1. Adanya sistem pemerintahan yang efektif.
2. Adanya keajegaii (kestabilan) pemerintahan.
3. Berlangsungnya kehidupan keagamaan yang baik.
4. Terselenggaranya upacara kemegahan di istana.
5. Tumbuh kembangnya berbagai bentuk kesenian.
6. Hidupnya perniagaan Nusantara dengan Jawa (Majapahit).
7. Pelaksanaan politik Majapahit terhadap Nusantara.
8. Adanya pengakuan internasional dan negara-negara lain di Asia Tenggara.
Apabila digambarkan dalarn bagan, maka kedelapan butir pendukung kejayaan Majapahit tersebut tergambar sebagai berikut:
Image
Kedelapan butir pendukung berada di sudut-sudut kaki limas segi delapan. Semua butir itu memproyeksikan dirinya ke puncak linias menjadi Kejayaan Majapahit Raya. Tepat di tengah di bagian dasar limas adalah tokoh Rajasanagara yang menjaga semua butir pendukung kejayaan.Akan tetapi, ada satu tokoh. yang tidak mungkin dilupakan, yaitu Gajah Mada. Tokoh ini pertama kali tampil di Majapahit dalam masa pcmerintahan Jayanagara sebagai bhayangkara (pasukan pengawal raja). Ia menjadi patih Daha mendampingi Hayam Wuruk muda dalam zaman Ratu Tribhuwanottunggadewi. Selanjutnya, dia menjadi mahapatih arnangkubhumi Majapahit menggantikan Aryâ Tadah. Dalam pengabdian kepada ibunda Hayam Wuruk itulah ia mengucapkn Sumpah Palapanya yang terkenal. Ia tetap menjadi mahapatih amangkubhumi Mjapahit dalam masa pemerintahan Hayam Wuruk. Ia meñyaksikan kejayaan Majapahit dan upaya mempersatukan Nusantara yang ditekadkannya telah menjadi kenyataan. Path akhirnya, sebagaimana asal-usulnya yang samar-samar, maka akhir riwayat Gajah Mada pun tetap samar-samar belum ada kepastian karena berbagai. sumber sejarah menyebutkan masa akhir kehidupan Gajah Mada berbeda-beda.
Apabila berita Nagarakrtagama dapat diterima, kemungkinan Gajah Mada meninggal secara wajar karena sakit. Hal itu diuraikan oleh Mpu Prapanca dalam pupuh 70:3 yang menyatakan bahwa Hayam Wuruk segera pulang dan Simping menuju istananya setelah mendengar bahwa sang mantryadimantra Gajahmada sakit. Ia sangat berjasa dalam menyejahterakan dan memajukan Jawa. Ia dihormati dan dikenal karena telah berhasil dengan baik membinasakan musuh-musuh, baik di Bali ataupun di Sadeng. Gajah Masa mangkat dalam tahun 1364 M. Nagarakrtagama berhasil diselesaikan oleh Mpu Prapanca setahun kemudian.
Peranan dan sepak terjang Gajah Mada untuk memajukan Majapahit memang séngaja tidak ungkapkan dalam kajian ini. Hal ini memang diperlukan telaah khusus untuk mengungkapkan dan memahami lebth dalarn tampilnya tokoh tersebut dalam sejarah Majapahit. Pada kenyataannya Gajah Mada lebih banyak dikenal dan dikenang oleh masyarakat di berbagai wilayah Nusantara daripada Rajasanagara. Hal itu rnenunjukkan bahwa peranan Gajah Mada dalam masa kejayaan Majapahit tidak perlu diragukan lagi. Sementara itu, Hayam Wuruk masih belum banyak dibahas dan diperbincangkan perihal aktivitas dan peranannya sebagai raja besar di Majapahit.
1.2 Pertemuan Antara Dunia Manusia Dan Alam Kedewátaan : Bangunan Suci, Arca dan Relief Candi Masa Singhasari-Majapahit
Kerajaan Majapahit yang berkembang antara abad ke-14-awal ke-16 M merupakan penerus Kerajaan Singhasari yang berkembang dalam masa sebelumnya (abad ke-13 M). Raja-raja Singhasari dan Majapahit berpangkal pada tokoh Ken Angrok yang nama penobatannya ialah Sri Ranggah Rajasa Bhattara sang Amurwwabhumi. Oleh karena itu, tokoh Ken Angrok dapat dinyatakan sebagai vamsakrta (pendiri dinasti). Dinasti yang dikembangkannya adalah wangsa Rajasa (Rajasavamsa). Penamaan dinasti Rajasa tersebut diungkapkan dalam uraian prasasti raja-raja Majapahit yang merupakan anak keturunan Ken Angrok.
Selain itu, dalam hal kebudayaan pun sangat mungkin telah terjadi kesinambungan pencapaian kebudayaan yang telah dikembangkan dalam era Singhasari dan terus dilanjutkan pada masa Majapahit. Namun, tidak tertutup kemungkinan juga bahwa dalam zaman Majapahit terdapat pencapaian-pencapaian baru yang bukan bersifat meneruskan tradisi Singhasari, tetapi bersifat melengkapinya. Salah satu unsur kebudayaan penting yang sebenarnya mendasari perkembangan unsur-unsur kebudayaan lainnya adalah religi. Kehidupan religi pada masa Singhasari mulai muncul gejala baru yang terus dikenal dalam periode Majapahit, yaitu konsep dewaraja. Hakikat konsep tersebut sebenarnya mengajarkan bahwa raja yang telah meninggal dianggap bersatu dengan dewa pribadi sesembahannya (ista-dewata). Raja sebenarnya adalah dewa itu sendiri yang menjelma pada diri seorang manusia yang berkedudukan sebagai raja. Maka, ajaran ini mengenal adanya pertemuan antara (dunia) manusia dan (dunia) dewa-dewa. Kedua dunia itu menyatu dalam diri seorang raja yang sedang berkuasa, atau dalam diri seseorang tokoh kerabat raja yang dekat dengan dunia istana.
Sejauh data yang dapat dipelajari hingga kini, konsep pemujaan dewaraja baru berkembang dalam zaman Kerajaan Singhasari yang dikaitkan dengan keberadaan Dinasti Rajasa. Dalam masa sebelumnya, yaitu periode pemerintahan Kerajaan Kediri (abad ke—12 M) atau lebih mundur lagi dalam masa pemerintahan Dharmmawangsa Airlangga (1019 – 1041 M) dan Dharmmawangsa Teguh (991 M - 1016 M), ritus pemujaan dewaraja tersebut belum meninggalkan bukti secara nyata. Apabila lebih mundur lagi dalm masa perkembangan kerajaarl di w.ilayah Jawa bagian tengah (Klasik Tua) antara abad ke-8 → 10 M, bukti-bukti kehadiran konsep dewaraja sukar untuk dilacak kembali, mungkin sudah ada atau mungkin belum dikenal. Maka, kemungkinan kedualah yang terjadi dalam masa Klasik Tua. Hal ini terlihat dan kegiatan keagamaan yang langsung memuja dewa masih terlihat nyata pada peningkatan arkeologisnya. Candi-candi dibangun dengan tujuan untuk memuja dewa, baik yang bersifat saiva ataupun bauddha Candi-candi tidak diasosiasikan dengan tokoh tertentu, tetapi masih ditujukan bagi peribadatan kepada dewa-dewa.
Sejalan dengan berkembangnya konsep pemujaan dewaraja, maka diperlukan pula peralatan ritus yang juga berbeda dengan masa sebelumnya. Peralatan tersébut tentirnya ditujukan untuk mendukung ajaran dewaraja yang sedang dikembangkan. Dalam kajian ini peralatan ritus yang dimaksud adalah bangunan suci, arca-arca serta penggambaran relief yang dipahatkan di dinding candi-candi atau bangunan suci lainnya. Selain itu, artefak-artefak masih mungkin untuk dijadikan data karena masih bertahan hingga sekarang. Tentunya di masa lalu banyak artefak lain yang berupa benda bergerak (maveable artifact) dalam rangkaian ritus pemujaan dewaraja. Namun, artefak-artefak sangat mungkin terbuat dan logam yang sukar ditemukan, jumlahnya sangat terbatas, rusak dan tidak diketahui lagi keberadaannya.
Selanjutnya, telaah yang dilakukan berupa untuk mengungkapkan berbagai bukti artefaktual yang berkaitan dengan pertemuan antara dunia manusia dengan dunia kedewataan, dan era Singhasani dan Majapahit. Sudah barang tentu kajian ini hanya bersandarkar pada data yang dapat diketahui dan dapat diacu saja, akibatnya mungkin dalam melakukan interpretasipun hanya dilakukan sejauh data yang ada. Interpretasi tidak mungkin dapat dilakukan tanpa dukungan data, apabila dilakukan juga maka sifatnya hanya dalam bentuk asumsi awal yang mudah untuk digantikan dengan kesimpulan baru dalam penelitian lain di masa mendatang.
Konsep pertemuan antara dunia manusia dan kedewataan yang paling penting sebenarnya tercermin pada bentuk bangunan suci dalam masa Singhasari-Majapahit itu sendiri. Bangunan suci yang berbentuk candi dapat dianggap melambangkan tiga lapisan dunia kehidupan (triloka). Pertama, bagian dasar (lapik dan kaki candi) melambangkan dunia manusia yang masih terikat pada hawa nafsu keduniawian, tempatnya salah dan dosa-dosa terjadi, dinamakan dunia bhurloka. Kedua, bagian tubuh candi melambangkan dunia manusia yang telah lepas dari nafsu dan keterikatannya pada duniawi disebut bhuwarloka. Ketiga, atap bangunan melambangkan dunia kedewataan yang dinamakan dengan lapisan swarloka. Pembagian tersebut agaknya setara dengan konsep tridhatu yang dikenal pada bangunan suci bauddha, yaitu kamadhatu dilambangkan pada kaki candi, rupadhatu dilambangkan pada tubuh, dan arupadhatu dilambangkan atap pada bangunan candi Budha. Dengan demikian, dalam bangunan candi terdapat symbol-simbol yang mengacu kepada kehidupan manusia pada umumnya dan alam kehidupan para pendeta yang telah menarik diri dari dunia ramai serta lingkungan kehidupan para dewa.
Pada waktu diadakan upacara keagamaan, tentunya masyarakat datang berbondong-bondong melakukan ritus. Candi dan lingkungannya dipandang sakral karena saat itu dewa-dewa dianggap sedang bersemayam di bangunan suci tersebut. Arca-arca dewa dipandang telah “diisi” oleh prana dewa-dewa dan tentu saja menjadi sangat keramat. Hal sepenti itu mempunyai kesejajaran yang cukup nyata pada waktu persembahyangan hari raya odalan di pura Bali. pada hari itu dewa utama pura dianggap hadir dalam pratima yang merupakan representasi wujud kasarnya. Umát Hindu-Bali mengadakan upacara pemujaan terhadap-Nya setelah upacara usai dewa kembali ke persemayamannya dan pratima disimpan dalam pura yang kembali sunyi.
Sebagaimana yang terjadi dalam upacara odalan di pura, maka dapat ditafsirkan bahwa masyarakat Jawa kuno yang melakukan pemujaan di candi-candi masa lalu, sebenarnya juga melakukan interaksi langsung dengan dewata. Mereka dapat mengungkapkan segala keinginannya, kepada dewata yang pada hari istimewa tersebut hadir di tengah-tengah mereka melalui sarana bangunan candi atau pura. Dengan demikian, candi dapat dianggap sebagai monumen keagamaan yang mempertemukan dunia manusia dan dunia dewa-dewa. Dalam hal ini pagar keliling candi atau pura (penyengker) dan area sakral (dalam lingkungan pagar).
BERSAMBUNG
Rombongan raja tidak langsung menuju Majapahit, tetapi menyimpang dulu ke selatan melalui beberapa desa dan menuju Singhasari, yaitu bekas kerajaan pendahulu Majapahit di mana para leluhur Rajasanagara pernah berkuasa. Kunjungan tersebut merupakan ziarah untuk mendatangi beberapa candi pen-dharma-an raja-raja Singahasari.
Rombongan raja tidak langsung menuju Majapahit, tetapi menyimpang dulu ke selatan melalui beberapa desa dan menuju Singhasari, yaitu bekas kerajaan pendahulu Majapahit di mana para leluhur Rajasanagara pernah berkuasa. Kunjungan tersebut merupakan ziarah untuk mendatangi beberapa candi pen-dharma-an raja-raja Singahasari. Uraian selanjutnya menyatakan:
“warnnan muwah lari nareswarenjing umareŋ sudarmma ri kidal sampun manãmya ri bhatara lingsir anuluy/dataŋ ri jajaghu, sampun muwah mark i saŋhyang arcca jinawimbha sonten amgil, eñjiŋ maluy/musir i singhasari tan alh marãryyam i burŋ”.
(.... pada pagi berikut ia berkunjung ke dharma di Kidhal, dan setelah memberi sembahan melanjutkan perjalanan ke Jajaghu, menghadap kepada arca Budha, kemudian bermalam di sana. Pada pagi hari ia kembali ke Singhãsãri, tetapi terlebih dahulu berhenti di Buréng”) (Sidomulyo, 2007:80).
Uraian perjalanan tersebut diperinci lagi oleh Mpu Prapanca dalam Nagarakrtagamanya. Banyak desa dan kota (nagara) yang dikunjungi dan dilalui oleh Hayam Wuruk beserta rombongannya. Selain itu, banyak pula bangunan suci, candi pendarmmaan dan pertapaan yang didatangi oleh Rajasanagara. Seluruh rakyat Majapahit mengelu-elukan sepanjang jalan yang dilalui oleh rombongan. Kegiatan lain yang juga dilakukan oleh Rajasanagara dan kaum kerabatnya adalah berburu. Uraian tentang perburuan terdapat dalam Nagarakrtagama pupuh 50-55. Disebutkan bahwa binatang-binatang pun rela untuk dibunuh oleh sang raja karena ia adalah titisan Siwa. Jadi, mati di tangan raja lebih mulia daripada terjun ke telaga, demikian ungkap Nagarakrtagama.
Demikianlah banyak hal yang membuat Majapahit menjadi jaya dalam masa pemerintahan Hayam Wuruk. Beberapa hal penting yang dapat diamati melalui kajian sumber-sumber sejarah dan bukti arkeologis dan masa itu adalah sebagai berikut:
1. Adanya sistem pemerintahan yang efektif.
2. Adanya keajegaii (kestabilan) pemerintahan.
3. Berlangsungnya kehidupan keagamaan yang baik.
4. Terselenggaranya upacara kemegahan di istana.
5. Tumbuh kembangnya berbagai bentuk kesenian.
6. Hidupnya perniagaan Nusantara dengan Jawa (Majapahit).
7. Pelaksanaan politik Majapahit terhadap Nusantara.
8. Adanya pengakuan internasional dan negara-negara lain di Asia Tenggara.
Apabila digambarkan dalarn bagan, maka kedelapan butir pendukung kejayaan Majapahit tersebut tergambar sebagai berikut:
Image
Kedelapan butir pendukung berada di sudut-sudut kaki limas segi delapan. Semua butir itu memproyeksikan dirinya ke puncak linias menjadi Kejayaan Majapahit Raya. Tepat di tengah di bagian dasar limas adalah tokoh Rajasanagara yang menjaga semua butir pendukung kejayaan.Akan tetapi, ada satu tokoh. yang tidak mungkin dilupakan, yaitu Gajah Mada. Tokoh ini pertama kali tampil di Majapahit dalam masa pcmerintahan Jayanagara sebagai bhayangkara (pasukan pengawal raja). Ia menjadi patih Daha mendampingi Hayam Wuruk muda dalam zaman Ratu Tribhuwanottunggadewi. Selanjutnya, dia menjadi mahapatih arnangkubhumi Majapahit menggantikan Aryâ Tadah. Dalam pengabdian kepada ibunda Hayam Wuruk itulah ia mengucapkn Sumpah Palapanya yang terkenal. Ia tetap menjadi mahapatih amangkubhumi Mjapahit dalam masa pemerintahan Hayam Wuruk. Ia meñyaksikan kejayaan Majapahit dan upaya mempersatukan Nusantara yang ditekadkannya telah menjadi kenyataan. Path akhirnya, sebagaimana asal-usulnya yang samar-samar, maka akhir riwayat Gajah Mada pun tetap samar-samar belum ada kepastian karena berbagai. sumber sejarah menyebutkan masa akhir kehidupan Gajah Mada berbeda-beda.
Apabila berita Nagarakrtagama dapat diterima, kemungkinan Gajah Mada meninggal secara wajar karena sakit. Hal itu diuraikan oleh Mpu Prapanca dalam pupuh 70:3 yang menyatakan bahwa Hayam Wuruk segera pulang dan Simping menuju istananya setelah mendengar bahwa sang mantryadimantra Gajahmada sakit. Ia sangat berjasa dalam menyejahterakan dan memajukan Jawa. Ia dihormati dan dikenal karena telah berhasil dengan baik membinasakan musuh-musuh, baik di Bali ataupun di Sadeng. Gajah Masa mangkat dalam tahun 1364 M. Nagarakrtagama berhasil diselesaikan oleh Mpu Prapanca setahun kemudian.
Peranan dan sepak terjang Gajah Mada untuk memajukan Majapahit memang séngaja tidak ungkapkan dalam kajian ini. Hal ini memang diperlukan telaah khusus untuk mengungkapkan dan memahami lebth dalarn tampilnya tokoh tersebut dalam sejarah Majapahit. Pada kenyataannya Gajah Mada lebih banyak dikenal dan dikenang oleh masyarakat di berbagai wilayah Nusantara daripada Rajasanagara. Hal itu rnenunjukkan bahwa peranan Gajah Mada dalam masa kejayaan Majapahit tidak perlu diragukan lagi. Sementara itu, Hayam Wuruk masih belum banyak dibahas dan diperbincangkan perihal aktivitas dan peranannya sebagai raja besar di Majapahit.
1.2 Pertemuan Antara Dunia Manusia Dan Alam Kedewátaan : Bangunan Suci, Arca dan Relief Candi Masa Singhasari-Majapahit
Kerajaan Majapahit yang berkembang antara abad ke-14-awal ke-16 M merupakan penerus Kerajaan Singhasari yang berkembang dalam masa sebelumnya (abad ke-13 M). Raja-raja Singhasari dan Majapahit berpangkal pada tokoh Ken Angrok yang nama penobatannya ialah Sri Ranggah Rajasa Bhattara sang Amurwwabhumi. Oleh karena itu, tokoh Ken Angrok dapat dinyatakan sebagai vamsakrta (pendiri dinasti). Dinasti yang dikembangkannya adalah wangsa Rajasa (Rajasavamsa). Penamaan dinasti Rajasa tersebut diungkapkan dalam uraian prasasti raja-raja Majapahit yang merupakan anak keturunan Ken Angrok.
Selain itu, dalam hal kebudayaan pun sangat mungkin telah terjadi kesinambungan pencapaian kebudayaan yang telah dikembangkan dalam era Singhasari dan terus dilanjutkan pada masa Majapahit. Namun, tidak tertutup kemungkinan juga bahwa dalam zaman Majapahit terdapat pencapaian-pencapaian baru yang bukan bersifat meneruskan tradisi Singhasari, tetapi bersifat melengkapinya. Salah satu unsur kebudayaan penting yang sebenarnya mendasari perkembangan unsur-unsur kebudayaan lainnya adalah religi. Kehidupan religi pada masa Singhasari mulai muncul gejala baru yang terus dikenal dalam periode Majapahit, yaitu konsep dewaraja. Hakikat konsep tersebut sebenarnya mengajarkan bahwa raja yang telah meninggal dianggap bersatu dengan dewa pribadi sesembahannya (ista-dewata). Raja sebenarnya adalah dewa itu sendiri yang menjelma pada diri seorang manusia yang berkedudukan sebagai raja. Maka, ajaran ini mengenal adanya pertemuan antara (dunia) manusia dan (dunia) dewa-dewa. Kedua dunia itu menyatu dalam diri seorang raja yang sedang berkuasa, atau dalam diri seseorang tokoh kerabat raja yang dekat dengan dunia istana.
Sejauh data yang dapat dipelajari hingga kini, konsep pemujaan dewaraja baru berkembang dalam zaman Kerajaan Singhasari yang dikaitkan dengan keberadaan Dinasti Rajasa. Dalam masa sebelumnya, yaitu periode pemerintahan Kerajaan Kediri (abad ke—12 M) atau lebih mundur lagi dalam masa pemerintahan Dharmmawangsa Airlangga (1019 – 1041 M) dan Dharmmawangsa Teguh (991 M - 1016 M), ritus pemujaan dewaraja tersebut belum meninggalkan bukti secara nyata. Apabila lebih mundur lagi dalm masa perkembangan kerajaarl di w.ilayah Jawa bagian tengah (Klasik Tua) antara abad ke-8 → 10 M, bukti-bukti kehadiran konsep dewaraja sukar untuk dilacak kembali, mungkin sudah ada atau mungkin belum dikenal. Maka, kemungkinan kedualah yang terjadi dalam masa Klasik Tua. Hal ini terlihat dan kegiatan keagamaan yang langsung memuja dewa masih terlihat nyata pada peningkatan arkeologisnya. Candi-candi dibangun dengan tujuan untuk memuja dewa, baik yang bersifat saiva ataupun bauddha Candi-candi tidak diasosiasikan dengan tokoh tertentu, tetapi masih ditujukan bagi peribadatan kepada dewa-dewa.
Sejalan dengan berkembangnya konsep pemujaan dewaraja, maka diperlukan pula peralatan ritus yang juga berbeda dengan masa sebelumnya. Peralatan tersébut tentirnya ditujukan untuk mendukung ajaran dewaraja yang sedang dikembangkan. Dalam kajian ini peralatan ritus yang dimaksud adalah bangunan suci, arca-arca serta penggambaran relief yang dipahatkan di dinding candi-candi atau bangunan suci lainnya. Selain itu, artefak-artefak masih mungkin untuk dijadikan data karena masih bertahan hingga sekarang. Tentunya di masa lalu banyak artefak lain yang berupa benda bergerak (maveable artifact) dalam rangkaian ritus pemujaan dewaraja. Namun, artefak-artefak sangat mungkin terbuat dan logam yang sukar ditemukan, jumlahnya sangat terbatas, rusak dan tidak diketahui lagi keberadaannya.
Selanjutnya, telaah yang dilakukan berupa untuk mengungkapkan berbagai bukti artefaktual yang berkaitan dengan pertemuan antara dunia manusia dengan dunia kedewataan, dan era Singhasani dan Majapahit. Sudah barang tentu kajian ini hanya bersandarkar pada data yang dapat diketahui dan dapat diacu saja, akibatnya mungkin dalam melakukan interpretasipun hanya dilakukan sejauh data yang ada. Interpretasi tidak mungkin dapat dilakukan tanpa dukungan data, apabila dilakukan juga maka sifatnya hanya dalam bentuk asumsi awal yang mudah untuk digantikan dengan kesimpulan baru dalam penelitian lain di masa mendatang.
Konsep pertemuan antara dunia manusia dan kedewataan yang paling penting sebenarnya tercermin pada bentuk bangunan suci dalam masa Singhasari-Majapahit itu sendiri. Bangunan suci yang berbentuk candi dapat dianggap melambangkan tiga lapisan dunia kehidupan (triloka). Pertama, bagian dasar (lapik dan kaki candi) melambangkan dunia manusia yang masih terikat pada hawa nafsu keduniawian, tempatnya salah dan dosa-dosa terjadi, dinamakan dunia bhurloka. Kedua, bagian tubuh candi melambangkan dunia manusia yang telah lepas dari nafsu dan keterikatannya pada duniawi disebut bhuwarloka. Ketiga, atap bangunan melambangkan dunia kedewataan yang dinamakan dengan lapisan swarloka. Pembagian tersebut agaknya setara dengan konsep tridhatu yang dikenal pada bangunan suci bauddha, yaitu kamadhatu dilambangkan pada kaki candi, rupadhatu dilambangkan pada tubuh, dan arupadhatu dilambangkan atap pada bangunan candi Budha. Dengan demikian, dalam bangunan candi terdapat symbol-simbol yang mengacu kepada kehidupan manusia pada umumnya dan alam kehidupan para pendeta yang telah menarik diri dari dunia ramai serta lingkungan kehidupan para dewa.
Pada waktu diadakan upacara keagamaan, tentunya masyarakat datang berbondong-bondong melakukan ritus. Candi dan lingkungannya dipandang sakral karena saat itu dewa-dewa dianggap sedang bersemayam di bangunan suci tersebut. Arca-arca dewa dipandang telah “diisi” oleh prana dewa-dewa dan tentu saja menjadi sangat keramat. Hal sepenti itu mempunyai kesejajaran yang cukup nyata pada waktu persembahyangan hari raya odalan di pura Bali. pada hari itu dewa utama pura dianggap hadir dalam pratima yang merupakan representasi wujud kasarnya. Umát Hindu-Bali mengadakan upacara pemujaan terhadap-Nya setelah upacara usai dewa kembali ke persemayamannya dan pratima disimpan dalam pura yang kembali sunyi.
Sebagaimana yang terjadi dalam upacara odalan di pura, maka dapat ditafsirkan bahwa masyarakat Jawa kuno yang melakukan pemujaan di candi-candi masa lalu, sebenarnya juga melakukan interaksi langsung dengan dewata. Mereka dapat mengungkapkan segala keinginannya, kepada dewata yang pada hari istimewa tersebut hadir di tengah-tengah mereka melalui sarana bangunan candi atau pura. Dengan demikian, candi dapat dianggap sebagai monumen keagamaan yang mempertemukan dunia manusia dan dunia dewa-dewa. Dalam hal ini pagar keliling candi atau pura (penyengker) dan area sakral (dalam lingkungan pagar).
BERSAMBUNG
SEJARAH MAJAPAHIT 4
Majapahit Dalam Sejarah
Pasal-pasal dalam kitab Kutaramanawa tersebut tidak bernapaskan kebudayaan luar (India), melainkan khas Jawa Kuno. Uraian yang terdapat dalam kitab itu ada yang berkenaan dengan hewan-hewan yang biasa dijumpai di Pulau Jawa, misalnya disebutkan adanya hutang piutang kerbau, sapi dan kuda; pencurian ayam, kambing, domba, kerbau, sapi, anjing dan babi; ganti rugi terhadap hewan yang terbunuh karena tidak sengaja dan juga yang banyak mendapat sorotan adalah perihal hutang piutang padi. Walaupun di beberapa bagiannya terdapat konsepkonsep dasar dan kebudayaan India (Hindu-Budha), namun penerapannya lebih ditujukan untuk masyarakat Jawa kuno. Jadi, konsep-konsep tersebut hanya memperkuat uraian saja.
Kitabhukum tersebut sudah pasti disusun dan dihasilkan dalam kondisi masyarakàt yang stabil dan aman. Oleh karena itu, para ahli hukum dapat deñgan tenang berembuk menyusun kitab yang isinya begiturinci dan hampir menjangkau aspek hukurn yang dikenal dalam masanya. Kiranya dapat diasumsikan bahwa kitab hukum Kutaramanawa itu diciptakan dan diundangkan dalam masa pemerintahan Rajasanagara, yaitu suatu kurun waktu dalam sejarah Majapahit yang aman dan sejahtera.
Karya Sastra yang digubah oleh para pujangga agamawan pun berkembang dengan semarak. Beberapa karya sastera penting yang disusun dalam zaman itu adalah Nagarakrtagama, Arjunawijaya dan Sutasoma. Selain itu, terdapat pula karya sastera yang digubah dalam zaman selanjutnya, tetapi masih mengacu kepada kemegahan Majapahit, misalnya Pararaton. Berdasarkan pengamatan terhadap uraian isi serta penggambaran detail yang termaktub di dalamnya, dapat disimpulkan gambaran “dunia” dan “lingkungan” tempat para penggubah karya sastera itu berada. Kesimpulan ini hanya secara garis besar saja, namun mungkin dapat dijadikan pijakan bagi kajian selanjutnya. Secara ringkas “dunia” yang tergambarkan dalam karya sastera yang digubah. dalam zaman kejayaan Majapahit hingga periode menjelang keruntuhannya adalah sebagai berikut:
Image
Maka, dapat dinyatakan bahwa sebagian besar para penggubah karya sastera Jawa Kuno berasal dan lingkungan kaum agamawan. Hal ini disebabkan oleh kemahiran tulis menulis, pengetahuan tentang kaidah susastera, ajaran keagaman telah menjadi bagian kehidupan mereka, bahkan meiajadi ciri keprofesionalan mereka yang eksklusif. Dalam masa Jawa kuno terdapat istilah khusus untuk mereka yang bertugas dalam bidang keagamaan, yaitu wiku. Mereka ada yang mempunyai hubungan akrab dengan istana, bahkan dalam menggubah kakawinnya, raja yang bersemayam di istana itu justru menjadi penaja yang melindungi serta merestui pekerjaan para wik’u yang bertindak sebagai kawi (penggubah kakawin). Dalam hal ini misalnya yang terjadi antara Mpu Prapanca dngan Rajasanagara (Hayam Wuruk) ketika sang mpu menggubah Nagarakrtagama dan juga antara Mpu Tanakung yang menggubah Siwaratri-kalpa dengan Raja Sri Adi Surprabhawa atau Sri Singhawikramawarddhana Dyah Suraprabhawa atau Bhre Pandan Salas yang memerintah di Majapahit antara tahun 1466 - 1474 M.
Berdasarkan data yang ada dapat pula diketahui bahwa terdapat para pujangga yang mandiri, tinggal di luar keraton dan tidak ada hubungan dengañ raja dan kehidupan keraton. Mereka juga menghasilkan sejumlah karya sastera. Isi karyanya mengungkapkan dunia berbeda dengan para pujangga yang akrab dengan kehidupan istana. Dalam hal ini dunia yang terungkap lewat karya sasteranya adalah kehidupan keagamaan di lingkungan mandala (pendidikan agama). Karya sastera yang mungkin dihasilkan di lingkungan mandala adalah Tantu Pagelaran, Korawasrama dan Bhimaswarga. Selain itu, terdapat pula kehidupan pertapaan individu di pedesaan yang jauh dan keramaian. Para pertapa individual tersebut dapat dihubungkan dengan karya sastera jenis tertentu, misalnya Bhubhuksah-Gagangaking dan Nirarthaprakerta.
Kajian karya sastera masa Majapahit pun sebenarya dapat dibantu dengan penyelidikan terhadap penggambaran relief di candi-candi. Beberapa karya sastera Jawa Kuno ada yang dipahatkan dalam bentuk relief di dinding candi. Tujuan pemahatan karya sastera dalam bentuk relief tersebut antara lain adalah:
1. Untuk memperindah bangunan candi karena dihias dengan ornamen relief yang menggambarkan cerita dengan berbagai bentuk ornamen yang rinci dan indah.
2. Lebih memudahkan memahami suatu cerita. Para pengunjung candi/bangunan suci di masa silam akan lebih menikmati adegan dalam gambar-gambar pahatan relief.
3. Menyebarluaskan dan mempopulerkan cerita-cerita yang mengandung ajaran tertentu. Cerita dalam bentuk naskah sudah tentu sangat terbatas bahkan mungkin hanya satu sehingga tidak dapat dibaca secara leluasa oleh masyarakat. Hal yang perlu diingat pula adalah orang yang mampu membaca aksara pada masa itu mungkin hanya terbatas di kalangan kaum agamawan dan sedikit elite penguasa saja. Dengan dipahatkannya suatu relief cerita yang mengacu kepada karya sastera tertentu, diharapkan akan banyak pula orang yang kemudian mengenal cenita yang dimaksudkan.
Beberapa candi masa Majapahit yang dihias dengan karya sastera misalnya:
1. Candi induk Penataran dihias fragmen relief cerita Krsnayana dan Ramayana.
2. Pendopo teras II di percandian Panataran dihias dengan rèlif cerita Bhubuksah-Gagang Aking, Sang Satyawan dan sälah satu versi kisah Panji yang belum dapat dikenali.
3. Candi Jago dihias dengan fragmen relief cerita Tantri Kamandaka, Kunjarakarna, Parthayajna, Arjünawiwaha dan Krsnayana.
4. Candi Surawanadihias dengan relief cerita Arjunauliwaha, Bhubuksah Gagangaking, Sri Tanjung, Panji dan adegan keseharian yang mungkin rnengandung kisah tertentu, tetapi belum dapat diidentifikasikan.
5. Candi Tegawangi dihias dengan relief cerita Sudhamala.
Selain itu, terdapat pula adegan relief yang belum dapat diketahui acuan ceritanya, misalnyanya yang dipahatkan di kaki Candi Jawi, di kaki Candi Ngrimbi, Candi Miri Gambar, Candi Gajah (Kepurbakalaan XXII) dan Candi Kendalisasa (Kepurbakalaan LXV) di lereng barat Gunung Penanggungan. Maka, untuk dapat mengungkapkan acuan cerita apa yang dipahatkan di candi-candi tersebut, sudah tentu kajian terhadap karya sastera sezaman perlu diperluas lagi.
Epilog: Hayam Wuruk Tokoh Utama di Pentas Kerajaan
1. Untuk memperindah bangunan candi karena dihias dengan ornamen relief yang menggambarkan cerita dengan berbagai bentuk ornamen yang rinci dan indah.
2. Lebih memudahkan memahami suatu cerita. Para pengunjung candi/bangunan suci di masa silam akan lebih menikmati adegan dalam gambar-gambar pahatan relief.
3. Menyebarluaskan dan mempopulerkan cerita-cerita yang mengandung ajaran tertentu. Cerita dalam bentuk naskah sudah tentu sangat terbatas bahkan mungkin hanya satu sehingga tidak dapat dibaca secara leluasa oleh masyarakat. Hal yang perlu diingat pula adalah orang yang mampu membaca aksara pada masa itu mungkin hanya terbatas di kalangan kaum agamawan dan sedikit elite penguasa saja. Dengan dipahatkannya suatu relief cerita yang mengacu kepada karya sastera tertentu, diharapkan akan banyak pula orang yang kemudian mengenal cenita yang dimaksudkan.
Beberapa candi masa Majapahit yang dihIas dengan karya sastera misalnya:
1. Candi Induk Penataran dihias fragmen relief cerita Krsnayana dan Ramayana.
2. Pendopo teras II di percandian Panataran dihias dengan rèlif cerita Bhubuksah-Gagang Aking, Sang Satyawan dan sälah satu versi kisah Panji yang belum dapat dikenali.
3. Candi Jago dihias dengan fragmen relief cerita Tantri Kamandaka, Kunjarakarna, Parthayajna, Arjünawiwaha dan Krsnayana.
4. Candi Surawanadihias dengan relief cerita Arjunauliwaha, Bhubuksah Gagangaking, Sri Tanjung, Panji dan adegan keseharian yang mungkin rnengandung kisah tertentu, tetapi belum dapat diidentifikasikan.
5. Candi Tegawangi dihias dengan relief cerita Sudhamala.
Selain itu, terdapat pula adegan relief yang belum dapat diketahui acuan ceritanya, misalnyanya yang dipahatkan di kaki Candi Jawi, di kaki Candi Ngrimbi, Candi Miri Gambar, Candi Gajah (Kepurbakalaan XXII) dan Candi Kendalisasa (Kepurbakalaan LXV) di lereng barat Gunung Penanggungan. Maka, untuk dapat mengungkapkan acuan cerita apa yang dipahatkan di candi-candi tersebut, sudah tentu kajian terhadap karya sastera sezaman perlu diperluas lagi.
Epilog: Hayam Wuruk Tôkoh Utama di Pentas Kerajaan
Kejayaan Majapahit sebenamya tidak terlepas dan penguasa yang sedang memerintah tuasa itu, yaitu Hayam Wuruk atau Rajasanagara. Sebenamya Hayam Wuruk menikmati hasil jerih payah para penguasa pendahulunya yang diawali dengan pemerintahan pendiri Majapahit, yaitu Krtarajasa Jayawarddhana, disusul oleh Jayanagara atau Uri Wiralandagopala Sri Wiralandagopala Sri Sundarapandyadewadiswara atau disebut pula Sri Sundarapandyadewanama Maharaja-bhiseka Sri Wisnuwangsa dan Ratu Tribhuwanottunggadewi Jayawisnuwardhhani, ibunda Hayam Wuruk, Hayam Wuruk tinggal meneruskan tapak-tapak awal pendakian menuju kejayaan Majapahit sehingga berhasil berada di puncak kemegahan kerajaan tersebut.
Hayam Wuruk tidak akan berhasiljika tidak mampu memerintah dan menjadikan dirinya sebagai raja yang menjadi pusat perhatian dan tumpuan pemujaan seluruh rakyat Majapahit. Hayam Wuruk adalah seorang raja yang piawai dalam pemerintahan. Hal ini terlihat saat Gajah Mada tidak lagi menduduki jabatannya, ia segera mengundang Pithom Nàrendra untuk merundingkan siapa pengganti mahapatih Majapahit tersebut. Meskipun kedudukan Gajah Mada tidak dapat tergantikan oleh seorang tokoh, tugasnya kemudian dibagi-bagikan pada beberapa pejabat. Majapahit dengan Hayam Wuruk masih tetap berdiri hingga tahun 1389 M.
Menurut uraian Nagarakrtagama pupuh 85-91, setiap tahun di istana diadakan: acara pertemuan besar (paseban). Pada waktu itu, seluruh pembesar kerajaan hadir, begitupun para pemimpin negara daerah di Jawa mempersembahkan upeti. Pasar penuh sesak dengan para pengunjung, aneka barang, penganan, kain dan hasil bumi dijajakan. Keraton dihias indah, begitupun bale panangkilan dan witana di wanguntur dihias dengan semarak. Gamelan dimainkan tiada putus-putusnya berbunyi mengiringi upacara di bangunan-bangunan suci dekat istana. Para pendeta Siwa Budha dan kaum Rsi rnembacakan kitab-kitab suci dan mantra untuk keselamatan baginda.
Acara berikutnya adalah arak-arakan mengelilingi kota. Hayam Wuruk tampil dalam kereta indah yang ditarik lembu berhias dan berbusana warna keemasan dengan mahkota kencana. Para pejabat tinggi kerajaan dan para pendeta yang membacakan sloka berjalan mengikutinya. Rombongan para penguasa negara daerah menyusul beserta permaisurinya dari Pajang, Lasem, Paguhan dan lain-lain. Mereka menaiki kereta diiringi para pejabat dan pengiringnya yang berbeda-beda pekaiannya.
Acara paseban agung dilaksanakan di istana. Acara itu dihadiri oleh para pembesar, mantri, ksatrya, aryya, kepala desa, tamu-tamu dan Nusantara serta para pendeta dan brahmana, pertemuan membicarakan upaya mengenyahkan kemiskinan, kebodohan, kejahatan serta meningkatkan kesejahteraan dan keagungan negara. Selain itu, kitab-kitab peraturan agama dan pemerintahan juga dibacakan.
Dua hari kemudian diadakan perayaan besar di tanah lapang Bubat. Raja berkunjung pula dengan tandu yang dihias disudut-sudutnya dengan bentuk singa diarak dan diiringi para pembesar yang dikagurni rakyat kerajaan. Raja bersemayam di tepi timur lapangan dalarn bangunan besar beratap tumpang menjulang tinggi, di dekatnya terdapat wesma mirip istana yang tiang-tiangnya diukir relief cerita parwa-parwa. Di tepian lainnya, Bubat didirikan panggung-panggung berbeda ukurannya bagi para pembesar yang mau menonton berbagai pertunjukan dan pertandingan. Para pemenangnya akan dijamu oleh baginda raja. Acara setiap hari ditutup dengan menyantap hidangan bersama sambil menyaksikan pertunjukan kesenian.
Perjalanan-perjalanan Rajasanagara ke berbagai daerah juga membawa dampak positif pada din raja. Ia dapat mengetahui keadaan wilayah kekuasaannya di Jawa bagian timur hingga ke pedalamannya. selain itu, rakyat di pedalaman dapat mengetahui kemegahan rombongan raja, pasukan pengiring raja dan wajah rajanya sendiri yang bagaikan dewata menjelma ke dunia. Perhatikan urajan Nagarakrtagama tentang salah situ episode perjalanan Hayam Wuruk ketika pulang dan keliling wilayah Lumajang dalam tahun 1359 M.
Naragakrtagama menyatakan:
“tuhun i dhatong nire pasuruhan manimpang angidul ri kapanangan, anuluy atut dhamargga madulur tikang ratha dhateng ring andoh wawang, muwah i kedhu peluk lawan i hambal antya nikang pradesenitung, jhathiti ri sanghasaripura rajadharma dinunung narendramgil” (Nag. 3: 1).
(Sampai di Pasuruhan, ia membelok ke selatan menuju Kapanyangan, kemudian mengikuti jalanraya, rombogan bersama-sama tiba di Andoh Wawang, serta Kedhung Peluk dan Hambal, desa terakhir yang dicatat, raja langsung menuju tempat tinggalnya di Istana Singhasari) (Sidomulyo, 2007:75). (BERSAMBUNG)
Pasal-pasal dalam kitab Kutaramanawa tersebut tidak bernapaskan kebudayaan luar (India), melainkan khas Jawa Kuno. Uraian yang terdapat dalam kitab itu ada yang berkenaan dengan hewan-hewan yang biasa dijumpai di Pulau Jawa, misalnya disebutkan adanya hutang piutang kerbau, sapi dan kuda; pencurian ayam, kambing, domba, kerbau, sapi, anjing dan babi; ganti rugi terhadap hewan yang terbunuh karena tidak sengaja dan juga yang banyak mendapat sorotan adalah perihal hutang piutang padi. Walaupun di beberapa bagiannya terdapat konsepkonsep dasar dan kebudayaan India (Hindu-Budha), namun penerapannya lebih ditujukan untuk masyarakat Jawa kuno. Jadi, konsep-konsep tersebut hanya memperkuat uraian saja.
Kitabhukum tersebut sudah pasti disusun dan dihasilkan dalam kondisi masyarakàt yang stabil dan aman. Oleh karena itu, para ahli hukum dapat deñgan tenang berembuk menyusun kitab yang isinya begiturinci dan hampir menjangkau aspek hukurn yang dikenal dalam masanya. Kiranya dapat diasumsikan bahwa kitab hukum Kutaramanawa itu diciptakan dan diundangkan dalam masa pemerintahan Rajasanagara, yaitu suatu kurun waktu dalam sejarah Majapahit yang aman dan sejahtera.
Karya Sastra yang digubah oleh para pujangga agamawan pun berkembang dengan semarak. Beberapa karya sastera penting yang disusun dalam zaman itu adalah Nagarakrtagama, Arjunawijaya dan Sutasoma. Selain itu, terdapat pula karya sastera yang digubah dalam zaman selanjutnya, tetapi masih mengacu kepada kemegahan Majapahit, misalnya Pararaton. Berdasarkan pengamatan terhadap uraian isi serta penggambaran detail yang termaktub di dalamnya, dapat disimpulkan gambaran “dunia” dan “lingkungan” tempat para penggubah karya sastera itu berada. Kesimpulan ini hanya secara garis besar saja, namun mungkin dapat dijadikan pijakan bagi kajian selanjutnya. Secara ringkas “dunia” yang tergambarkan dalam karya sastera yang digubah. dalam zaman kejayaan Majapahit hingga periode menjelang keruntuhannya adalah sebagai berikut:
Image
Maka, dapat dinyatakan bahwa sebagian besar para penggubah karya sastera Jawa Kuno berasal dan lingkungan kaum agamawan. Hal ini disebabkan oleh kemahiran tulis menulis, pengetahuan tentang kaidah susastera, ajaran keagaman telah menjadi bagian kehidupan mereka, bahkan meiajadi ciri keprofesionalan mereka yang eksklusif. Dalam masa Jawa kuno terdapat istilah khusus untuk mereka yang bertugas dalam bidang keagamaan, yaitu wiku. Mereka ada yang mempunyai hubungan akrab dengan istana, bahkan dalam menggubah kakawinnya, raja yang bersemayam di istana itu justru menjadi penaja yang melindungi serta merestui pekerjaan para wik’u yang bertindak sebagai kawi (penggubah kakawin). Dalam hal ini misalnya yang terjadi antara Mpu Prapanca dngan Rajasanagara (Hayam Wuruk) ketika sang mpu menggubah Nagarakrtagama dan juga antara Mpu Tanakung yang menggubah Siwaratri-kalpa dengan Raja Sri Adi Surprabhawa atau Sri Singhawikramawarddhana Dyah Suraprabhawa atau Bhre Pandan Salas yang memerintah di Majapahit antara tahun 1466 - 1474 M.
Berdasarkan data yang ada dapat pula diketahui bahwa terdapat para pujangga yang mandiri, tinggal di luar keraton dan tidak ada hubungan dengañ raja dan kehidupan keraton. Mereka juga menghasilkan sejumlah karya sastera. Isi karyanya mengungkapkan dunia berbeda dengan para pujangga yang akrab dengan kehidupan istana. Dalam hal ini dunia yang terungkap lewat karya sasteranya adalah kehidupan keagamaan di lingkungan mandala (pendidikan agama). Karya sastera yang mungkin dihasilkan di lingkungan mandala adalah Tantu Pagelaran, Korawasrama dan Bhimaswarga. Selain itu, terdapat pula kehidupan pertapaan individu di pedesaan yang jauh dan keramaian. Para pertapa individual tersebut dapat dihubungkan dengan karya sastera jenis tertentu, misalnya Bhubhuksah-Gagangaking dan Nirarthaprakerta.
Kajian karya sastera masa Majapahit pun sebenarya dapat dibantu dengan penyelidikan terhadap penggambaran relief di candi-candi. Beberapa karya sastera Jawa Kuno ada yang dipahatkan dalam bentuk relief di dinding candi. Tujuan pemahatan karya sastera dalam bentuk relief tersebut antara lain adalah:
1. Untuk memperindah bangunan candi karena dihias dengan ornamen relief yang menggambarkan cerita dengan berbagai bentuk ornamen yang rinci dan indah.
2. Lebih memudahkan memahami suatu cerita. Para pengunjung candi/bangunan suci di masa silam akan lebih menikmati adegan dalam gambar-gambar pahatan relief.
3. Menyebarluaskan dan mempopulerkan cerita-cerita yang mengandung ajaran tertentu. Cerita dalam bentuk naskah sudah tentu sangat terbatas bahkan mungkin hanya satu sehingga tidak dapat dibaca secara leluasa oleh masyarakat. Hal yang perlu diingat pula adalah orang yang mampu membaca aksara pada masa itu mungkin hanya terbatas di kalangan kaum agamawan dan sedikit elite penguasa saja. Dengan dipahatkannya suatu relief cerita yang mengacu kepada karya sastera tertentu, diharapkan akan banyak pula orang yang kemudian mengenal cenita yang dimaksudkan.
Beberapa candi masa Majapahit yang dihias dengan karya sastera misalnya:
1. Candi induk Penataran dihias fragmen relief cerita Krsnayana dan Ramayana.
2. Pendopo teras II di percandian Panataran dihias dengan rèlif cerita Bhubuksah-Gagang Aking, Sang Satyawan dan sälah satu versi kisah Panji yang belum dapat dikenali.
3. Candi Jago dihias dengan fragmen relief cerita Tantri Kamandaka, Kunjarakarna, Parthayajna, Arjünawiwaha dan Krsnayana.
4. Candi Surawanadihias dengan relief cerita Arjunauliwaha, Bhubuksah Gagangaking, Sri Tanjung, Panji dan adegan keseharian yang mungkin rnengandung kisah tertentu, tetapi belum dapat diidentifikasikan.
5. Candi Tegawangi dihias dengan relief cerita Sudhamala.
Selain itu, terdapat pula adegan relief yang belum dapat diketahui acuan ceritanya, misalnyanya yang dipahatkan di kaki Candi Jawi, di kaki Candi Ngrimbi, Candi Miri Gambar, Candi Gajah (Kepurbakalaan XXII) dan Candi Kendalisasa (Kepurbakalaan LXV) di lereng barat Gunung Penanggungan. Maka, untuk dapat mengungkapkan acuan cerita apa yang dipahatkan di candi-candi tersebut, sudah tentu kajian terhadap karya sastera sezaman perlu diperluas lagi.
Epilog: Hayam Wuruk Tokoh Utama di Pentas Kerajaan
1. Untuk memperindah bangunan candi karena dihias dengan ornamen relief yang menggambarkan cerita dengan berbagai bentuk ornamen yang rinci dan indah.
2. Lebih memudahkan memahami suatu cerita. Para pengunjung candi/bangunan suci di masa silam akan lebih menikmati adegan dalam gambar-gambar pahatan relief.
3. Menyebarluaskan dan mempopulerkan cerita-cerita yang mengandung ajaran tertentu. Cerita dalam bentuk naskah sudah tentu sangat terbatas bahkan mungkin hanya satu sehingga tidak dapat dibaca secara leluasa oleh masyarakat. Hal yang perlu diingat pula adalah orang yang mampu membaca aksara pada masa itu mungkin hanya terbatas di kalangan kaum agamawan dan sedikit elite penguasa saja. Dengan dipahatkannya suatu relief cerita yang mengacu kepada karya sastera tertentu, diharapkan akan banyak pula orang yang kemudian mengenal cenita yang dimaksudkan.
Beberapa candi masa Majapahit yang dihIas dengan karya sastera misalnya:
1. Candi Induk Penataran dihias fragmen relief cerita Krsnayana dan Ramayana.
2. Pendopo teras II di percandian Panataran dihias dengan rèlif cerita Bhubuksah-Gagang Aking, Sang Satyawan dan sälah satu versi kisah Panji yang belum dapat dikenali.
3. Candi Jago dihias dengan fragmen relief cerita Tantri Kamandaka, Kunjarakarna, Parthayajna, Arjünawiwaha dan Krsnayana.
4. Candi Surawanadihias dengan relief cerita Arjunauliwaha, Bhubuksah Gagangaking, Sri Tanjung, Panji dan adegan keseharian yang mungkin rnengandung kisah tertentu, tetapi belum dapat diidentifikasikan.
5. Candi Tegawangi dihias dengan relief cerita Sudhamala.
Selain itu, terdapat pula adegan relief yang belum dapat diketahui acuan ceritanya, misalnyanya yang dipahatkan di kaki Candi Jawi, di kaki Candi Ngrimbi, Candi Miri Gambar, Candi Gajah (Kepurbakalaan XXII) dan Candi Kendalisasa (Kepurbakalaan LXV) di lereng barat Gunung Penanggungan. Maka, untuk dapat mengungkapkan acuan cerita apa yang dipahatkan di candi-candi tersebut, sudah tentu kajian terhadap karya sastera sezaman perlu diperluas lagi.
Epilog: Hayam Wuruk Tôkoh Utama di Pentas Kerajaan
Kejayaan Majapahit sebenamya tidak terlepas dan penguasa yang sedang memerintah tuasa itu, yaitu Hayam Wuruk atau Rajasanagara. Sebenamya Hayam Wuruk menikmati hasil jerih payah para penguasa pendahulunya yang diawali dengan pemerintahan pendiri Majapahit, yaitu Krtarajasa Jayawarddhana, disusul oleh Jayanagara atau Uri Wiralandagopala Sri Wiralandagopala Sri Sundarapandyadewadiswara atau disebut pula Sri Sundarapandyadewanama Maharaja-bhiseka Sri Wisnuwangsa dan Ratu Tribhuwanottunggadewi Jayawisnuwardhhani, ibunda Hayam Wuruk, Hayam Wuruk tinggal meneruskan tapak-tapak awal pendakian menuju kejayaan Majapahit sehingga berhasil berada di puncak kemegahan kerajaan tersebut.
Hayam Wuruk tidak akan berhasiljika tidak mampu memerintah dan menjadikan dirinya sebagai raja yang menjadi pusat perhatian dan tumpuan pemujaan seluruh rakyat Majapahit. Hayam Wuruk adalah seorang raja yang piawai dalam pemerintahan. Hal ini terlihat saat Gajah Mada tidak lagi menduduki jabatannya, ia segera mengundang Pithom Nàrendra untuk merundingkan siapa pengganti mahapatih Majapahit tersebut. Meskipun kedudukan Gajah Mada tidak dapat tergantikan oleh seorang tokoh, tugasnya kemudian dibagi-bagikan pada beberapa pejabat. Majapahit dengan Hayam Wuruk masih tetap berdiri hingga tahun 1389 M.
Menurut uraian Nagarakrtagama pupuh 85-91, setiap tahun di istana diadakan: acara pertemuan besar (paseban). Pada waktu itu, seluruh pembesar kerajaan hadir, begitupun para pemimpin negara daerah di Jawa mempersembahkan upeti. Pasar penuh sesak dengan para pengunjung, aneka barang, penganan, kain dan hasil bumi dijajakan. Keraton dihias indah, begitupun bale panangkilan dan witana di wanguntur dihias dengan semarak. Gamelan dimainkan tiada putus-putusnya berbunyi mengiringi upacara di bangunan-bangunan suci dekat istana. Para pendeta Siwa Budha dan kaum Rsi rnembacakan kitab-kitab suci dan mantra untuk keselamatan baginda.
Acara berikutnya adalah arak-arakan mengelilingi kota. Hayam Wuruk tampil dalam kereta indah yang ditarik lembu berhias dan berbusana warna keemasan dengan mahkota kencana. Para pejabat tinggi kerajaan dan para pendeta yang membacakan sloka berjalan mengikutinya. Rombongan para penguasa negara daerah menyusul beserta permaisurinya dari Pajang, Lasem, Paguhan dan lain-lain. Mereka menaiki kereta diiringi para pejabat dan pengiringnya yang berbeda-beda pekaiannya.
Acara paseban agung dilaksanakan di istana. Acara itu dihadiri oleh para pembesar, mantri, ksatrya, aryya, kepala desa, tamu-tamu dan Nusantara serta para pendeta dan brahmana, pertemuan membicarakan upaya mengenyahkan kemiskinan, kebodohan, kejahatan serta meningkatkan kesejahteraan dan keagungan negara. Selain itu, kitab-kitab peraturan agama dan pemerintahan juga dibacakan.
Dua hari kemudian diadakan perayaan besar di tanah lapang Bubat. Raja berkunjung pula dengan tandu yang dihias disudut-sudutnya dengan bentuk singa diarak dan diiringi para pembesar yang dikagurni rakyat kerajaan. Raja bersemayam di tepi timur lapangan dalarn bangunan besar beratap tumpang menjulang tinggi, di dekatnya terdapat wesma mirip istana yang tiang-tiangnya diukir relief cerita parwa-parwa. Di tepian lainnya, Bubat didirikan panggung-panggung berbeda ukurannya bagi para pembesar yang mau menonton berbagai pertunjukan dan pertandingan. Para pemenangnya akan dijamu oleh baginda raja. Acara setiap hari ditutup dengan menyantap hidangan bersama sambil menyaksikan pertunjukan kesenian.
Perjalanan-perjalanan Rajasanagara ke berbagai daerah juga membawa dampak positif pada din raja. Ia dapat mengetahui keadaan wilayah kekuasaannya di Jawa bagian timur hingga ke pedalamannya. selain itu, rakyat di pedalaman dapat mengetahui kemegahan rombongan raja, pasukan pengiring raja dan wajah rajanya sendiri yang bagaikan dewata menjelma ke dunia. Perhatikan urajan Nagarakrtagama tentang salah situ episode perjalanan Hayam Wuruk ketika pulang dan keliling wilayah Lumajang dalam tahun 1359 M.
Naragakrtagama menyatakan:
“tuhun i dhatong nire pasuruhan manimpang angidul ri kapanangan, anuluy atut dhamargga madulur tikang ratha dhateng ring andoh wawang, muwah i kedhu peluk lawan i hambal antya nikang pradesenitung, jhathiti ri sanghasaripura rajadharma dinunung narendramgil” (Nag. 3: 1).
(Sampai di Pasuruhan, ia membelok ke selatan menuju Kapanyangan, kemudian mengikuti jalanraya, rombogan bersama-sama tiba di Andoh Wawang, serta Kedhung Peluk dan Hambal, desa terakhir yang dicatat, raja langsung menuju tempat tinggalnya di Istana Singhasari) (Sidomulyo, 2007:75). (BERSAMBUNG)
SEJARAH MAJAPAHIT 3
Majapahit Dalam Sejarah ( 3 )
Bangunan suci darmma haji berjumlah 27. Bangunan ini bertujuan untuk memuliakan para kerabat raja yang telah meninggal. Selain itu, leluhur raja dipuja dan dimuliakan setara dewata di bangunan-bangunan tersebut. Salah satu tempat pen-dharma-an dibangun dalam masa Rajasanagara adalah Prajnaparamita-pun yang dihabiskan untuk memuliakan tokoh Rajapatni, nenek Hayam Wuruk. Nagarakrtagama menguraikan sebagai berikut:
1. prajaparimitapuri ywa panlahnin rat/ri sanghyang sudarmma, prajnaparamitakriyenu lahaken/sri jnanawidyapratistasotan/pandita wrdda tantragata labdawesa sarwwagamajna, saksat/hyang mpu bharada mawak I sirande trpti ki twas narendra.
2. mwang taiki ri bhayalango ngganira sang sri rajapatning dinarmma, rahyang jnanawidinutus/muwah amuja bhumi sudda pratistaetunyan mangaran/wisesapura kharam-bhanya pinrih ginong twasmantrya-gong winkas/wruherika dmung bhoja nwam utsaha wijna.
3. lumra sthananiran pinuja winangunlcaityadi ring sarwwadesa, jawat/waisapuri pakuwwana kebhaktyan/sri maharajapatni, angken. bhadra siran pinujaniñg amatya brahma sakwehnya bhakti, mukti swarg-ganiran)mapotraka wisesang yawabhumyekhanatha.
Terjemahannya:
1. Bangunan suci Prajnaparamita merupakan permata dunia, adalah suatu kesempurnaan dharmma yang keramat, upacara bagi pentahbisan arca Prajnaparamita diselenggarakan (oleh pendeta) agung Jnanawidya, merupakan pendeta sepuh (aliran) Tantragata yang telah menerima ilham dan memahami berbagai ilmu agama, sunguh bagaikan Mpu Barada yang menjelma pada dirinya, membawa kebahagiaan bagi Narendra (Raja Hayam Wuruk).
2. Kemudian lagi sekarang di Bhayalango tempat bagi Sri Rajapatni didarmakan (dimuliakan), tokoh suci Jnanawidhi dititahkan untuk (mengadakan), tokoh suci Jnana widhi dititahkan untuk (mengadakan upacara) pengkudusan lahan (dan) pengeramatan arca, sebab itulah diseru (dengan) nama Wisesapura, dipelihara secara baik sehingga menjadi tempat mulia, banyak menteri (pejabat tinggi) bersegera mengunjunginya, (termasuk) Demung, Bhoja, remaja dan kaum cendikia.
3. tempat (itu) sangat terkenal sebagai pemujaan, dibangun pula caitya (sumbangan) dan berbagai daerah, (di sekitar) banyak perumahan kaum Waisya, (mereka ji-iga melakukan) kebaktian bagi Sri Rajapatni, tiap bulan Bhadra (Agustus-September) dia (Rajapatni) dipuja oleh para pengiring raja dengan mantra suci, mengadakan sembah bakti, pembebasan (untuk) masuk surga baginya, (dan) dia (Rajapatni) beranak cucu raja-raja terkenal di tanah Jawa”.
Bangunan candi pen-dharma-an lainnya yang diuraikan dalam Nagarakrtagama adalah Simping atau reruntuhan Candi Sumberjati yang terletak di wilayah Blitar dekat dengan aliran Sungai Brantas. Candi tersebut merupakan bangunan suci untuk memuliakan kakek Rajasanagara, yaitu Krtarajasa Jayawarddhana atau Raden Wijaya. Dalam Nagarakrtagama pupuh 47 disebutkan bahwa Simping adalah salah satu bangunan pen-dharma-an Krtarajasa (Raden Wijaya).
Adapun pen-dharma-an lainnya terletak di bagian dalam istana Majapahit,
“rin saka matryawuna linaniran narendra, drak pinratista jinawimbha siren puri jro, antahpura ywa panlah rikanan sudarmma, saiwapratista sira teki muwah ri simping” (Nag. 47:3).
(“Pada tahun 1231 Saka, wafatlah sang raja (Krtarajasa Jayawarddhana), lalu dirinya diarcakan dalam wujud Jina di istana bagian dalam, Antahpura demikian tempat penngatan (baginya) di sana. (merupakan) pen-dharma-an yang indah, (adapun) arca Saiwa baginya di tempatkan di Simping).
Apabila Krtarajasa wafat pada tahun 1231 S (1309 M),bangunan suci di Simping diperkirakan didirikan setelah 12 tahun kematiannya, yaitu tahun 1321 M. Upacara sraddha diadakan dalam tahun itu, yaitu untuk mengantar arwah si mati memasuki alam kedewataan. Upacara itu diakhiri dengan pembangunan candi yang bertujuan untuk memuliakan tokoh yang meninggal. Sementara itu, pupuh 70 kakawin Nagarakrtagama menyatakan:
1. irikang anilastanah saka nrpeswara warnnanen, mahasahas i simping saŋhyaŋ darmma rakwa sirãlihěn, saha widiwiwidänasiŋ lwir/niŋ saji krama tan kuraŋ, prakhasita sang adyaksãmujaryya rãjaparãkrama.
2. rasika nipuneŋ widya tatwopadesa siwãgami sira ta manadistãne saŋ sri nŗpa krtarajasa duwég inulahaken taŋ prasada gopura mekala prakasita sang aryyanama kruŋ prayatna wineh wruha.
Terjemahannya kurang lebih seperti ini:
1. “uraian [tentang kegiatan] raja pada tahun Saka 1285 (1363 M), berkunjung ke Simping [tempat] bangunan suci pen-dharrna-an yang dipindahkan, bermacam persembahan (widi-widana) [dan] berbagai persajian lengkap, tidak ada yang kurang, sang adyaksa yang terkemuka [bernama] Rajapapara— krama [mengadakan] upacära pemujaan yang agung.
2. pemujaan itu mengacu kepada pengetahuan Tatwopadesa dan Siwagama, dialah yang “menyemayamkan” di adistana, sang pangeran Krtarajasa, dengan baik ia membangun prasada (atap yang menjulang tinggi), gapura dan pagar keliling, terkenallah ia dengan nama Aryya Krung, [orang yang] giat, gigih, bersemangat dan serba tahu”.
Pada 1363 M, kemungkinan bangunan pen-dharma-an bagi Raden Wijaya di Simping telah mulai rusak karena telah lama didirikan sejak tahun 1321 M sebelum Rajasanagara naik tahta. Maka, upacara keagamaan yang cukup besar diadakan pada masa pemerintahan Hayam Wuruk. Hal mi dilakukan untuk perbaikan dan pemindahan bangunan suci Simping ke lokasinya yang baru. Upacara ini dihadiri sendiri oleh Hayam Wuruk.
Demikianlah dua bangunan pen-dharma-an yang didirikan dalam masa pemerintahan Hayam Wuruk menurut Nagarakrtagarna. Kedua bangunan itu adalah Prajnaparamitapuri yang sekarang dinamakan Candi Bayalango dan Simping atau Candi Sumberjati sekarang. Rajasanagara sengaja mendedikasikan bangunan-bangunan itu kepada kakek-neneknya yang telah berjasa mendirikan Wilwatika. Raja bahkan datang sendiri ke lokasi di Blitar pada waktu penyempumaan bangunan Simping.
Penduduk Majapahit yang tertib dan sejahtera masa itu tentunya berkat adanya norma dan penegakkan aturan secara baik dan ditaati oleh seluruh rakyat. Hal mi disebabkan telah dikenal adanya kitab hukum dan perundang-undangan yang sangat dihormati dalam masa kejayaan Majapahit. Prasasti Bendasari yang dikeluarkan dalam masa pemerintahan Rajasanagara dan juga prasasti Trowu1an yang berangka tahun 1358 M, artinya dalam masa Rajasanagara juga, disebutkan adanya kitab hukum yang dinamakan Kutaramanawa atau lengkapnya Kutaraman awadharmasastra. Isi kitab tersebut ada yang berkenaan dengan hukum pidana dan perdata.
Isinya antara lain tentang ketentuan denda, delapan macam pembunuhan (astadusta), perihal hamba (kawula), delapan macam pencurian (astacorah), pemaksaan (sahasa), jual beli (adol-atuku), gadai (sanda), utang-piutang (ahutang-apihutang), perkawinan (kawarangan), perbuatan asusila (paradara), warisan (drewe kaliliran), caci-maki (wakparusya), perkelahian (atukaran), masalah tanah (bhumi) dan fitnah (duwilatek). Demikianlah keadaan kitab hukum yang relatif memadai untuk masyarakat Majapahit dalam zaman keemasannya di era Rajasanagara. Nampaknya kitab Kutaramanawa tersebut tidak lagi diikuti secara baik dalam masa pemerintahan raja-raja sesudah Hayam Wuruk karena terdapat intrik keluarga raja-raja hingga keruntuhan Majapahit.
Kitab perundang-undangan tersebut tentunya bertujuan untuk mengatur dengan baik tata masyarakat sehingga dalam masa kejayaan Majapahit tercipta keadaan yang aman dan tentram bagi seluruh rakyatnya. Contoh isi kitab Agama (Kutaramanawadharmasastra) adalah sebagai berikut:
Pasal 87 : “Barang siapa sengaja merampas kerbau atau sapi orang lain dikenakan denda dua laksa. Barang-siapa merampas hamba orang, dendanya dua laksa. Denda itu dipersembahkan kepada raja yang berkuasa. Pendapatan dari kerbau, sapi dan segala apa yang dirampas terutama hamba dikembalikan kepada pemiliknya dua kali lipat”.
Pasal 92 : “Barangsiapa menebang pohon orang lain tanpa seizin perniliknya, dikenakan denda empat kali oleh raja yang berkuasa. Jika hal itu terjadi pada waktu malam, dikenàkan pidana mati oleh raja; pohon yang ditebang dikembalikan dua kali lipat”.
Perlindungan terhadap kaum perempuan juga diatur dengan tegas dalam beberapa bab di kitab tersebut, antara lain:
Pasal 108: “Jika seorang isteri enggan kepada suaminya, karena ia tidak suka kepadanya, uang tukon (mahar) harus dikembalikan dua kali lipat. Perbuatan itu disebut amadal sanggama (menolak bercampur). “Seorang wanita boleh kawin dengan laki-laki lain, jika suaminya hilang, jika suaminya meninggal dalam perjalanan; jika terdengar bahwa suaminya ingin menjadi pendeta; jika suaminya “tidak mampu” dalam percampuran, terutama jika ia menderita penyakit budug. Jika demikian keadaan suaminya, wanita itu boleh kawin dengan orang lain”.
Pasal 207: “Barangsiapa memegang seorang gadis, kemudian gadis itu berteriak menangis, sedangkan banyak orang yang mengetahuinya, buatlah orang-orang itu saksi sebagai tanda bukti. Orang yang memegang itu dikenakanlah pidana mati oleh raja yang berkuasa”.WHD No. 510 Juni 2009.
(BERSAMBUNG)
Bangunan suci darmma haji berjumlah 27. Bangunan ini bertujuan untuk memuliakan para kerabat raja yang telah meninggal. Selain itu, leluhur raja dipuja dan dimuliakan setara dewata di bangunan-bangunan tersebut. Salah satu tempat pen-dharma-an dibangun dalam masa Rajasanagara adalah Prajnaparamita-pun yang dihabiskan untuk memuliakan tokoh Rajapatni, nenek Hayam Wuruk. Nagarakrtagama menguraikan sebagai berikut:
1. prajaparimitapuri ywa panlahnin rat/ri sanghyang sudarmma, prajnaparamitakriyenu lahaken/sri jnanawidyapratistasotan/pandita wrdda tantragata labdawesa sarwwagamajna, saksat/hyang mpu bharada mawak I sirande trpti ki twas narendra.
2. mwang taiki ri bhayalango ngganira sang sri rajapatning dinarmma, rahyang jnanawidinutus/muwah amuja bhumi sudda pratistaetunyan mangaran/wisesapura kharam-bhanya pinrih ginong twasmantrya-gong winkas/wruherika dmung bhoja nwam utsaha wijna.
3. lumra sthananiran pinuja winangunlcaityadi ring sarwwadesa, jawat/waisapuri pakuwwana kebhaktyan/sri maharajapatni, angken. bhadra siran pinujaniñg amatya brahma sakwehnya bhakti, mukti swarg-ganiran)mapotraka wisesang yawabhumyekhanatha.
Terjemahannya:
1. Bangunan suci Prajnaparamita merupakan permata dunia, adalah suatu kesempurnaan dharmma yang keramat, upacara bagi pentahbisan arca Prajnaparamita diselenggarakan (oleh pendeta) agung Jnanawidya, merupakan pendeta sepuh (aliran) Tantragata yang telah menerima ilham dan memahami berbagai ilmu agama, sunguh bagaikan Mpu Barada yang menjelma pada dirinya, membawa kebahagiaan bagi Narendra (Raja Hayam Wuruk).
2. Kemudian lagi sekarang di Bhayalango tempat bagi Sri Rajapatni didarmakan (dimuliakan), tokoh suci Jnanawidhi dititahkan untuk (mengadakan), tokoh suci Jnana widhi dititahkan untuk (mengadakan upacara) pengkudusan lahan (dan) pengeramatan arca, sebab itulah diseru (dengan) nama Wisesapura, dipelihara secara baik sehingga menjadi tempat mulia, banyak menteri (pejabat tinggi) bersegera mengunjunginya, (termasuk) Demung, Bhoja, remaja dan kaum cendikia.
3. tempat (itu) sangat terkenal sebagai pemujaan, dibangun pula caitya (sumbangan) dan berbagai daerah, (di sekitar) banyak perumahan kaum Waisya, (mereka ji-iga melakukan) kebaktian bagi Sri Rajapatni, tiap bulan Bhadra (Agustus-September) dia (Rajapatni) dipuja oleh para pengiring raja dengan mantra suci, mengadakan sembah bakti, pembebasan (untuk) masuk surga baginya, (dan) dia (Rajapatni) beranak cucu raja-raja terkenal di tanah Jawa”.
Bangunan candi pen-dharma-an lainnya yang diuraikan dalam Nagarakrtagama adalah Simping atau reruntuhan Candi Sumberjati yang terletak di wilayah Blitar dekat dengan aliran Sungai Brantas. Candi tersebut merupakan bangunan suci untuk memuliakan kakek Rajasanagara, yaitu Krtarajasa Jayawarddhana atau Raden Wijaya. Dalam Nagarakrtagama pupuh 47 disebutkan bahwa Simping adalah salah satu bangunan pen-dharma-an Krtarajasa (Raden Wijaya).
Adapun pen-dharma-an lainnya terletak di bagian dalam istana Majapahit,
“rin saka matryawuna linaniran narendra, drak pinratista jinawimbha siren puri jro, antahpura ywa panlah rikanan sudarmma, saiwapratista sira teki muwah ri simping” (Nag. 47:3).
(“Pada tahun 1231 Saka, wafatlah sang raja (Krtarajasa Jayawarddhana), lalu dirinya diarcakan dalam wujud Jina di istana bagian dalam, Antahpura demikian tempat penngatan (baginya) di sana. (merupakan) pen-dharma-an yang indah, (adapun) arca Saiwa baginya di tempatkan di Simping).
Apabila Krtarajasa wafat pada tahun 1231 S (1309 M),bangunan suci di Simping diperkirakan didirikan setelah 12 tahun kematiannya, yaitu tahun 1321 M. Upacara sraddha diadakan dalam tahun itu, yaitu untuk mengantar arwah si mati memasuki alam kedewataan. Upacara itu diakhiri dengan pembangunan candi yang bertujuan untuk memuliakan tokoh yang meninggal. Sementara itu, pupuh 70 kakawin Nagarakrtagama menyatakan:
1. irikang anilastanah saka nrpeswara warnnanen, mahasahas i simping saŋhyaŋ darmma rakwa sirãlihěn, saha widiwiwidänasiŋ lwir/niŋ saji krama tan kuraŋ, prakhasita sang adyaksãmujaryya rãjaparãkrama.
2. rasika nipuneŋ widya tatwopadesa siwãgami sira ta manadistãne saŋ sri nŗpa krtarajasa duwég inulahaken taŋ prasada gopura mekala prakasita sang aryyanama kruŋ prayatna wineh wruha.
Terjemahannya kurang lebih seperti ini:
1. “uraian [tentang kegiatan] raja pada tahun Saka 1285 (1363 M), berkunjung ke Simping [tempat] bangunan suci pen-dharrna-an yang dipindahkan, bermacam persembahan (widi-widana) [dan] berbagai persajian lengkap, tidak ada yang kurang, sang adyaksa yang terkemuka [bernama] Rajapapara— krama [mengadakan] upacära pemujaan yang agung.
2. pemujaan itu mengacu kepada pengetahuan Tatwopadesa dan Siwagama, dialah yang “menyemayamkan” di adistana, sang pangeran Krtarajasa, dengan baik ia membangun prasada (atap yang menjulang tinggi), gapura dan pagar keliling, terkenallah ia dengan nama Aryya Krung, [orang yang] giat, gigih, bersemangat dan serba tahu”.
Pada 1363 M, kemungkinan bangunan pen-dharma-an bagi Raden Wijaya di Simping telah mulai rusak karena telah lama didirikan sejak tahun 1321 M sebelum Rajasanagara naik tahta. Maka, upacara keagamaan yang cukup besar diadakan pada masa pemerintahan Hayam Wuruk. Hal mi dilakukan untuk perbaikan dan pemindahan bangunan suci Simping ke lokasinya yang baru. Upacara ini dihadiri sendiri oleh Hayam Wuruk.
Demikianlah dua bangunan pen-dharma-an yang didirikan dalam masa pemerintahan Hayam Wuruk menurut Nagarakrtagarna. Kedua bangunan itu adalah Prajnaparamitapuri yang sekarang dinamakan Candi Bayalango dan Simping atau Candi Sumberjati sekarang. Rajasanagara sengaja mendedikasikan bangunan-bangunan itu kepada kakek-neneknya yang telah berjasa mendirikan Wilwatika. Raja bahkan datang sendiri ke lokasi di Blitar pada waktu penyempumaan bangunan Simping.
Penduduk Majapahit yang tertib dan sejahtera masa itu tentunya berkat adanya norma dan penegakkan aturan secara baik dan ditaati oleh seluruh rakyat. Hal mi disebabkan telah dikenal adanya kitab hukum dan perundang-undangan yang sangat dihormati dalam masa kejayaan Majapahit. Prasasti Bendasari yang dikeluarkan dalam masa pemerintahan Rajasanagara dan juga prasasti Trowu1an yang berangka tahun 1358 M, artinya dalam masa Rajasanagara juga, disebutkan adanya kitab hukum yang dinamakan Kutaramanawa atau lengkapnya Kutaraman awadharmasastra. Isi kitab tersebut ada yang berkenaan dengan hukum pidana dan perdata.
Isinya antara lain tentang ketentuan denda, delapan macam pembunuhan (astadusta), perihal hamba (kawula), delapan macam pencurian (astacorah), pemaksaan (sahasa), jual beli (adol-atuku), gadai (sanda), utang-piutang (ahutang-apihutang), perkawinan (kawarangan), perbuatan asusila (paradara), warisan (drewe kaliliran), caci-maki (wakparusya), perkelahian (atukaran), masalah tanah (bhumi) dan fitnah (duwilatek). Demikianlah keadaan kitab hukum yang relatif memadai untuk masyarakat Majapahit dalam zaman keemasannya di era Rajasanagara. Nampaknya kitab Kutaramanawa tersebut tidak lagi diikuti secara baik dalam masa pemerintahan raja-raja sesudah Hayam Wuruk karena terdapat intrik keluarga raja-raja hingga keruntuhan Majapahit.
Kitab perundang-undangan tersebut tentunya bertujuan untuk mengatur dengan baik tata masyarakat sehingga dalam masa kejayaan Majapahit tercipta keadaan yang aman dan tentram bagi seluruh rakyatnya. Contoh isi kitab Agama (Kutaramanawadharmasastra) adalah sebagai berikut:
Pasal 87 : “Barang siapa sengaja merampas kerbau atau sapi orang lain dikenakan denda dua laksa. Barang-siapa merampas hamba orang, dendanya dua laksa. Denda itu dipersembahkan kepada raja yang berkuasa. Pendapatan dari kerbau, sapi dan segala apa yang dirampas terutama hamba dikembalikan kepada pemiliknya dua kali lipat”.
Pasal 92 : “Barangsiapa menebang pohon orang lain tanpa seizin perniliknya, dikenakan denda empat kali oleh raja yang berkuasa. Jika hal itu terjadi pada waktu malam, dikenàkan pidana mati oleh raja; pohon yang ditebang dikembalikan dua kali lipat”.
Perlindungan terhadap kaum perempuan juga diatur dengan tegas dalam beberapa bab di kitab tersebut, antara lain:
Pasal 108: “Jika seorang isteri enggan kepada suaminya, karena ia tidak suka kepadanya, uang tukon (mahar) harus dikembalikan dua kali lipat. Perbuatan itu disebut amadal sanggama (menolak bercampur). “Seorang wanita boleh kawin dengan laki-laki lain, jika suaminya hilang, jika suaminya meninggal dalam perjalanan; jika terdengar bahwa suaminya ingin menjadi pendeta; jika suaminya “tidak mampu” dalam percampuran, terutama jika ia menderita penyakit budug. Jika demikian keadaan suaminya, wanita itu boleh kawin dengan orang lain”.
Pasal 207: “Barangsiapa memegang seorang gadis, kemudian gadis itu berteriak menangis, sedangkan banyak orang yang mengetahuinya, buatlah orang-orang itu saksi sebagai tanda bukti. Orang yang memegang itu dikenakanlah pidana mati oleh raja yang berkuasa”.WHD No. 510 Juni 2009.
(BERSAMBUNG)
SEJARAH MAJAPAHIT 2
Majapahit Dalam Sejarah ( 2 )
Pencapaian peradaban dalam masa Majapahit terjadi pula dalam. bidang seni arca yang mempunyai bentuk dan gaya tersendiri. Jumlah arca yang dihasilkan dalam era Majapahit cukup banyak. Arca-arca tersebut ada yang berasal dari periode awal, kejayaan, kemunduran dan keruntuhan Majapahit. Ciri khas bentuk arca Majapahit telah ditelaah oleh para ahli. Salah satu cirinya yang kuat adalah terdapatnya garis-garis di sekitar tubuh arca. Garis ini sebagai garis sinar yang lazim disebut dengan “sinar Majapahit”. Adapun bentuk relief lingkaran yang dilengkapi dengan garis-garis sinar seringkali didapatkan di beberapa bagian candi yang disebut dengan “Surya Majapahit”.
N.J. Krom pernah mengemukakan dalam artikelnya yang berjudul “De beliden van Tjandi Rimbi’ (1912) tentang ciri-ciri arca masa Majapahit sebagai berikut:
1. Pada kedua sisi arca dihias dengan padma yang ke luar dari pot/vas bunga.
2. Hiasan kepala (mahkota) berbentuk kerucut (kirita makuta) dan terdapat pula ikat kepala di dahi (jamang).
3. Perhiasan telinga berbentuk memanjang.
4. Gerai rambut dihias dengan makara atau perhiasan lain yang sesuai.
5. Tubuh bagian atas terbuka (tidak. memakai pakaian) kecuali perhiasan tali dada atau tali kasta (upawita).
6. Terdapat ikat pinggang di bawah dada (anteng).
7. Digambarkan mengenakan kain sarung berlapis-lapis.
8. Ikat pinggang setinggi perut, di bawahnya terdapat lipatan kain yang terlihat. Selain itu, dibawah lipatan terdapat ujung tali yang menggantung di bahu kiri.
9. Pada kedua kaki menjunfai tali-tali dari ikat pinggang setinggi perut dan di ujung tali terdapat hiasan.
10. Wiru dan kain pada kedua sisi ‘tubuh dan di antara dua kaki, ujungnya terbelah berbentuk ekor burung layang-layang.
11. Memakai gelang tangan, kelat bahu dan gelang kaki yang lebar.
Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa tidak semua ciri arca tersebut dapat secara lengkap dijumpai pada setiap arca masa Majapahit. Ciri-ciri tersebut hanya hadir pada beberapa arca penting saja, seperti arca Hari-Hara dari Candi Sumberjati, arca Parwati dari Candi Ngrimbi, arca perwujudan sepasang tokoh dan arca “Ratu Suhita” Arca-arca era Majapahit lainnya mungkin hanya memiliki sebagian ciri saja. Walaupun demikian, cukup untuk diidentifikasikan sebagai arca gaya seni Majapahit. Justru ciri yang kerapkali didapatkan pada arca-arca Majapahit, oleh Krom malah dilupakan, yaitu adanya “Sinar Majapahit” yang keluar disekeliling tubuh arca. Mungkin saja pada masa Krom menyusun karyanya, temuan arca-arca Majapahit dengan “Sinar Majapahit” belum banyak ditemukan sehingga ciri penting tersebut belum dimasukkan oleh Krom sebagai salah satu ciri arca masa Majapahit.
Pendapat Krom itu lalu mendapat “penjelasan” lebih lanjut dari W.F. Stutterheim dalam karyanya “De dateering van eenige Oost-Javaansche beeldengroepen“. Pendapat Krom antara lain menyatakan bahwa ciri arca Majapahit yang penting adalah terdapatnya bunga teratai yang keluar dari pos/vas di kanan-kiri arca, sedangkan ciri seni arca Singhasari adalah terdapat bentuk bunga teratai yang langsung keluar dari akarnya (bonggolnya) disisi kanan-kiri tubuh arca. Stutterheim menyatakan bahwa ciri teratai yang keluar dari pot sebenarnya tidak menandai zaman/periode gaya seni Singhasari ataupun Majapahit. Ciri tersebut sebenarnya menandai dinasti atau keluarga raja.
Selanjutnya, Stutterheim mengemukakan bahwa arca-arca yang diapit oleh teratai yang keluar langsung dari bonggol (akarnya) sebenarnya dapat dihubungkan dengan penggambaran raja-raja Singhasari dan keluarganya. Apabila ada keluarga Raja Singhasari mangkat dan kemudian diarcakan dalam bentuk arca perwujudan, maka arca-arca itu digambarkan dengan diapit teratai yang keluar dari akarnya, sedangkan raja-raja Majapahit dan keluarganya jika diwujudkan dalam bentuk arca, penggambarannya diapit oleh teratai yang keluar dari dalam wadah (vas, periuk, pot atau lainnya lagi).
Pendapat Stuterheim tersebut agaknya benar. Hal ini terbukti dengan arca perwujudan Rajapatni Gayatri yang berupa Prajnaparamita di Candi Bayalango. Penggambarannya diapit oleh sepasang teratai yang keluar dari bonggolnya. Menurut Nagarakrtagama, Gayatri wafat tahun 1272 S/1350 M. Ia kemudian di-dharma-kan di Bayalan. Arcanya berwujuci Prajnaparamita. Gayatri meninggal dalam masa pemerintahan Hayam Wuruk. Jika mengikuti pendapat Krom, seharusnya arca Prajnaparamita tersebut diapit teratai yang ke luar dari suatu wadah karena dibuat dalam masa Majapahit. Apabila mengikuti pendapat Stuttetheim, maka, arca tersebut menggambarkan Gayatri yang sebenarnya putri Raja Singhasari Krtanagara, raja terakhir Singhasari. Oleh karena itu, arca perwujudannya diapit oleh teratai yang keluar langsung dari bonggol akar-akarnya. Selain iu, arca Amoghapasa yang sekarang kepalanya hilang dan masih terdapat di halaman Candi Jago juga diapit oleh teratai yang keluar dari bonggolnya, artinya menggambarkan keluarga Raja Singhasari. Hal itu dapat dipahami karena arca tersebut menurut uraian kitab Pararaton menggambarkan Sri Rangga Wuni (Wisnuwarddhana) - ayahanda Krtanagara yang telah meninggal di-dharma-kan di Jajaghu atau Candi Jago sekarang.
Arca-arca dari masa Majapahit penggarapannya cukup halus sehingga dapat dianggap karya seni arca yang bermutu tinggi karena keindahannya, misalnya arca Hari-Hara (tinggi 2 m) dari Simping (Candi Sumberjati) di Blitar dan arca Dewi Parwati (tinggi 2 m) dari Candi Ngrimbi di Jombang. Kedua arca tersebut disimpan di Museum Nasional Jakarta. Arca Parwati diapit oleh teratai yang ke luar dari vas, menurut Stutterheim termasuk contoh gaya seni arca keluarga Majapahit. Arca Parwati itu sangat mungkin menggambarkan Ratu Tribhuwanottunggadewi Jayawisnuwarddhani, ibu Hayam Wuruk. Sebagaimana diketahui bahwa sang ratu adalah putri dari Raja Majapahit pertama, yaitu Krtarajasa Jawawarddhana.
Menurut Nagarakrtagama terdapat bermacarn bangunan suci yang dikenal dan dijaga oleh masyarakat dalam zaman kejayaan Wilwatikta. Bangunan-bangunan suci tersebut dibawah pengawasan dua orang dharmmadyaksa (pejabat tinggi keagamaan), yaitu dharmmadyaksa ring kasaiwan yang mengurus bangunan-bangunan suci yang bernafaskan agama Hindu-saiva dan dharmmadyaksa ring kasogatan yang menjaga bangunan-bangunan suci agama Budha Mahayana. Pejabat tinggi lainnya disebut dengan mantri her haji yang mengurusi tempat-tempat keagamaan kaum Rsi, seperti tempat pertapaan, pemukiman kaum agamawan (krsyan) dan juga pusat-pusat pendidikan agama (mandala dan kadewaguruan).
Bangunan-bangunan yang berada di bawah pengawasan dua dharmmadyaksa pada masa Majapahit disebutkan dalam Nagarakrtagama pupuh 76-77. Dharmmadyaksa ring kasaiwan mengawasi empat kelompok bangunan suci, yaitu;
1. Kuti Balay merupakan tempat pemujaan yang dilengkapi dengan bangunan pendopo (mandapa) tanpa dinding serta dilengkapi pula Bangunan tempat tinggal untuk para pendetanya (asrama).
2. Parhyangan merupakan tempat-tempat suci untuk memuja leluhur/nenek moyang (hyang).
3. Prasadha haji merupakan candi-candi kerajaan serta tempat pen-dharma-an kerabat raja.
4. Sphatika i hyang merupakan tempat-tempat peringatan (?) bagi leluhur.
Adapun dharmadyaksa ring kasogatan mengawasi tanah-tanah perdikan (sima) bagi kegiatan agama Budha yang terdiri atas dua kelompok, yaitu:
1. Kawinuya merupakan bangunan suci Budha yang secara umum bukan diperuntukkan bagi suatu sekte.
2. Kabajradharan merupakan bangunan suci sekte bajradara-tantrayana.
Mantri her haji/air haji pada masa Majapahit termasuk kelompok mangilala drbya haji, artinya para pejabat kerajaan yang “menikmati kekayaan raja” (digaji oleh kerajaan). Maka, mereka dilarang memungut biaya apapun dalam lingkungan daerah-daerah perdikan (sima). Menurut Nagarakrtagama pupuh 75:2 dan pupuh 78:1, tugas mantri air haji adalah mengawasi sejumlah krsyan yang terdiri atas Sampud, Rupit, Pilan, Pucangan, Pawitra, Jagaddita, Butun, arca-arca lingga, saluran-saluran air (pranala) dan pancuran (jaladwara) yang dikeramatkan terdapat di tempat-tempat itu.
Kata er, air dan her dalam bahasa Jawa Kuna berarti “air”. Jika kata itu digabungkan dengan haji, seperti erhaji, air haji atau her haji secara harafiah berarti “air raja”. Pengertian itu agaknya menunjukkan bahwa pejabat er haji sebenarnya mengurusi “air suci milik raja. Maka, “air suci” itu tidak lain adalah tempat petirthaan (patirthan) yang merupakan sumber air suci. Air ini dipercaya dapat menghilangkan bermacam klesa dan kotoran setara dengan air amerta. Pada umumnya patirthan terdapat di tempat yang jauh dari keramaian, seperti di lereng gunung, di pegunungan yang berhutan lebat (contohnya Jalatunda, Belahan, Kasurangganan dan Simbatan Wetan). Para pertapa (rsi) dan kaum agamawan lainnya bermukim di tempat-tempat itu. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa pejabat yang berjuluk mantri her haji mengurusi tempat-tempat bagi para pertapa dan kaum agamawan dalam perkampungan mereka (mandala).
Adapun mengenai bangunan pen-dharma-an dalam masa pemerintahan Hayam Wuruk didirikan bagi kerabat raja yang telah mangkat. Hal ini juga diuraikan dalam Nagarakrtagama.
(BERSAMBUNG)
Pencapaian peradaban dalam masa Majapahit terjadi pula dalam. bidang seni arca yang mempunyai bentuk dan gaya tersendiri. Jumlah arca yang dihasilkan dalam era Majapahit cukup banyak. Arca-arca tersebut ada yang berasal dari periode awal, kejayaan, kemunduran dan keruntuhan Majapahit. Ciri khas bentuk arca Majapahit telah ditelaah oleh para ahli. Salah satu cirinya yang kuat adalah terdapatnya garis-garis di sekitar tubuh arca. Garis ini sebagai garis sinar yang lazim disebut dengan “sinar Majapahit”. Adapun bentuk relief lingkaran yang dilengkapi dengan garis-garis sinar seringkali didapatkan di beberapa bagian candi yang disebut dengan “Surya Majapahit”.
N.J. Krom pernah mengemukakan dalam artikelnya yang berjudul “De beliden van Tjandi Rimbi’ (1912) tentang ciri-ciri arca masa Majapahit sebagai berikut:
1. Pada kedua sisi arca dihias dengan padma yang ke luar dari pot/vas bunga.
2. Hiasan kepala (mahkota) berbentuk kerucut (kirita makuta) dan terdapat pula ikat kepala di dahi (jamang).
3. Perhiasan telinga berbentuk memanjang.
4. Gerai rambut dihias dengan makara atau perhiasan lain yang sesuai.
5. Tubuh bagian atas terbuka (tidak. memakai pakaian) kecuali perhiasan tali dada atau tali kasta (upawita).
6. Terdapat ikat pinggang di bawah dada (anteng).
7. Digambarkan mengenakan kain sarung berlapis-lapis.
8. Ikat pinggang setinggi perut, di bawahnya terdapat lipatan kain yang terlihat. Selain itu, dibawah lipatan terdapat ujung tali yang menggantung di bahu kiri.
9. Pada kedua kaki menjunfai tali-tali dari ikat pinggang setinggi perut dan di ujung tali terdapat hiasan.
10. Wiru dan kain pada kedua sisi ‘tubuh dan di antara dua kaki, ujungnya terbelah berbentuk ekor burung layang-layang.
11. Memakai gelang tangan, kelat bahu dan gelang kaki yang lebar.
Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa tidak semua ciri arca tersebut dapat secara lengkap dijumpai pada setiap arca masa Majapahit. Ciri-ciri tersebut hanya hadir pada beberapa arca penting saja, seperti arca Hari-Hara dari Candi Sumberjati, arca Parwati dari Candi Ngrimbi, arca perwujudan sepasang tokoh dan arca “Ratu Suhita” Arca-arca era Majapahit lainnya mungkin hanya memiliki sebagian ciri saja. Walaupun demikian, cukup untuk diidentifikasikan sebagai arca gaya seni Majapahit. Justru ciri yang kerapkali didapatkan pada arca-arca Majapahit, oleh Krom malah dilupakan, yaitu adanya “Sinar Majapahit” yang keluar disekeliling tubuh arca. Mungkin saja pada masa Krom menyusun karyanya, temuan arca-arca Majapahit dengan “Sinar Majapahit” belum banyak ditemukan sehingga ciri penting tersebut belum dimasukkan oleh Krom sebagai salah satu ciri arca masa Majapahit.
Pendapat Krom itu lalu mendapat “penjelasan” lebih lanjut dari W.F. Stutterheim dalam karyanya “De dateering van eenige Oost-Javaansche beeldengroepen“. Pendapat Krom antara lain menyatakan bahwa ciri arca Majapahit yang penting adalah terdapatnya bunga teratai yang keluar dari pos/vas di kanan-kiri arca, sedangkan ciri seni arca Singhasari adalah terdapat bentuk bunga teratai yang langsung keluar dari akarnya (bonggolnya) disisi kanan-kiri tubuh arca. Stutterheim menyatakan bahwa ciri teratai yang keluar dari pot sebenarnya tidak menandai zaman/periode gaya seni Singhasari ataupun Majapahit. Ciri tersebut sebenarnya menandai dinasti atau keluarga raja.
Selanjutnya, Stutterheim mengemukakan bahwa arca-arca yang diapit oleh teratai yang keluar langsung dari bonggol (akarnya) sebenarnya dapat dihubungkan dengan penggambaran raja-raja Singhasari dan keluarganya. Apabila ada keluarga Raja Singhasari mangkat dan kemudian diarcakan dalam bentuk arca perwujudan, maka arca-arca itu digambarkan dengan diapit teratai yang keluar dari akarnya, sedangkan raja-raja Majapahit dan keluarganya jika diwujudkan dalam bentuk arca, penggambarannya diapit oleh teratai yang keluar dari dalam wadah (vas, periuk, pot atau lainnya lagi).
Pendapat Stuterheim tersebut agaknya benar. Hal ini terbukti dengan arca perwujudan Rajapatni Gayatri yang berupa Prajnaparamita di Candi Bayalango. Penggambarannya diapit oleh sepasang teratai yang keluar dari bonggolnya. Menurut Nagarakrtagama, Gayatri wafat tahun 1272 S/1350 M. Ia kemudian di-dharma-kan di Bayalan. Arcanya berwujuci Prajnaparamita. Gayatri meninggal dalam masa pemerintahan Hayam Wuruk. Jika mengikuti pendapat Krom, seharusnya arca Prajnaparamita tersebut diapit teratai yang ke luar dari suatu wadah karena dibuat dalam masa Majapahit. Apabila mengikuti pendapat Stuttetheim, maka, arca tersebut menggambarkan Gayatri yang sebenarnya putri Raja Singhasari Krtanagara, raja terakhir Singhasari. Oleh karena itu, arca perwujudannya diapit oleh teratai yang keluar langsung dari bonggol akar-akarnya. Selain iu, arca Amoghapasa yang sekarang kepalanya hilang dan masih terdapat di halaman Candi Jago juga diapit oleh teratai yang keluar dari bonggolnya, artinya menggambarkan keluarga Raja Singhasari. Hal itu dapat dipahami karena arca tersebut menurut uraian kitab Pararaton menggambarkan Sri Rangga Wuni (Wisnuwarddhana) - ayahanda Krtanagara yang telah meninggal di-dharma-kan di Jajaghu atau Candi Jago sekarang.
Arca-arca dari masa Majapahit penggarapannya cukup halus sehingga dapat dianggap karya seni arca yang bermutu tinggi karena keindahannya, misalnya arca Hari-Hara (tinggi 2 m) dari Simping (Candi Sumberjati) di Blitar dan arca Dewi Parwati (tinggi 2 m) dari Candi Ngrimbi di Jombang. Kedua arca tersebut disimpan di Museum Nasional Jakarta. Arca Parwati diapit oleh teratai yang ke luar dari vas, menurut Stutterheim termasuk contoh gaya seni arca keluarga Majapahit. Arca Parwati itu sangat mungkin menggambarkan Ratu Tribhuwanottunggadewi Jayawisnuwarddhani, ibu Hayam Wuruk. Sebagaimana diketahui bahwa sang ratu adalah putri dari Raja Majapahit pertama, yaitu Krtarajasa Jawawarddhana.
Menurut Nagarakrtagama terdapat bermacarn bangunan suci yang dikenal dan dijaga oleh masyarakat dalam zaman kejayaan Wilwatikta. Bangunan-bangunan suci tersebut dibawah pengawasan dua orang dharmmadyaksa (pejabat tinggi keagamaan), yaitu dharmmadyaksa ring kasaiwan yang mengurus bangunan-bangunan suci yang bernafaskan agama Hindu-saiva dan dharmmadyaksa ring kasogatan yang menjaga bangunan-bangunan suci agama Budha Mahayana. Pejabat tinggi lainnya disebut dengan mantri her haji yang mengurusi tempat-tempat keagamaan kaum Rsi, seperti tempat pertapaan, pemukiman kaum agamawan (krsyan) dan juga pusat-pusat pendidikan agama (mandala dan kadewaguruan).
Bangunan-bangunan yang berada di bawah pengawasan dua dharmmadyaksa pada masa Majapahit disebutkan dalam Nagarakrtagama pupuh 76-77. Dharmmadyaksa ring kasaiwan mengawasi empat kelompok bangunan suci, yaitu;
1. Kuti Balay merupakan tempat pemujaan yang dilengkapi dengan bangunan pendopo (mandapa) tanpa dinding serta dilengkapi pula Bangunan tempat tinggal untuk para pendetanya (asrama).
2. Parhyangan merupakan tempat-tempat suci untuk memuja leluhur/nenek moyang (hyang).
3. Prasadha haji merupakan candi-candi kerajaan serta tempat pen-dharma-an kerabat raja.
4. Sphatika i hyang merupakan tempat-tempat peringatan (?) bagi leluhur.
Adapun dharmadyaksa ring kasogatan mengawasi tanah-tanah perdikan (sima) bagi kegiatan agama Budha yang terdiri atas dua kelompok, yaitu:
1. Kawinuya merupakan bangunan suci Budha yang secara umum bukan diperuntukkan bagi suatu sekte.
2. Kabajradharan merupakan bangunan suci sekte bajradara-tantrayana.
Mantri her haji/air haji pada masa Majapahit termasuk kelompok mangilala drbya haji, artinya para pejabat kerajaan yang “menikmati kekayaan raja” (digaji oleh kerajaan). Maka, mereka dilarang memungut biaya apapun dalam lingkungan daerah-daerah perdikan (sima). Menurut Nagarakrtagama pupuh 75:2 dan pupuh 78:1, tugas mantri air haji adalah mengawasi sejumlah krsyan yang terdiri atas Sampud, Rupit, Pilan, Pucangan, Pawitra, Jagaddita, Butun, arca-arca lingga, saluran-saluran air (pranala) dan pancuran (jaladwara) yang dikeramatkan terdapat di tempat-tempat itu.
Kata er, air dan her dalam bahasa Jawa Kuna berarti “air”. Jika kata itu digabungkan dengan haji, seperti erhaji, air haji atau her haji secara harafiah berarti “air raja”. Pengertian itu agaknya menunjukkan bahwa pejabat er haji sebenarnya mengurusi “air suci milik raja. Maka, “air suci” itu tidak lain adalah tempat petirthaan (patirthan) yang merupakan sumber air suci. Air ini dipercaya dapat menghilangkan bermacam klesa dan kotoran setara dengan air amerta. Pada umumnya patirthan terdapat di tempat yang jauh dari keramaian, seperti di lereng gunung, di pegunungan yang berhutan lebat (contohnya Jalatunda, Belahan, Kasurangganan dan Simbatan Wetan). Para pertapa (rsi) dan kaum agamawan lainnya bermukim di tempat-tempat itu. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa pejabat yang berjuluk mantri her haji mengurusi tempat-tempat bagi para pertapa dan kaum agamawan dalam perkampungan mereka (mandala).
Adapun mengenai bangunan pen-dharma-an dalam masa pemerintahan Hayam Wuruk didirikan bagi kerabat raja yang telah mangkat. Hal ini juga diuraikan dalam Nagarakrtagama.
(BERSAMBUNG)
SEJARAH MAJAPAHIT 1
Majapahit Dalam Sejarah ( 1 )
Kejayaan Majapahit : Rajasanagara Di
Puncak Peradaban Majapahit (1350-1389 M)
Sang Sri Natha ri Wilwatikta haji
Rajasanagara wisesa bhupati.
Masa kejayaan Majapahit berlangsung dalam era pemerintahan Hayam Wuruk. Masa sebelumnya, kejayaan Majapahit baru mulai mendaki ke arah puncaknya. Pada masa pemerintahan Ratu Tribhuwanottunggadewi (1328-1350 M), ibunda Hayam Wuruk, Majapatih mulai melebarkan pengaruhnya ke luar Jawa, antara lain ke Bali. Penyerangan ke Bali dipimpin oleh Mahapatih Gajah Mada dan saudara sang ratu dari daerah Minangkabau, yaitu Aryya Wangsadhiraja Adityawarman. Pada waktu itu, Bali diperintah oleh Sri Asta Asura Ratna Bhumi Banten. Dia menurut uraian Nagarakrtagama bertingkah laku jahat dan nista sehingga perlu dihancurkan (Nag. 49 : 4). Menurut Pararaton, Gajah Mada mengucapkan sumpahnya yang terkenal pada masa pemerintahan Tribhuwanottunggadewi. Sumpah tersebut mampu dibuktikan dalam masa pemerintahan Hayam Wuruk yang berada di puncak kemegahan Wilwatikta.
Pada 1350 M, Dyah Hayam Wuruk naik tahta Majapahit menggantikan ibunya, yaitu Ratu Tribuwanottunggadewi Jayawisnuwarddhani. Sebelumnya, Hayam Wuruk berkedudukan sebagai rajakumara (raja muda) di Jiwana (Kahuripan). Kitab pararaton menyebut tokoh ini setelah meninggal dengan sebutan Bhra Hyang Welcasing Sukha, sedangkan nama Hayam Wuruk waktu kecil menurut Pararaton ialah Raden Tetep.
Masa pemerintahan Hayam Wuruk dianggap masa kejayaan Majapahit karena tidak ada konflik internal ataupun eksternal dengan daerah-daerah lainnya, kecuali peristiwa Pasundan-Bubat di tahun 1357 M. Daerah-daerah di luar Pulau Jawa (Nusantara) banyak yang mengakui kebesaran Majapahit. Hal ini terlihat dengan dikirimkannya utusan setiap tahun ke istana Hayam Wuruk. Pengiriman utusan atau upeti ke Majapahit bukan akibat penyerangan atas daerah-daerah tersebut, melainkan karena perjanalan muhibah armada dagang Majapahit yang megah ke daerah-daerah. Mereka lalu mengagumi kebesaran Majapahit sehingga daerah-daerah rela mengirimkan upetinya.
Menurut uraian Nagarakrtagama, pada masa pemerintahan Hayam Wuruk terdapat tahun-tahun penting yang berkenaan dengan kegiatan perjalanannya ke beberapa daerah di tlatah Jawa bagian timur tahun 1353 M mengadakan perjalanan ke Pajang, tahun 1354 M, perjalanan ke Pantai Lasem dan tahun 1357 M ke pantai selatan. Pada saat mengadakan peqalanan ke pantai selatan inilah terjadi peristiwa Pasundan-Bubat. Pada tahun itu juga, Laksmana Mpu Nala memimpin kunjungan muhibah armada Majapahit ke daerah Dompo.
Rute perjalanan yang paling panjang adalah ke Lumajang tahun 1359 M, Tarib dan Sampur tahun 1360 M. Pada 1361 M, Hayam Wuruk melakukan perjalanan ke Rabut Palah (kompleks Candi Penataran) yang merupakan candi Kerajaan Majapahit. Dia memenuhi titah ibunya untuk mengadakan upacara sraddha bagi neneknya Rajapatni Gayatri di tahun 1362 M. Upacara ini berlangsung meriah dan diakhiri dengan meletakkan arca Prajnaparamita di Candi Prajnaparamitapuri di Bhayanglango. Pada 1363 M, Hayam Wuruk meng4dakan perjalanan ke Simping (Sumberjati) untuk meresmikan bangunan candi yang konon baru dipindahkan ke lokasi barn. Candi tersebut dibangun untuk memuliakan eyang Hayam Wuruk, yaitu Raden Wijaya (Krtarajasa Jayawarddhana).
Pararaton menyatakan bahwa Gajah Mada mengundurkan din dan jabatannya setelah peristiwa Bubat, disebutkan “... samangka sira gajah mada mukti palapa. Mukti palapa dalam situasi ini bukanlah sumpah Amukti Palapa yang terkenal itu karena sumpah itu sudah lama diucapkannya dalam zaman pemerintahan ibunda Hayam Wuruk, Ratu Tribhuwanotunggadewi Jayawisnuwarddhani. Adapun mukti palapa dalam hal ini dapat diartikan sebagai “menikmati masa istirahat”.
Oleh karena itu, Hayam Wuruk menganugerahi Gajah Mada wilayah sima (daerah perdikan) untuk keperluan istirahatnya. Nagarakrtagama menyebutkan nama daerah itu sebagai Madakaripura. Tempat itu merupakan wilayah sunyi di pedalaman Jawa Timur sehingga cocok untuk Gajah Mada yang menarik diri dari dunia ramai. Selain itu, tempat itu juga disebut sebagai pesanggrahan bagi Gajah Mada. Hayam Wuruk pernah singgah di Madakaripura dalam perjalannnya ke Lumajang di tahun 1359 M. Sepeninggal Gajah Mada, Hayam Wuruk memanggil Pahom Narendra, yaitu dewan pertimbangan agung kerajaan yang beranggotakan:
1. Sri Kertawarddhana, ayahanda raja
2. Tribhuwananottunggadewi, ibunda raja
3. Rajadewi Maharajasa (bibi raja)
4. Wijayarajasa (suami Rajadewi Maharajasa)
5. Rajasaduhiteswari (adik pertama raja)
6. Singhawarddhana (suami Rajasaduhiteswari)
7. Rajasaduhitendudewi (adik ke-2 raja).
8. Raden Lanang/Bhre Matahun (suami Rajasaduhitendudewi).
Mereka berembuk untuk mencari siapa yang pantas menggantikan kedudukan Gajah Mada sebagai mahapatih Majapahit dengan tugas-tugas beratnya. Berdasarkan pertimbangan Pahom Narendra disimpulkan bahwa tidak ada seorang tokoh pun yang dapat menggantikan kedudukan Gajah Mada. Oleh karena itu, diangkatlah tiga tokoh yang melaksanakan tugas-tugas Gajah Mada, yaitu:
1. Aryyatmaja Pu Tanding sebagai wrddhamantri (menteri urusan dalam kerajaan).
2. Sang Arya Wira Mandalika Pu Nala menjadi menteri niancanagara
3. Patih Dami diangkat menjadi yawamantri.
Masa pemerintahan Hayan Wuruk tanpa patih amangkubumi hanya berlangsung tiga tahun. Dalam Pararaton disebutkan bahwa setelah tiga tahun terdapat kekosongan jabatan patih. Gajah Enggon kemudian diangkat menjadi patih amangkubumi Majapahit (1371-1398 M). Pada 1389 M Rajasanagara rneninggal, tetapi tempat suci untuk memuliakannya (pen-dharrna-an) belum diketahui secara pasti. Pen-dharma-an Hayam Wuruk diduga adalah Paramasukhapura di daerah Tanjung. Hal ini berdasarkan berita Pararaton karena disebutkan bahwa yang di-dharma-kan di tempat itu adalah Bhattara Hyang Wekasing Sukha, nama anumerta Hayam Wuruk.
Susunan Pemerintahan
Pada masa pemerintahan Rajasan agara, susunan pejabat pemerintahan kerajaan jauh lebih banyak daripada sebelumnya. Hal itu dapat diketahui dari uraian beberapa prasasti yang dikeluarkan oleh raja. Salah satu prasasti itu dinamakan prasasti Trowulan yang dikeluarkan tahun 1358 M. Prasasti itu antara lain menyebutkan bahwa nama resmi Hayam Wuruk setelah menjadi raja ialah Sri Tiktawilwa Nagareswara Sri Rajasanagara Namarajabhiseka. Pahom Narendra terdapat di bawah raja yang anggota-anggotanya telah diuraikan di bagian terdahulu. Raja dibantu oleh pejabat tinggi utama dalam melaksanakan pemerintahan, yaitu patih amangkubhumi. Pada saat itu adalah Gajah Mada atau Pu Mada.
Para pejabat tinggi kerajaan yang disebut tanda berada dibawah patih. Mereka terdiri atas beberapa peringkat. Pertama adalah mahamantri katrini yang terdiri dan mahaniantri i hino, i halu dan i sirikan. Kedua adalah pasangguhan atau hulubalang. Ketiga adalah rakryan mantri dwipantara, yaitu pejabat urusan daerah-daerah Nusantara. Keempat adalah sang panca Wilwatikta yang terdiri dan patih, kanuruhan, rangga dan tumenggung. Kelima adalah para pejabat juru pangalasan, yaitu pembesar daerah dan pembesar di negara bagian yang dilengkapi dengan para patih di daerah tersebut. Kelompok lairinya adalah para aryya, yaitu pejabat yang lebih rendah dan rakryan mantri. Para aryya dapat naik jabatannya apabila dianggap berjasa. Mereka dapat menjadi wrddhamantri (mentri senior). Selain para pejabat pemerintahan tersebut, ada juga para pejabat tinggi yang menangahi urusan keagamaan, yaitu Dharmadyaksa ring Kasaiwan yang mengurusi perihal agama Hindu-saiva, Dharmmadyaksa ring Kasogatan pejabat yang mengurusi agama Budha Mahayana dan mantri er haji (mantri her haji) pejabat yang mengurusi perihal kaum pertapa.
Dalam uraian kakawin Nagarakrtagama karya Mpu Prapanca - yang selesai digubah tahun 1365 - terdapat penyebutan wilayah-wilayah di luar Jawa yang mengakui kejayaan Majapahit. Prapanca menguraikannya dalam dua pupuh, yaitu pupuh 13 dan 14. Wilayah-wilayah itu terdapat di Sumatera, Semenanjung Melayu, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara dan daerah pantai Papua Barat. Adapun dalam baris satu pupuh 15 disebut adanya negara-negara sahabat Majapahit (mitra satata), seperti Syangka (Siam), Ayodhyapura (Ayuthia, pedalaman Thailand), Darmanagari (Dharmarajanagara/Ligor), Marutma (Martaban, selatan Thailand), Rajapura (Rajjpuri, daerah selatan Thailand), Singhaagari (daerah di tepi Sungai Menam), Campa, Kamboja dan Yawana (Annam, Vietnam). Hal yang menarik adalah bahwa Cina sebagai negara besar di Asia waktu itu tidak disebutkan oleh Prapanca sebagai salah satu mitra satata Majapahit. Namun demikian, cukup banyak peninggalan yang menunjukkan pengaruh budaya Cina ditemukan di situs Tnowulan bekas Kota Majapahit yang terletak di Mojokerto sekarang.
Sisi-sisi Peradaban Masyarakat Majapahit
Berdasarkan catatan musafir Cina bernama Ma Huan dapat diketahui bahwa kehidupan masyarakat dan perekonomian Majapahit masa itu relatif maju. Dia berkunjung ke Majapahit dalam masa akhir pemerintahan Hayam Wuruk. Catatan Ma Huan menguraikan antara lain sebagai berikut:
“Di Majapahit udaranya terus menerus panas, seperti musim panas di kita (Cina), panen padi 2 kali setahun, padinya kecilkecil, berasnya berwarna putih. Di sana juga ada buah jarak dan karapodang (kuning), tetapi tidak ada tanaman gandum. Kerajaan itu menghasilkan kayu sepang, kayu cendana, intan, besi, buah pala, cabe merah panjang, tempurung penyu baik yang masih mentah ataupun yang sudah dimasak. Burungnya anehaneh, ada nun sebesar ayam dengan aneka wama merah, hijau dan sebagainya. Bea yang semuanya dapat diajari berbicara seperti orang, kakaktua, merak dan lainnya lagi. Hewan yang mengagumkan adalah kijang dan kera putih, ternaknya adalah babi, kambing, sapi, kuda, ayam, itik, keledai dan angsa. Buah-buahannya adalah bermacam-macam pisang, kelapa, tebu, delima, manggis, langsap, semangka dan sebagainya. Bunga penting adalah teratai”.
Penduduk di pantai utara di kotakota pelabuhan, seperti Cresik, Tuban, Surabaya, dan Canggu kebanyakan menjadi pedagang. Kota-kota pelabuhan tersebut banyak dikunjungi oleh pedagang asing yang berasal dari Arab, India, Asia Tenggara dan Cina. Ma Huan memberitakan bahwa di kota-kota pelabuhan tersebut banyak orang Cina dan Arab menetap dan berdagang di kota-kotá tersebut.
Selanjutnya, laporan Ma Huan menyatakan bahwa ibukota Majapahit berpenduduk sekitar 200-300 keluarga. Suatu angka cukup besar untuk zaman itu. Penduduk telab memakai kain dan baju. Kaum lelaki berambut panjang yang diuraikan, sedangkan perempuannya bersanggul. Setiap laki-laki, mulai dari yang berumur tiga tahun ke atas, baik orang berada atau orang kebanyakan, mengenakan keris dengan pegangannya yang diukir indah-indah dan terbuat dan emas, cula badak, atau gading. Apabila bertengkar, mereka dengan cepat menyiapkan kerisnya. Pantangan bagi penduduk Jawa adalah memegang kepala orang lain karena merupakan penghinaan yang akan menimbulkan perkelahian berdarah.
Mereka duduk di rumahnya tdak menggunakan bangku, tidur tanpa ranjang dan makan tanpa memakai sumpit. Baik laki-laki atau pun perempuan senang memakan sirih sepanjang hari. Jadi, kalau ada tamu yang datang disuguhkan bukannya teh, melainkan sinih dan pinang. Atas titah raja, orang Majapahit juga senang mengadakan pertandingan dengan menggunakan tombak barnbu. Tetapi, apabila ada yang meninggal karena tertusuk tombak bambu itu, si pemenang wajib memberikan uang kepada keluar korban. Namun, kalau bulan terang terutama purnama, mereka senang bermain bersama dengan disertai nyanyian bergiliran antara kelompok-kelompok laki-laki dan perempuan. Kesenian yang populer adalah bentuk cerita Wayang Beber, yaitu kisah wayang yang dilukiskan pada kai1i yang direntangkan (beber) oleh sang dalang dan menceritakan adegan-adegan yang digambarkan tersebut.
Para pedagang pribumi umumnya sangat kaya. Mereka suka membeli bathbatu perhiasan yang bermutu, seperti barang pecah belah dan porselin Cina dengan gambar bunga-bunga berwarna hijau. Mereka juga membeli minyak wangi, kain sutra dan kain yang berkualitas baik dengan motif hiasan ataupun yang polos. Pembayaran dilakukan dengan uang tembaga Cina dan dinasti apapun laku di Kerajaan Majapahit.
(BERSAMBUNG)
Kejayaan Majapahit : Rajasanagara Di
Puncak Peradaban Majapahit (1350-1389 M)
Sang Sri Natha ri Wilwatikta haji
Rajasanagara wisesa bhupati.
Masa kejayaan Majapahit berlangsung dalam era pemerintahan Hayam Wuruk. Masa sebelumnya, kejayaan Majapahit baru mulai mendaki ke arah puncaknya. Pada masa pemerintahan Ratu Tribhuwanottunggadewi (1328-1350 M), ibunda Hayam Wuruk, Majapatih mulai melebarkan pengaruhnya ke luar Jawa, antara lain ke Bali. Penyerangan ke Bali dipimpin oleh Mahapatih Gajah Mada dan saudara sang ratu dari daerah Minangkabau, yaitu Aryya Wangsadhiraja Adityawarman. Pada waktu itu, Bali diperintah oleh Sri Asta Asura Ratna Bhumi Banten. Dia menurut uraian Nagarakrtagama bertingkah laku jahat dan nista sehingga perlu dihancurkan (Nag. 49 : 4). Menurut Pararaton, Gajah Mada mengucapkan sumpahnya yang terkenal pada masa pemerintahan Tribhuwanottunggadewi. Sumpah tersebut mampu dibuktikan dalam masa pemerintahan Hayam Wuruk yang berada di puncak kemegahan Wilwatikta.
Pada 1350 M, Dyah Hayam Wuruk naik tahta Majapahit menggantikan ibunya, yaitu Ratu Tribuwanottunggadewi Jayawisnuwarddhani. Sebelumnya, Hayam Wuruk berkedudukan sebagai rajakumara (raja muda) di Jiwana (Kahuripan). Kitab pararaton menyebut tokoh ini setelah meninggal dengan sebutan Bhra Hyang Welcasing Sukha, sedangkan nama Hayam Wuruk waktu kecil menurut Pararaton ialah Raden Tetep.
Masa pemerintahan Hayam Wuruk dianggap masa kejayaan Majapahit karena tidak ada konflik internal ataupun eksternal dengan daerah-daerah lainnya, kecuali peristiwa Pasundan-Bubat di tahun 1357 M. Daerah-daerah di luar Pulau Jawa (Nusantara) banyak yang mengakui kebesaran Majapahit. Hal ini terlihat dengan dikirimkannya utusan setiap tahun ke istana Hayam Wuruk. Pengiriman utusan atau upeti ke Majapahit bukan akibat penyerangan atas daerah-daerah tersebut, melainkan karena perjanalan muhibah armada dagang Majapahit yang megah ke daerah-daerah. Mereka lalu mengagumi kebesaran Majapahit sehingga daerah-daerah rela mengirimkan upetinya.
Menurut uraian Nagarakrtagama, pada masa pemerintahan Hayam Wuruk terdapat tahun-tahun penting yang berkenaan dengan kegiatan perjalanannya ke beberapa daerah di tlatah Jawa bagian timur tahun 1353 M mengadakan perjalanan ke Pajang, tahun 1354 M, perjalanan ke Pantai Lasem dan tahun 1357 M ke pantai selatan. Pada saat mengadakan peqalanan ke pantai selatan inilah terjadi peristiwa Pasundan-Bubat. Pada tahun itu juga, Laksmana Mpu Nala memimpin kunjungan muhibah armada Majapahit ke daerah Dompo.
Rute perjalanan yang paling panjang adalah ke Lumajang tahun 1359 M, Tarib dan Sampur tahun 1360 M. Pada 1361 M, Hayam Wuruk melakukan perjalanan ke Rabut Palah (kompleks Candi Penataran) yang merupakan candi Kerajaan Majapahit. Dia memenuhi titah ibunya untuk mengadakan upacara sraddha bagi neneknya Rajapatni Gayatri di tahun 1362 M. Upacara ini berlangsung meriah dan diakhiri dengan meletakkan arca Prajnaparamita di Candi Prajnaparamitapuri di Bhayanglango. Pada 1363 M, Hayam Wuruk meng4dakan perjalanan ke Simping (Sumberjati) untuk meresmikan bangunan candi yang konon baru dipindahkan ke lokasi barn. Candi tersebut dibangun untuk memuliakan eyang Hayam Wuruk, yaitu Raden Wijaya (Krtarajasa Jayawarddhana).
Pararaton menyatakan bahwa Gajah Mada mengundurkan din dan jabatannya setelah peristiwa Bubat, disebutkan “... samangka sira gajah mada mukti palapa. Mukti palapa dalam situasi ini bukanlah sumpah Amukti Palapa yang terkenal itu karena sumpah itu sudah lama diucapkannya dalam zaman pemerintahan ibunda Hayam Wuruk, Ratu Tribhuwanotunggadewi Jayawisnuwarddhani. Adapun mukti palapa dalam hal ini dapat diartikan sebagai “menikmati masa istirahat”.
Oleh karena itu, Hayam Wuruk menganugerahi Gajah Mada wilayah sima (daerah perdikan) untuk keperluan istirahatnya. Nagarakrtagama menyebutkan nama daerah itu sebagai Madakaripura. Tempat itu merupakan wilayah sunyi di pedalaman Jawa Timur sehingga cocok untuk Gajah Mada yang menarik diri dari dunia ramai. Selain itu, tempat itu juga disebut sebagai pesanggrahan bagi Gajah Mada. Hayam Wuruk pernah singgah di Madakaripura dalam perjalannnya ke Lumajang di tahun 1359 M. Sepeninggal Gajah Mada, Hayam Wuruk memanggil Pahom Narendra, yaitu dewan pertimbangan agung kerajaan yang beranggotakan:
1. Sri Kertawarddhana, ayahanda raja
2. Tribhuwananottunggadewi, ibunda raja
3. Rajadewi Maharajasa (bibi raja)
4. Wijayarajasa (suami Rajadewi Maharajasa)
5. Rajasaduhiteswari (adik pertama raja)
6. Singhawarddhana (suami Rajasaduhiteswari)
7. Rajasaduhitendudewi (adik ke-2 raja).
8. Raden Lanang/Bhre Matahun (suami Rajasaduhitendudewi).
Mereka berembuk untuk mencari siapa yang pantas menggantikan kedudukan Gajah Mada sebagai mahapatih Majapahit dengan tugas-tugas beratnya. Berdasarkan pertimbangan Pahom Narendra disimpulkan bahwa tidak ada seorang tokoh pun yang dapat menggantikan kedudukan Gajah Mada. Oleh karena itu, diangkatlah tiga tokoh yang melaksanakan tugas-tugas Gajah Mada, yaitu:
1. Aryyatmaja Pu Tanding sebagai wrddhamantri (menteri urusan dalam kerajaan).
2. Sang Arya Wira Mandalika Pu Nala menjadi menteri niancanagara
3. Patih Dami diangkat menjadi yawamantri.
Masa pemerintahan Hayan Wuruk tanpa patih amangkubumi hanya berlangsung tiga tahun. Dalam Pararaton disebutkan bahwa setelah tiga tahun terdapat kekosongan jabatan patih. Gajah Enggon kemudian diangkat menjadi patih amangkubumi Majapahit (1371-1398 M). Pada 1389 M Rajasanagara rneninggal, tetapi tempat suci untuk memuliakannya (pen-dharrna-an) belum diketahui secara pasti. Pen-dharma-an Hayam Wuruk diduga adalah Paramasukhapura di daerah Tanjung. Hal ini berdasarkan berita Pararaton karena disebutkan bahwa yang di-dharma-kan di tempat itu adalah Bhattara Hyang Wekasing Sukha, nama anumerta Hayam Wuruk.
Susunan Pemerintahan
Pada masa pemerintahan Rajasan agara, susunan pejabat pemerintahan kerajaan jauh lebih banyak daripada sebelumnya. Hal itu dapat diketahui dari uraian beberapa prasasti yang dikeluarkan oleh raja. Salah satu prasasti itu dinamakan prasasti Trowulan yang dikeluarkan tahun 1358 M. Prasasti itu antara lain menyebutkan bahwa nama resmi Hayam Wuruk setelah menjadi raja ialah Sri Tiktawilwa Nagareswara Sri Rajasanagara Namarajabhiseka. Pahom Narendra terdapat di bawah raja yang anggota-anggotanya telah diuraikan di bagian terdahulu. Raja dibantu oleh pejabat tinggi utama dalam melaksanakan pemerintahan, yaitu patih amangkubhumi. Pada saat itu adalah Gajah Mada atau Pu Mada.
Para pejabat tinggi kerajaan yang disebut tanda berada dibawah patih. Mereka terdiri atas beberapa peringkat. Pertama adalah mahamantri katrini yang terdiri dan mahaniantri i hino, i halu dan i sirikan. Kedua adalah pasangguhan atau hulubalang. Ketiga adalah rakryan mantri dwipantara, yaitu pejabat urusan daerah-daerah Nusantara. Keempat adalah sang panca Wilwatikta yang terdiri dan patih, kanuruhan, rangga dan tumenggung. Kelima adalah para pejabat juru pangalasan, yaitu pembesar daerah dan pembesar di negara bagian yang dilengkapi dengan para patih di daerah tersebut. Kelompok lairinya adalah para aryya, yaitu pejabat yang lebih rendah dan rakryan mantri. Para aryya dapat naik jabatannya apabila dianggap berjasa. Mereka dapat menjadi wrddhamantri (mentri senior). Selain para pejabat pemerintahan tersebut, ada juga para pejabat tinggi yang menangahi urusan keagamaan, yaitu Dharmadyaksa ring Kasaiwan yang mengurusi perihal agama Hindu-saiva, Dharmmadyaksa ring Kasogatan pejabat yang mengurusi agama Budha Mahayana dan mantri er haji (mantri her haji) pejabat yang mengurusi perihal kaum pertapa.
Dalam uraian kakawin Nagarakrtagama karya Mpu Prapanca - yang selesai digubah tahun 1365 - terdapat penyebutan wilayah-wilayah di luar Jawa yang mengakui kejayaan Majapahit. Prapanca menguraikannya dalam dua pupuh, yaitu pupuh 13 dan 14. Wilayah-wilayah itu terdapat di Sumatera, Semenanjung Melayu, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara dan daerah pantai Papua Barat. Adapun dalam baris satu pupuh 15 disebut adanya negara-negara sahabat Majapahit (mitra satata), seperti Syangka (Siam), Ayodhyapura (Ayuthia, pedalaman Thailand), Darmanagari (Dharmarajanagara/Ligor), Marutma (Martaban, selatan Thailand), Rajapura (Rajjpuri, daerah selatan Thailand), Singhaagari (daerah di tepi Sungai Menam), Campa, Kamboja dan Yawana (Annam, Vietnam). Hal yang menarik adalah bahwa Cina sebagai negara besar di Asia waktu itu tidak disebutkan oleh Prapanca sebagai salah satu mitra satata Majapahit. Namun demikian, cukup banyak peninggalan yang menunjukkan pengaruh budaya Cina ditemukan di situs Tnowulan bekas Kota Majapahit yang terletak di Mojokerto sekarang.
Sisi-sisi Peradaban Masyarakat Majapahit
Berdasarkan catatan musafir Cina bernama Ma Huan dapat diketahui bahwa kehidupan masyarakat dan perekonomian Majapahit masa itu relatif maju. Dia berkunjung ke Majapahit dalam masa akhir pemerintahan Hayam Wuruk. Catatan Ma Huan menguraikan antara lain sebagai berikut:
“Di Majapahit udaranya terus menerus panas, seperti musim panas di kita (Cina), panen padi 2 kali setahun, padinya kecilkecil, berasnya berwarna putih. Di sana juga ada buah jarak dan karapodang (kuning), tetapi tidak ada tanaman gandum. Kerajaan itu menghasilkan kayu sepang, kayu cendana, intan, besi, buah pala, cabe merah panjang, tempurung penyu baik yang masih mentah ataupun yang sudah dimasak. Burungnya anehaneh, ada nun sebesar ayam dengan aneka wama merah, hijau dan sebagainya. Bea yang semuanya dapat diajari berbicara seperti orang, kakaktua, merak dan lainnya lagi. Hewan yang mengagumkan adalah kijang dan kera putih, ternaknya adalah babi, kambing, sapi, kuda, ayam, itik, keledai dan angsa. Buah-buahannya adalah bermacam-macam pisang, kelapa, tebu, delima, manggis, langsap, semangka dan sebagainya. Bunga penting adalah teratai”.
Penduduk di pantai utara di kotakota pelabuhan, seperti Cresik, Tuban, Surabaya, dan Canggu kebanyakan menjadi pedagang. Kota-kota pelabuhan tersebut banyak dikunjungi oleh pedagang asing yang berasal dari Arab, India, Asia Tenggara dan Cina. Ma Huan memberitakan bahwa di kota-kota pelabuhan tersebut banyak orang Cina dan Arab menetap dan berdagang di kota-kotá tersebut.
Selanjutnya, laporan Ma Huan menyatakan bahwa ibukota Majapahit berpenduduk sekitar 200-300 keluarga. Suatu angka cukup besar untuk zaman itu. Penduduk telab memakai kain dan baju. Kaum lelaki berambut panjang yang diuraikan, sedangkan perempuannya bersanggul. Setiap laki-laki, mulai dari yang berumur tiga tahun ke atas, baik orang berada atau orang kebanyakan, mengenakan keris dengan pegangannya yang diukir indah-indah dan terbuat dan emas, cula badak, atau gading. Apabila bertengkar, mereka dengan cepat menyiapkan kerisnya. Pantangan bagi penduduk Jawa adalah memegang kepala orang lain karena merupakan penghinaan yang akan menimbulkan perkelahian berdarah.
Mereka duduk di rumahnya tdak menggunakan bangku, tidur tanpa ranjang dan makan tanpa memakai sumpit. Baik laki-laki atau pun perempuan senang memakan sirih sepanjang hari. Jadi, kalau ada tamu yang datang disuguhkan bukannya teh, melainkan sinih dan pinang. Atas titah raja, orang Majapahit juga senang mengadakan pertandingan dengan menggunakan tombak barnbu. Tetapi, apabila ada yang meninggal karena tertusuk tombak bambu itu, si pemenang wajib memberikan uang kepada keluar korban. Namun, kalau bulan terang terutama purnama, mereka senang bermain bersama dengan disertai nyanyian bergiliran antara kelompok-kelompok laki-laki dan perempuan. Kesenian yang populer adalah bentuk cerita Wayang Beber, yaitu kisah wayang yang dilukiskan pada kai1i yang direntangkan (beber) oleh sang dalang dan menceritakan adegan-adegan yang digambarkan tersebut.
Para pedagang pribumi umumnya sangat kaya. Mereka suka membeli bathbatu perhiasan yang bermutu, seperti barang pecah belah dan porselin Cina dengan gambar bunga-bunga berwarna hijau. Mereka juga membeli minyak wangi, kain sutra dan kain yang berkualitas baik dengan motif hiasan ataupun yang polos. Pembayaran dilakukan dengan uang tembaga Cina dan dinasti apapun laku di Kerajaan Majapahit.
(BERSAMBUNG)
Langganan:
Postingan (Atom)